Pendidik Anak yang
Pernah Buron
Rezim menghegemoni lewat jingle. Maka ia mencipta
counter-jingle
Malam kian larut.
Pengunjung acara bertajuk “Panggung Rakyat” di panggung terbuka Taman Budaya
Mataram, berangsur-angsur susut. Seorang laki-laki berambut gondrong dan
berperawakan kurus, terlihat sibuk membereskan sound system. Usai menggulung kabel, kakinya melangkah ke kerumunan
orang yang sedang menonton anak-anak menggambar. Agaknya ada beberapa orang
kawannya yang lama tak bersua. Ia menyapa dan menyalami. Suaranya agak serak,
meski tetap hangat dan bersemangat. Ya, ia memang tak asing bagi kalangan
aktivis Mataram.
Ada kain putih,
seperti bahan kain spanduk, terhampar di lantai semen tempat anak-anak
menggores kuas. Beberapa saat, ia mengambil posisi jongkok menemani anak-anak
itu menggambar. Tangannya bergerak-gerak di ujung tangkai kuas menggores kain.
Seperti biasa, ia menggambar anak-anak pinggiran yang “teraniaya”. Malam itu ia
menggambar anak-anak penjaja asongan yang dikejar-kejar aparat.
Bola matanya yang
besar melotot, sesekali terangkat untuk mengamati lagak anak-anak di
sampingnya. Nampak ia memberi arahan bagaimana menggambar yang baik. Sebagian
mereka sangat dikenal sebagai anak jalanan. Medet dan Alex, misalnya,
sehari-hari kalau tidak nganggur di
sejumlah warung di bilangan Airlangga, bisa dijumpai di sekitar traffic light kota.
Siang hari, di atas
panggung tertutup juga di kompleks Taman Budaya, laki-laki itu juga terlihat
dengan sekelompok orang, laki-perempuan, besar-kecil, memainkan alat musik. Ada
yang memegang gitar, ketipung, kenong plus gendang. Yang lainnya, ikut
mengetuk-ngetuk batu ke kotak tangga kayu panggung. Botol plastik bekas air
mineral pun jadi sasaran ketukan.
Laki-laki itu, Yayak
Yatmaka memainkan gitar bersama Ipul anak Bengkel Anak Jalanan (BAJA) Mataram
yang tampak lancar memetik senar gitarnya. Sesekali ia memberikan aba-aba dan
arahan. Suaranya tetap lantang meski masih serak, mungkin karena terus
bernyanyi. Bukan hanya saat menggambar saja ia terlihat serius, saat bernyanyi
pun lelaki yang sudah 11 tahun bermukim di Jerman ini sangat serius. Matanya
tetap saja masih melotot. Lagu-lagu yang dibawakan hari itu, semua hasil
karyanya.
Aku anak Indonesia// Aku punya cita-cita// ...
Laki-laki itu, Yayak
Yatmaka. Dunianya memang selalu lekat dengan anak-anak.
***
Tahun 1977 Indonesia
dilanda krisis pendidikan. Sekitar 70 juta anak putus sekolah. “Waktu itu kita
bikin gerakan anti kebodohan. Tuntutannya, pendidikan dasar gratis,” kisah Yayak.
Kala itu, Yayak
masih aktivis mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Layaknya aktivis, tentu
kaya wacana. Model ekonomi pertumbuhan berorientasi kapitalis yang berlaku di
zaman Orde Baru itulah yang dianggap jadi biang krisis pendidikan di Tanah Air.
“Korban pertamanya
adalah anak-anak,” kata Yayak. Tidak banyak orang tua yang mampu menyekolahkan
anaknya ke sekolah-sekolah negeri. Menurut Yayak, pendidikan itu tidak netral.
Pendidikan selalu mewakili kepentingan kelompok yang berkuasa. “Kita mencoba
menggagas bentuk-bentuk pendidikan alternatif,” katanya.
Mereka mengumpulkan
anak-anak di pinggir rel kereta api. Jumlahnya lumayan banyak dan rata-rata
mereka tidak sekolah, sebagian ada yang putus sekolah. Anak-anak dengan tipikal sama juga banyak
tersebar di seputar Taman Ganesha komplek ITB, tempat mereka bekerja mencari
makan.
Keakraban dibangun
dengan mendongeng. Hari pertama acara mendongeng, jumlah anak yang berkumpul
belum terlalu banyak. Namun esok harinya, pada jam yang sama, anak-anak jalanan
yang kemarin berkumpul kembali muncul dengan teman-teman lain yang mereka ajak.
Sejak itu ada kedekatan antara mereka. “Lebur bersama anak, lebur bersama
alam,” ungkapnya.
Para aktivis itu
menemukan soal pokoknya: Anak-anak itu sulit mendapatkan pendidikan formal.
Anak-anak itu
kemudian rutin diajak berkumpul, bermarkas di sebuah kampong. Sebuah pendidikan
alternative harus dimulai.Belakangan dikenal sebagai Metode Anak Merdeka.
“Nggak sulit,” kata
Yayak. Cari cara mereka bisa cerita, nulis. Jalan-jalan keliling kampung untuk
melihat apa yang tidak lumrah. Lihat sampah, lihat yang jorok. Lalu cerita,
nulis, gambar.
Sejak 1987 hingga
1991 Yayak menjadi koordinator SAMIN (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia),
semacam organisasi pendidikan alternatif anak merdeka di Yogyakarta.
***
Kata Yayak, masa
kanak-kanak tidak sekadar sebuah alam bermain. Ia memiliki daya rekam yang
besar. Lagu-lagu semasa sekolah di Taman Siswa dulu masih tetap membekas di benaknya. “Sudah 20 tahun aku
tinggalkan lagu itu. 10 operet yang aku mainkan. Ternyata semua lagu dan nada
sampai pemeran-pemerannya tidak bisa hilang,” ungkapnya.
Membuat lagu yang
gampang diingat anak-anak merupakan salah satu metode untuk mendidik. Lantas
bagaimana membuat lagu yang bagus untuk anak? “Lagu itu ada notnya. Bila dibuat
diagram notnya, ada tekanan-tekanan dan itu nusuk, nusuk. Itu pasti gampang
diingat oleh anak-anak,” ucapnya.
Tapi yang penting
mengenai lagu untuk anak itu prinsipnya gampang diingat, dan iramanya harus
mirip jingle. Dicontohkannya lagu
Indonesia Raya karya WR Supratman. “Kayak itu jingle. Punya tekanan-tekanan khusus,” tambahnya.
Yayak percaya, lagu
bisa menginspirasi. Cukup satu lagu yang dipahami bersama, semua akan bernyanyi
dan bergerak. Buktinya, kemanapun ia pergi, dalam pertemuan lagu itu jadi
pengikat kelompok-kelompok yang berbeda. Dasar berpikirnya soal lagu itu
menjadi agak jelas, waktu ia mengungkap keprihatinannya betapa anak-anak
sekarang sudah dijejali dengan iklan dan jingle
yang disiarkan televisi setiap hari.
“Buat lagu, buat jingle. Itu akan menginspirasi yang
lain,” kata Yayak. Waktu kasus Cimacan meletus, ribuan mahasiswa dan petani long march dari Garut ke Bandung. Mereka
meneriakkan lagu yang sama. “Cimacan, tempat kami hidup dan mati.” Ribuan
mahasiswa, bayangkan. Oh, jingle counter
jingle tho!
Di Mataram pun dalam
berbagai macam aksi mahasiswa, selalu ada lagu yang dikumandangkan. Belakangan
baru ketahuan, banyak diantaranya adalah bagian dari jingle-nya Yayak.
“Kalau lagu itu
sudah sampai ke jalan, aku tak berhak lagi bilang itu laguku. Itu lagu kita,”
katanya datar.
***
Tapi jika akhir
tahun 1991 Yayak harus “kabur" dari Indonesia, penyebabnya bukanlah lagu.
Akibat kalender bertajuk “Tanah Untuk Rakyat”, penguasa waktu itu marah besar.
Padahal kalender yang dicetak enam ribu eksemplar itu gambarnya sederhana.
MIsalnya, pohon-pohon kecil kemudian ada sajak Wiji Thukul, seniman yang sampai
sekarang masih hilang pasca peristiwa 27 Juli 1996.
Memasuki dekade
90-an protes muncul dimana-mana. Sejumlah kasus tanah mencuat ke permukaan.
Isinya rata-rata sama, penggusuran dan pengusiran rakyat dari tanah tempatnya
hidup. Kasus-kasus itu tersebar di sepanjang rantai pulau di tanah air. Kasus
Cimacan, Badega, Kedung Ombo, Nipah, Haur Koneng, Majalengka, Kasus di Jakarta,
Tim-tim, Bali, dan tak ketinggalan di Lombok. Tipikalnya sama pula. Mahasiswa
dan rakyat jadi korban. Sementara pemerintah, pemilik modal besar dan tentara
di pihak lain.
Sebuah berita muncul
di Suara Merdeka, sebuah harian yang terbit di Semarang. Lukas (Lukas Suwarso,
Ketua Aliansi Jurnalis Independen, AJI, Indonesia Tahun 1998) ditangkap dan
diserahkan Muladi SH kepada polisi karena menempel kalender Tanah Untuk Rakyat
di kampus Universitas Diponegoro --tempat Lukas menimba ilmu. Muladi yang
beberapa tahun silam adalah Menteri Kehakiman, waktu itu menjabat Rektor Undip,
Semarang. Laporan tersebut belakangan diketahui masuk lewat Menwa.
Entah bagaimana
prosesnya, aparat tahu kalau kalender itu dibuat di Salatiga. Bukan cuma itu,
salah satu gambar lain yang melukiskan kejadian di Aceh, seorang wanita hamil
ditembaki tentara, membuat murka Sudomo, Pangkomkamtib waktu itu. “Siapa saja
yang menggambarnya, tangkap dan bawa ke Sudomo hidup-hidup,” tegasnya di sebuah
harian terbitan Ibukota.
Tapi gambar-gambar
yang dihasilkan anak kelima dari 10 bersaudara ini bukan cuma itu. Waktu kasus
Cimacan mencuat, ia menggambar seorang perempuan memakai anting-anting sedang
duduk di atas kuda. Di bawah kuda itu bertebaran banyak mayat. Untuk kasus
Badega, misalnya, gambarnya memperlihatkan seorang nyonya gemuk berkacamata
sedang main golf. Di pahanya jelas ada gambar tato, karena si nyonya hanya
memakai bikini.
Kata beberapa orang
aktivis di Mataram, raut wajah nyonya itu memang mirip Ibu Tien Soeharto
(almarhumah). Bayangkan, gambar itu dibuat saat rezim Orba masih sangat kuat.
Akibatnya, dua orang aktivis di Salatiga ditahan. 4 Maret 1991 keluar Surat
Kejaksaan melarang peredarannya.
Tak jera, bersama
kawan-kawannya ia menyiapkan gambar lain. Hanya kali ini dikemas dalam bentuk
kartu. Repotnya, tak ada percetakan yang berani terlibat. Surat edaran pihak
kejaksaan waktu itu mewajibkan semua barang cetakan yang dikeluarkan harus
dilaporkan. Apa akal? Dicetak sendiri. Di atas kartu itu tertulis “Printed in
London by Democratic Forum”.
Tahu-tahu tanggal 12
Mei 1991, halaman depan KOMPAS memuat berita itu: “Yk BURON NASIONAL”.
Menjadi buron memang
tak enak. “Rumahku digeruduk polisi, intel, dan orang-orang tak dikenal. Semua
orang yang akrab denganku ditanyai, semua tempat yang sering kudatangi
diintip,” kisahnya.
Untunglah ada banyak
kawannya yang bersedia mengatur persembunyian. Ia pun harus menyamar, baik
untuk mengelabui aparat atau kawan sendiri. Hanya saja lama kelamaan mulai
terasa cara itu tidak efektif. Sangat mungkin penyamarannya bisa bocor tanpa
sengaja.
Setelah hampir
setahun terus dikejar-kejar, musyawarah kawan-kawannya memutuskan ia harus di
“buang”. Waktu itu alternatif bagi aktivis yang dicari seperti dirinya, cuma ada tiga tawaran, biasa dikenal dengan
3B: Bui, Buang, atau Bunuh. Vonis kawan-kawan untuknya, Buang.
Maka 25 Desember
1991, saat umat kristiani merayakan Natal, Ia tiba di Manila. “Merdeka”
teriaknya waktu itu. Ia keluar melalui apa yang ia sebut “Jalan Tikus”. Katanya
jalan seperti itu selalu banyak. “Nanti kalau Anda ada masalah, mudah,” katanya
kepada saya dengan gaya anak kecil melucu.
Pelarian belum
berakhir. Dari sana, ia harus keliling beberapa lama ke sejumlah kota di negara
lain. Maklum, ia masih diburu-buru. Akhirnya, tahun 1992 ia sampai di Jerman.
Disana ia menjumpai sang isteri yang lebih dulu “dikirim” saat masalah kalender
tanah itu muncul pertama kali.
***
Sudah hampir 11
tahun ia menetap di Jerman. Usianya sudah 47 tahun, namun satu hal yang tidak
pernah berubah, concern-nya pada freedom atau kemerdekaan. Kabarnya,
siapa saja yang datang dan menaiki tangga apartemennya di Cologne, Germany,
masih akan mendengar salam yang sama, “Merdeka!”
Di apartemen dekat
River Rhine itulah ia melanjutkan aktivitasnya, bersama isteri dan tiga orang
anaknya. Mereka semua ikut kewarganegaraan ibunya yang memang asli Jerman.
Yayak bertemu dengannya saat sang gadis Jerman menempuh kuliah di UGM
Yogyakarta. Ia sendiri, sampai kini status warganegaranya masih Indonesia.
Menurut harian The
Jakarta Post edisi Mei lalu yang saya baca, saat awal menetap di Jerman ia
punya segudang aktivitas. “He helped build up an international network and was
working for organizations like Orcades, Torres des Hommes and Unicef. He held
exhibitions in Paris, Amsterdam, Berlin
and a lot of European cities.” Begitu yang ditulis disana.
Tapi diluar itu, ia
pun punya perhatian tentang masalah-masalah di Jerman. Untuk itu, kadang-kadang
mengirim karikatur dan ilustrasi ke sejumlah media lokal Jerman. Ini seperti
mengulang masa lalu. Hingga tahun 1987 silam, selain studi di jurusan Desain
Grafis ITB, Yayak pun kerja freelance
di sejumlah majalah, antara lain Pustaka dan Tempo. Ia banyak mengirim gambar
ke sejumlah media massa waktu itu. Sayang, banyak diantaranya memang ditolak
muat. “Mungkin mereka takut,” katanya singkat.
Yayak mengaku baru
bisa kembali ke Indonesia setelah reformasi 1998 bergulir. Bagaimana dengan
anak-anaknya? Ia mengatakan mereka sudah pernah menjejakkan kakinya di tanah
air bapaknya. Apakah mereka akan jadi orang Indonesia, tanya saya. “Ongkosnya
besar,” jawabnya.
Meski ia menetap di
Jerman, situasi sekarang mengizinkannya untuk bebas bergerak. Termasuk kembali
mengunjungi Lombok, tanah yang sempat diinjaknya belasan tahun silam saat kasus tanah pariwisata mulai mencuat.
Sekarang ia kembali
sibuk keliling daerah. Tentang ini, Yayak buka kartu, “Sekarang banyak orang melakukan pendampingan
dan mengatasnamakan anak-anak. Tapi aku prihatin, banyak yang akhirnya sekadar cari
dana saja. Nampaknya ada persoalan pada paradigmanya. Jadi kita harus mencoba
membangkitkan kembali semangat perjuangan,” terangnya.
Dalam beberapa bulan
ini, laki-laki gondrong bermata nanar dan punya sejumlah kepandaian yang “bisa
menginspirasi yang lain” itu akan mengunjungi kawan-kawan di berbagai daerah
lain. Dunia bisa saja berubah, tapi agenda Yayak Yatmaka masih tetap sama:
Anak. -pin
Sumber: Tabloid
RAKYAT Edisi No. 11/Tahun I/Agustus-September 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar