Translate

Senin, 15 Januari 2018

YAYAK YATMAKA

Pendidik Anak yang Pernah Buron

Rezim menghegemoni lewat jingle. Maka ia mencipta counter-jingle

Malam kian larut. Pengunjung acara bertajuk “Panggung Rakyat” di panggung terbuka Taman Budaya Mataram, berangsur-angsur susut. Seorang laki-laki berambut gondrong dan berperawakan kurus, terlihat sibuk membereskan sound system. Usai menggulung kabel, kakinya melangkah ke kerumunan orang yang sedang menonton anak-anak menggambar. Agaknya ada beberapa orang kawannya yang lama tak bersua. Ia menyapa dan menyalami. Suaranya agak serak, meski tetap hangat dan bersemangat. Ya, ia memang tak asing bagi kalangan aktivis Mataram.


Ada kain putih, seperti bahan kain spanduk, terhampar di lantai semen tempat anak-anak menggores kuas. Beberapa saat, ia mengambil posisi jongkok menemani anak-anak itu menggambar. Tangannya bergerak-gerak di ujung tangkai kuas menggores kain. Seperti biasa, ia menggambar anak-anak pinggiran yang “teraniaya”. Malam itu ia menggambar anak-anak penjaja asongan yang dikejar-kejar aparat.

Bola matanya yang besar melotot, sesekali terangkat untuk mengamati lagak anak-anak di sampingnya. Nampak ia memberi arahan bagaimana menggambar yang baik. Sebagian mereka sangat dikenal sebagai anak jalanan. Medet dan Alex, misalnya, sehari-hari kalau tidak nganggur di sejumlah warung di bilangan Airlangga, bisa dijumpai di sekitar traffic light kota.

Siang hari, di atas panggung tertutup juga di kompleks Taman Budaya, laki-laki itu juga terlihat dengan sekelompok orang, laki-perempuan, besar-kecil, memainkan alat musik. Ada yang memegang gitar, ketipung, kenong plus gendang. Yang lainnya, ikut mengetuk-ngetuk batu ke kotak tangga kayu panggung. Botol plastik bekas air mineral pun jadi sasaran ketukan.

Laki-laki itu, Yayak Yatmaka memainkan gitar bersama Ipul anak Bengkel Anak Jalanan (BAJA) Mataram yang tampak lancar memetik senar gitarnya. Sesekali ia memberikan aba-aba dan arahan. Suaranya tetap lantang meski masih serak, mungkin karena terus bernyanyi. Bukan hanya saat menggambar saja ia terlihat serius, saat bernyanyi pun lelaki yang sudah 11 tahun bermukim di Jerman ini sangat serius. Matanya tetap saja masih melotot. Lagu-lagu yang dibawakan hari itu, semua hasil karyanya.

Aku anak Indonesia// Aku punya cita-cita// ...

Laki-laki itu, Yayak Yatmaka. Dunianya memang  selalu lekat  dengan anak-anak.
***

Tahun 1977 Indonesia dilanda krisis pendidikan. Sekitar 70 juta anak putus sekolah. “Waktu itu kita bikin gerakan anti kebodohan. Tuntutannya, pendidikan dasar gratis,”  kisah Yayak.

Kala itu, Yayak masih aktivis mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Layaknya aktivis, tentu kaya wacana. Model ekonomi pertumbuhan berorientasi kapitalis yang berlaku di zaman Orde Baru itulah yang dianggap jadi biang krisis pendidikan di Tanah Air.
“Korban pertamanya adalah anak-anak,” kata Yayak. Tidak banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah negeri. Menurut Yayak, pendidikan itu tidak netral. Pendidikan selalu mewakili kepentingan kelompok yang berkuasa. “Kita mencoba menggagas bentuk-bentuk pendidikan alternatif,” katanya.

Mereka mengumpulkan anak-anak di pinggir rel kereta api. Jumlahnya lumayan banyak dan rata-rata mereka tidak sekolah, sebagian ada yang putus sekolah.  Anak-anak dengan tipikal sama juga banyak tersebar di seputar Taman Ganesha komplek ITB, tempat mereka bekerja mencari makan.

Keakraban dibangun dengan mendongeng. Hari pertama acara mendongeng, jumlah anak yang berkumpul belum terlalu banyak. Namun esok harinya, pada jam yang sama, anak-anak jalanan yang kemarin berkumpul kembali muncul dengan teman-teman lain yang mereka ajak. Sejak itu ada kedekatan antara mereka. “Lebur bersama anak, lebur bersama alam,” ungkapnya.

Para aktivis itu menemukan soal pokoknya: Anak-anak itu sulit mendapatkan pendidikan formal.

Anak-anak itu kemudian rutin diajak berkumpul, bermarkas di sebuah kampong. Sebuah pendidikan alternative harus dimulai.Belakangan dikenal sebagai Metode Anak Merdeka.
“Nggak sulit,” kata Yayak. Cari cara mereka bisa cerita, nulis. Jalan-jalan keliling kampung untuk melihat apa yang tidak lumrah. Lihat sampah, lihat yang jorok. Lalu cerita, nulis, gambar.

Sejak 1987 hingga 1991 Yayak menjadi koordinator SAMIN (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia), semacam organisasi pendidikan alternatif anak merdeka di Yogyakarta.
***


Kata Yayak, masa kanak-kanak tidak sekadar sebuah alam bermain. Ia memiliki daya rekam yang besar. Lagu-lagu semasa sekolah di Taman Siswa dulu masih tetap  membekas di benaknya. “Sudah 20 tahun aku tinggalkan lagu itu. 10 operet yang aku mainkan. Ternyata semua lagu dan nada sampai pemeran-pemerannya tidak bisa hilang,” ungkapnya.

Membuat lagu yang gampang diingat anak-anak merupakan salah satu metode untuk mendidik. Lantas bagaimana membuat lagu yang bagus untuk anak? “Lagu itu ada notnya. Bila dibuat diagram notnya, ada tekanan-tekanan dan itu nusuk, nusuk. Itu pasti gampang diingat oleh anak-anak,” ucapnya.

Tapi yang penting mengenai lagu untuk anak itu prinsipnya gampang diingat, dan iramanya harus mirip jingle. Dicontohkannya lagu Indonesia Raya karya WR Supratman. “Kayak itu jingle. Punya tekanan-tekanan khusus,” tambahnya.

Yayak percaya, lagu bisa menginspirasi. Cukup satu lagu yang dipahami bersama, semua akan bernyanyi dan bergerak. Buktinya, kemanapun ia pergi, dalam pertemuan lagu itu jadi pengikat kelompok-kelompok yang berbeda. Dasar berpikirnya soal lagu itu menjadi agak jelas, waktu ia mengungkap keprihatinannya betapa anak-anak sekarang sudah dijejali dengan iklan dan jingle yang disiarkan televisi setiap hari.
“Buat lagu, buat jingle. Itu akan menginspirasi yang lain,” kata Yayak. Waktu kasus Cimacan meletus, ribuan mahasiswa dan petani long march dari Garut ke Bandung. Mereka meneriakkan lagu yang sama. “Cimacan, tempat kami hidup dan mati.” Ribuan mahasiswa, bayangkan. Oh, jingle counter jingle tho!

Di Mataram pun dalam berbagai macam aksi mahasiswa, selalu ada lagu yang dikumandangkan. Belakangan baru ketahuan, banyak diantaranya adalah bagian dari jingle-nya Yayak.
“Kalau lagu itu sudah sampai ke jalan, aku tak berhak lagi bilang itu laguku. Itu lagu kita,” katanya datar.
***

Tapi jika akhir tahun 1991 Yayak harus “kabur" dari Indonesia, penyebabnya bukanlah lagu. Akibat kalender bertajuk “Tanah Untuk Rakyat”, penguasa waktu itu marah besar. Padahal kalender yang dicetak enam ribu eksemplar itu gambarnya sederhana. MIsalnya, pohon-pohon kecil kemudian ada sajak Wiji Thukul, seniman yang sampai sekarang masih hilang pasca peristiwa 27 Juli 1996.

Memasuki dekade 90-an protes muncul dimana-mana. Sejumlah kasus tanah mencuat ke permukaan. Isinya rata-rata sama, penggusuran dan pengusiran rakyat dari tanah tempatnya hidup. Kasus-kasus itu tersebar di sepanjang rantai pulau di tanah air. Kasus Cimacan, Badega, Kedung Ombo, Nipah, Haur Koneng, Majalengka, Kasus di Jakarta, Tim-tim, Bali, dan tak ketinggalan di Lombok. Tipikalnya sama pula. Mahasiswa dan rakyat jadi korban. Sementara pemerintah, pemilik modal besar dan tentara di pihak lain.

Sebuah berita muncul di Suara Merdeka, sebuah harian yang terbit di Semarang. Lukas (Lukas Suwarso, Ketua Aliansi Jurnalis Independen, AJI, Indonesia Tahun 1998) ditangkap dan diserahkan Muladi SH kepada polisi karena menempel kalender Tanah Untuk Rakyat di kampus Universitas Diponegoro --tempat Lukas menimba ilmu. Muladi yang beberapa tahun silam adalah Menteri Kehakiman, waktu itu menjabat Rektor Undip, Semarang. Laporan tersebut belakangan diketahui masuk lewat Menwa.

Entah bagaimana prosesnya, aparat tahu kalau kalender itu dibuat di Salatiga. Bukan cuma itu, salah satu gambar lain yang melukiskan kejadian di Aceh, seorang wanita hamil ditembaki tentara, membuat murka Sudomo, Pangkomkamtib waktu itu. “Siapa saja yang menggambarnya, tangkap dan bawa ke Sudomo hidup-hidup,” tegasnya di sebuah harian terbitan Ibukota.

Tapi gambar-gambar yang dihasilkan anak kelima dari 10 bersaudara ini bukan cuma itu. Waktu kasus Cimacan mencuat, ia menggambar seorang perempuan memakai anting-anting sedang duduk di atas kuda. Di bawah kuda itu bertebaran banyak mayat. Untuk kasus Badega, misalnya, gambarnya memperlihatkan seorang nyonya gemuk berkacamata sedang main golf. Di pahanya jelas ada gambar tato, karena si nyonya hanya memakai bikini.

Kata beberapa orang aktivis di Mataram, raut wajah nyonya itu memang mirip Ibu Tien Soeharto (almarhumah). Bayangkan, gambar itu dibuat saat rezim Orba masih sangat kuat. Akibatnya, dua orang aktivis di Salatiga ditahan. 4 Maret 1991 keluar Surat Kejaksaan melarang peredarannya.

Tak jera, bersama kawan-kawannya ia menyiapkan gambar lain. Hanya kali ini dikemas dalam bentuk kartu. Repotnya, tak ada percetakan yang berani terlibat. Surat edaran pihak kejaksaan waktu itu mewajibkan semua barang cetakan yang dikeluarkan harus dilaporkan. Apa akal? Dicetak sendiri. Di atas kartu itu tertulis “Printed in London by Democratic Forum”.

Tahu-tahu tanggal 12 Mei 1991, halaman depan KOMPAS memuat berita itu: “Yk BURON NASIONAL”.

Menjadi buron memang tak enak. “Rumahku digeruduk polisi, intel, dan orang-orang tak dikenal. Semua orang yang akrab denganku ditanyai, semua tempat yang sering kudatangi diintip,” kisahnya.

Untunglah ada banyak kawannya yang bersedia mengatur persembunyian. Ia pun harus menyamar, baik untuk mengelabui aparat atau kawan sendiri. Hanya saja lama kelamaan mulai terasa cara itu tidak efektif. Sangat mungkin penyamarannya bisa bocor tanpa sengaja.

Setelah hampir setahun terus dikejar-kejar, musyawarah kawan-kawannya memutuskan ia harus di “buang”. Waktu itu alternatif bagi aktivis yang dicari seperti dirinya,  cuma ada tiga tawaran, biasa dikenal dengan 3B: Bui, Buang, atau Bunuh. Vonis kawan-kawan untuknya, Buang.

Maka 25 Desember 1991, saat umat kristiani merayakan Natal, Ia tiba di Manila. “Merdeka” teriaknya waktu itu. Ia keluar melalui apa yang ia sebut “Jalan Tikus”. Katanya jalan seperti itu selalu banyak. “Nanti kalau Anda ada masalah, mudah,” katanya kepada saya dengan gaya anak kecil melucu.

Pelarian belum berakhir. Dari sana, ia harus keliling beberapa lama ke sejumlah kota di negara lain. Maklum, ia masih diburu-buru. Akhirnya, tahun 1992 ia sampai di Jerman. Disana ia menjumpai sang isteri yang lebih dulu “dikirim” saat masalah kalender tanah itu muncul pertama kali.
***

Sudah hampir 11 tahun ia menetap di Jerman. Usianya sudah 47 tahun, namun satu hal yang tidak pernah berubah, concern-nya pada freedom atau kemerdekaan. Kabarnya, siapa saja yang datang dan menaiki tangga apartemennya di Cologne, Germany, masih akan mendengar salam yang sama, “Merdeka!”

Di apartemen dekat River Rhine itulah ia melanjutkan aktivitasnya, bersama isteri dan tiga orang anaknya. Mereka semua ikut kewarganegaraan ibunya yang memang asli Jerman. Yayak bertemu dengannya saat sang gadis Jerman menempuh kuliah di UGM Yogyakarta. Ia sendiri, sampai kini status warganegaranya masih Indonesia.

Menurut harian The Jakarta Post edisi Mei lalu yang saya baca, saat awal menetap di Jerman ia punya segudang aktivitas. “He helped build up an international network and was working for organizations like Orcades, Torres des Hommes and Unicef. He held exhibitions in  Paris, Amsterdam, Berlin and a lot of European cities.” Begitu yang ditulis disana.

Tapi diluar itu, ia pun punya perhatian tentang masalah-masalah di Jerman. Untuk itu, kadang-kadang mengirim karikatur dan ilustrasi ke sejumlah media lokal Jerman. Ini seperti mengulang masa lalu. Hingga tahun 1987 silam, selain studi di jurusan Desain Grafis ITB, Yayak pun kerja freelance di sejumlah majalah, antara lain Pustaka dan Tempo. Ia banyak mengirim gambar ke sejumlah media massa waktu itu. Sayang, banyak diantaranya memang ditolak muat. “Mungkin mereka takut,” katanya singkat.

Yayak mengaku baru bisa kembali ke Indonesia setelah reformasi 1998 bergulir. Bagaimana dengan anak-anaknya? Ia mengatakan mereka sudah pernah menjejakkan kakinya di tanah air bapaknya. Apakah mereka akan jadi orang Indonesia, tanya saya. “Ongkosnya besar,” jawabnya.

Meski ia menetap di Jerman, situasi sekarang mengizinkannya untuk bebas bergerak. Termasuk kembali mengunjungi Lombok, tanah yang sempat diinjaknya belasan tahun silam saat  kasus tanah pariwisata mulai mencuat.

Sekarang ia kembali sibuk keliling daerah. Tentang ini, Yayak buka kartu,  “Sekarang banyak orang melakukan pendampingan dan mengatasnamakan anak-anak. Tapi aku prihatin, banyak yang akhirnya sekadar cari dana saja. Nampaknya ada persoalan pada paradigmanya. Jadi kita harus mencoba membangkitkan kembali semangat perjuangan,” terangnya.

Dalam beberapa bulan ini, laki-laki gondrong bermata nanar dan punya sejumlah kepandaian yang “bisa menginspirasi yang lain” itu akan mengunjungi kawan-kawan di berbagai daerah lain. Dunia bisa saja berubah, tapi agenda Yayak Yatmaka masih tetap sama: Anak. -pin

Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 11/Tahun I/Agustus-September 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar