Translate

Rabu, 27 Mei 2015

Lombok Khas: Berburu Si Rom, Sandang Bagus dan Merakyat



Kantong pas-pasan tapi ingin pakaian berkelas seperti Levi’s, Calvin Klein atau Lea? Jangan khawatir. Di Pasar Karang Sukun-Mataram, ada jaket, celana pendek atau panjang, hem, kaos, pakaian hangat, mungkin juga blus yang bagus. Soal harga, tentu jauh dibawah konter atau pusat pertokoan di Cakranegara. Anda juga bisa mencoba korden, bedcover atau permadani buatan luar negeri. Pakaian (bekas) impor seperti menjawab kebutuhan tampil ”wah” sementara ekonomi tak kunjung membaik. Bagaimana pakaian rombengan atau ada yang menyebut ”Si Rom” bisa sampai ke Lombok?............................................

Minggu pagi, di Pasar Karang Sukun, Mataram, kerumunan orang sudah  berjubel sejak masuk pukul delapan pagi. Hari masih pagi, tapi acara periksa pakaian dari tumpukan yang hanya beralas terpal dekat gerbang masuk pasar hiruk-pikuk. Bongkar sana, bongkar sini, pilih sana, pilih sini. Tawar menawar, dan kantung plastik berisi Si Rom itu pun berpindah tangan.
Di bagian lain agak berbeda, pakaian-pakaian siap pasar itu tergantung rapi di sejumlah hanger (gantungan) yang berjejer rapi. Yang berminat bisa langsung memilihnya. Memang menarik, harga murah tapi bermerek luar negeri.
Abdul Hadi, 35, asal Bengkel, Labuapi-Lombok Barat mengaku sudah dua tahun ini menikmati tingginya minat pembeli dagangannya. ”Yang beli bisa siapa saja. Bapak-bapak pejabat, pegawai kantor, ibu-ibu, mahasiswa, bahkan ada juga pengusaha,” ceritanya kepada RAKYAT.
Abdul Hadi mengaku permintaan barangnya sangat beragam. Kalau bapak-bapak yang berpenampilan necis dan bawa mobil biasanya cari jas atau bahan bermerek. ”Anak-anak muda lebih sering cari jaket atau celana jins,” tutur Hadi, yang mengaku pernah berjualan keliling di sejumlah pasar di Mataram. Ia kini memilih menjual celana dan jaket, semuanya berbahan jeans, sebab jenis itu paling lancar. ”Paling ramai hari Minggu, apalagi pas tanggal muda. Banyak pegawai kantoran datang,” kata Yanto salah seorang pedagang.
Menurut Hadi, kalau mendekati lebaran banyak pengusaha yang memborong pakaian disitu. Bisa sampai 200 potong. Katanya sih untuk hadiah lebaran.
Yang butuh pun tak segan-segan lagi. Begitu memarkir kendaraannya langsung memilih. Kalau sudah pas di hati, keluarkan dari hanger langsung bungkus. Atau ada  yang mencoba di tempat terbuka, karena tentu tidak tersedia kamar pas layaknya di toko pakaian.
Tapi agaknya ada juga yang masih pasang gengsi. Sebagian besar yang datang memang terlihat asyik membongkar dan memilih. Namun ada juga calon pembeli yang hanya mengamati dari jauh, meskipun matanya tak berhenti berputar meneliti tumpukan pakaian itu.
Di Pasar Kebon Roek-Ampenan, Si Rom dipajang di sebuah ”toko” semi permanen tanpa tembok penyekat sedikit pun. Beberapa gadis muda usia penuh minat mengarahkan matanya ke deretan baju yang dipajang. Tapi mereka tak berusaha mendekat. ”Mungkin mereka malu,” kata Desi, sang pelayan toko.
Pembeli yang jaga gengsi punya cara lain memperoleh buruannya. Biasanya mereka datang waktu sepi, atau bahkan tak datang tapi menitip lewat teman. Salah seorang pembeli, Novi, mengaku kalau ingin beli baju-baju di situ biasanya ia datang lebih pagi. ”Biasanya itu waktunya sedang sepi,” ujarnya hampir berbisik.
Novi dan beberapa gadis itu tentu saja berbeda dengan Ibu Ana.  Wanita berparas cantik yang bekerja di RS Anthonius Ampenan ini mengaku sudah terbiasa naksir si Rom. Menurutnya, semua anggota keluarganya menyukainya. Ibu Ana tampak sangat percaya diri dan kelihatan tak malu-malu.
***

                Tak ada yang tahu persis sejak kapan pakaian rombengan luar negeri itu mulai menyerbu Sumbawa atau Lombok. Namun dari cerita yang beredar, konon Si Rom sudah mulai terlihat sejak tahun 70-an atau kurang lebih 30 tahun silam.
Kisah kedatangan Si Rom tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan para pedagang ternak (sapi) atau belantik NTB yang mengekspor ternak ke sejumlah negara. Waktu itu, NTB memang dikenal sebagai gudang ternak. Daripada kosong para belantik ini pulang sambil membawa pakaian bekas dari luar negeri.
                Salah seorang pedagang pakaian rombengan senior di Masbagik, Lombok Timur, Subakti, punya cerita. Saat itu, sekitar tahun 70-an,  Bakti muda sedang getol-getolnya berkeliling menjajakan arloji dan beragam asesoris di Pantai Kuta, Bali, setelah sekitar lima tahun merantau. Seorang temannya, Mahdi (almarhum), bersama sejumlah kawannya dari Sumbawa yang kerja mengekspor sapi atau kuda, kalau pulang pasti membawa pakaian rombengan.
”Kalau ke Singapura, mereka membawa pulang rombengan. Sebelum ke NTB, turunnya di Losmen Mertayoga di Bali,” kenang Bakti.
Mahdi, mula-mula hanya membawa sekitar 10 bal yang diedarkan dan  dijualkan oleh Bakti. Waktu itu ia berjualan di sejumlah daerah pantai. Peminat di Pulau Dewata waktu itu rupanya cukup banyak, buktinya pakaian yang waktu itu disebut ”barang catut” itu pun laku keras. Ternyata bule-bule pun banyak yang memanfaatkannya, terutama saat mandi atau berjemur di pantai.
Tapi itu cuma berjalan beberapa tahun. Mahdi sendiri lantas berhenti membawa rombengan setelah beberapa kali kena tipu di Singapura. Bakti yang kemudian lebih dikenal sebagai pedagang rombengan di Bali ini kemudian mulai berkeliling ke Surabaya, bahkan langsung ke Sumatera.
Lantas kapan Si Rom mulai masuk Lombok?
Subakti memperkirakan sekitar awal tahun 75-an, walau masih dalam partai kecil. ”Mungkin ada yang membawanya dari Bali masuk ke Lombok,” duganya.
Namun Suriani, saudara dari Abdul Hakim, seorang pemilik toko dan pengusaha rombengan terkenal di Masbagik, punya keyakinan berbeda. Ia yakin kalau yang pertama kali memperkenakan Si Rom adalah para ”daeng” dari Sumbawa. ”Daeng-daeng itu membawa barang dengan karung, tapi tidak banyak,” katanya.
Bakti sendiri membenarkan kalau tahun 1975 itu di Sumbawa pun pakaian rombengan sudah beredar. ”Bisa jadi barang-barang itu memang  datang dari timur,” kata Bakti. (Tim TABLOID RAKYAT)
  

Desa Kolo dan Terdamparnya Mr Cang


                Kolo adalah sebuah desa pesisir di ujung utara Bima. Menghadap Samudera Hindia dan berpenduduk sekitar 600 KK, desa ini seakan terisolasi dari desa lainnya. Lokasinya jauh dari kota kecamatan, menuju kesana mesti memakai perahu.
                Namun sejak adanya perdagangan ”barang impor”, warga Kolo bahu membahu bersama pemerintah membuka jalan. Tahun 1989, kendaraan roda empat sudah bisa masuk ke Kolo. Kini, desa ini termasuk paling makmur diantara desa pesisir lainnya di Bima. Rumah-rumah penduduknya sekarang dari kayu jati dengan 19 tiang.
                Bagaimana kisah dimulainya dagang barang impor di Kolo?
                Sekitar 15 tahun silam, sebuah kapal Taiwan terdampar di Teluk Asakota-Bima akibat angin kencang dan tingginya gelombang laut. Kapal yang memuat gula pasir ini akhirnya dibantu para nelayan membongkar muatannya. Isinya sebagian dibagikan kepada warga Kolo.
                Nakhoda kapal naas itu, Mr. Cong Cang, bermalam di rumah ketua nelayan Kolo, H. Rajak. Cang menginap dua malam sambil menunggu kapalnya diperbaiki. Ia tukar cerita dengan Rajak soal bisnis jual beli barang bekas, dan mengajaknya ikut.
                Rajak, pemilik perahu motor di Kolo pun tergiur dengan ajakan Cang. Keesokan harinya Rajak mengundang rapat para pemuka desa Kolo membahas ajakan Mr Cang.
Dengan iringan doa warga Kolo, Rajak meninggalkan desanya mengarungi perairan Laut Hindia menuju Singapura mengemudikan perahu motor miliknya.
”Saya hanya mencoba saja berlayar dengan perahu motor, tidak ada isi perahu kecuali makanan dan solar. Dari jarak yang terukur saya mengiringi kapal Taiwan milik Mr Cang,” cerita Rajak.
Sesampainya di pelabuhan laut Singapura yang berbatasan dengan Batam, ternyata sudah banyak pedagang rombengan alias barang bekas menanti disana.
Menurutnya, seluruh isi karung bukan barang bekas semua. Sebagian adalah barang yang masa berlakunya sudah usai. Daripada dilebur, buruh-buruh gudang menjualnya ke Indonesia. Bahkan ada yang ke Iran, Irak dan India.
Awalnya Rajak membeli barang elektronik sesuai permintaan warga Kolo yang menitipkan uangnya. Di Kolo barang dagangannya laris manis, tak sampai seminggu langsung habis terjual. Maka kondanglah nama Rajak se-antero Bima.
Menurut Rajak, modal yang diperlukan untuk beli barang bekas tidaklah mahal. Jika pakaian hanya bermodalkan Rp 150 ribu, sedang barang elektronik, karpet, springbed  modalnya antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Dari modal tersebut ia bisa menggaet untung dua kali lipat.
Usaha Rajak akhirnya tercium pengusaha Tionghoa di Bima. Pengusaha ini menitip barang keperluannya lewat Rajak. Misalnya barang-barang mewah berupa radio-tape, TV, HP, kulkas, AC, komputer, serta alat dapur bermerek Sony, atau merek Kenwood dan Samsung. Barang-barang bagus itu harganya jauh lebih murah ketimbang di toko.
Tapi nasib buruk kadang menimpa Rajak. Beberapa kali perahu motornya dicegat petugas bea cukai. Barang bawaannya diambil dan dibakar di Batam.
Pernah suatu kali Rajak dan anaknya Boy menggunakan dua perahu motor melakukan bongkar muat di tengah laut. Tapi sial, barang pesanan alat elektronik, arloji, pakaian, tas, karpet, spring bed, tertangkap. Jika mampu bernegosiasi memang selamat, tetapi karena operasi gabungan Rajak tak berkutik. Tiga bulan Rajak ditahan di Batam.
”Saya sudah tiga kali dikurung, tapi syukur saya punya anak yang meneruskan usaha ini,” paparnya.
Di Bima, barang bekas ini diberi perhatian khusus oleh pemerintah daerah. Satu areal sebelah barat Pasar Bima diperuntukkan bagi pedagang barang bekas ini. ”Persis seperti di (Pasar) Senen Jakarta. Ramai dan laris,” kata Rajak.
Pembelinya kebanyakan dari kalangan elit masyarakat Bima, utamanya PNS, pengusaha, bahkan direktur Bank.
Susan, istri seorang pengusaha Tionghoa mengaku sangat puas dengan barang yang dijual pedagang Kolo. ”Walaupun bekas tetapi mutu barangnya yang penting. Dan saya sangat kecewa jika pemerintah menyetop perdagangan ini,” katanya.



Masbagik Si Kota Rombengan

Tentu saja Mahdi, Subakti, atau daeng-daeng dari Sumbawa itu tak pernah mengira kalau apa yang dulu mereka usahakan itu akan berkembang  seperti sekarang. Boleh dikata, selain di Bima, Dompu, dan Sumbawa, di Pulau Lombok penyebaran pakaian rombengan atau Si Rom  seperti tak bisa dibendung.
Di Mataram saja bisa ada puluhan tempat, meski memang tak ada yang terlalu besar. Selain di Pasar Karang Sukun, Si Rom dapat dijumpai di beberapa toko atau cukup disebar di atas kain terpal di seputar Karang Baru, Pasar Sindu, Pasar Sayang-sayang, Pasar Mandalika, Pasar Pagesangan, Pasar Muhajirin-Dasan Agung, atau di Pasar Kebon Roek Ampenan. Masih belum terhitung rumah perorangan yang disulap jadi ”showroom” pakaian impor itu. Belakangan, yang cukup ramai memang di Pasar Karang Sukun, Mataram. Jumlah pedagangnya mencapai 40 orang.
Di Lombok Timur, Si Rom bisa ditemui di Pasar Masbagik atau Pasar Paok Motong. Di Masbagik, pedagang yang cukup terkenal selain Subakti dan Hakim, ada juga Pak Hus dan Pak Sahbandi. Beda dengan di Mataram, para pedagang di Masbagik ini umumnya adalah ”agen” atau penyetok, yang menyimpan setok dalam partai besar.
Tidak salah jika Masbagik yang sering disebut pemilik masjid paling megah di NTB itu kini punya sebutan baru. ”Masbagik Si Kota Rombengan,” kata  seorang  pedagang pakaian itu sambil tertawa.
Bukan hanya di NTB, di hampir semua pulau di Nusantara, Si Rom dikenal akrab oleh penduduk. Dewasa ini, rantai perdagangan Si Rom melintasi benua. Untuk Indonesia, para pedagang besar atau ”agen” biasanya mengangkut Si Rom dari Sumatera atau Riau dengan truk kontainer. Disana, sejumlah pemasok Rom dari berbagai negara yang biasa disebut ”bos” oleh para agen ini telah siap dengan setok barangnya yang dikemas dalam bentuk bal atau biasa disebut koli. Diluar itu, sejumlah kapal laut mengangkut mereka ke sejumlah daerah-daerah pelabuhan membantunya meneruskan perjalanan.
Truk-truk kontainer dan kapal-kapal pelaut dari berbagai pulau di Indonesia inilah yang membawanya berkelana, dan memenuhi kebutuhan sandang para pribumi se-antero Nusantara. Dari para pemasok ini langsung dipajang di toko-toko, sebagian lainnya di-drop ke pasar-pasar rakyat atau diedarkan oleh sejumlah pengecer yang tersebar sampai ke desa-desa.
Si Rom, pakaian bekas dari Amerika, Singapura, Taiwan, Jepang, dan Korea itu kini merambah ke sejumlah wilayah mengikuti logika krisis ekonomi dan bayang kemiskinan di sejumlah tempat.
Si Rom yang berkualitas impor dengan harga kantong ”pas-pasan” layaknya subsidi seperti bantuan KUT, NTAADP atau berbagai jenis bantuan luar negeri lainnya. Hanya saja tak pernah ada yang menyebutnya Jaring Pengaman Sosial (JPS), padahal bisa jadi ia sudah sering melakukannya.




Kisah Penyetok dan Para Pengecer

Bisnis baju impor itu membuat beberapa pribumi menjadi ”bos”. Mereka punya anak buah, dan setok barang dalam jumlah besar. Memang tak selamanya semua berjalan mulus, karena kadang ada saja yang kena dicurangi. Barang habis tapi cuma catatan hutang yang makin menumpuk. Karena itu perlu lebih cerdik mengatur distribusinya.  Namun berkah Si Rom juga tak kalah dengan pangsa lain, selain bisa menabung, anak pun bisa kuliah.


                Usaha rombengan itu tergantung nasib. Kalau beruntung dapat barang bagus, maka hasilnya pasti banyak. Ini tentu juga berlaku untuk para pedagang pengecer yang ngambil barang dari sejumlah agen, baik dari Pulau Sumbawa maupun dari Bali.
Sampai empat bulan silam, dua jalur setok barang ini cukup lancar. Cuma, mutunya memang beda.
Pak Hus, seorang penyetok di Masbagik mengaku lebih suka mengambil setokan dari Bali. Setok Bali itu bal-an atau koli. ”Biasanya kualitasnya lebih bagus dibanding dari Sumbawa yang memakai karung,” kata Hus.
Kalau dalam kemasan koli biasanya pakaiannya sudah terpisah menurut jenisnya. Ada kelompok celana, baju, begitu seterusnya. Sedangkan yang karungan, semua bercampur jadi satu, ya baju, celana, jas dan lainnya campur aduk. ”Mungkin di kapal bungkusannya sudah dibuka, terus dicampur,” duga Hus soal kemasan karungan itu.
Pedagang besar seperti Hus, Hakim, dan Sahbandi di Masbagik, selain punya toko juga punya pengecer-pengecer yang dibina. Mereka biasanya berjualan ke pasar-pasar sampai pelosok desa.
Sahbandi misalnya, punya lima orang pengecer yang mengambil barangnya. Aturannya mudah. Si pengecer ambil Si Rom cuma-cuma alias ngutang, minggu berikutnya barang boleh diambil lagi, tentu setelah barang sebelumnya lunas disetor.
Hakim lain lagi. Ia mewajibkan para pengecer itu memberi jaminan. Dari 10 orang pengecer binaannya, biasanya membayar paling tidak setengah harga dimuka. Ia pernah kena getah dicurangi pengecer. Setelah barang diambil, batang hidungnya pun tak pernah kelihatan. Daftar hutangnya menumpuk sampai tiga buku besar.
”Kalau dihitung mungkin ada sekitar 20 juta (rupiah) duit saya belum balik. Saya malas ngasih hutang lagi,” kata Hakim.
Jenis Si Rom bisa beragam. Pakaian anak-anak, orang dewasa, semuanya ada. Bahkan perlengkapan rumah tangga seperti korden, lap tangan juga tersedia. Paling laris biasanya pakaian seperti baju, celana dan kaos. Harga yang ditawarkan hemat dan merakyat.
Kemeja misalnya, dalam kondisi masih baik harganya Rp 10 ribu. Celana panjang rata-rata Rp 15 ribu per potong, padahal di toko bisa Rp 150 ribu. Pakaian anak-anak pun harganya  super hemat,  mulai dari tiga sampai empat ribu rupiah per potong.
”Meskipun murah, kualitasnya tidak kalah bagus. Pokoknya rombengan tidak bikin kantong kita terkuras,” kata Bu Ana saat dijumpai di Pasar Kebon Roek.
***

Abdul Hadi yang akrab dipanggil ”Bung Jaket”, rata-rata tiap harinya bisa menjual 20 lembar jaket. Omzet hariannya sekitar Rp 350 ribu, kalau sedang ramai bisa mencapai Rp 750 ribu sehari. Satu bulannya ia bisa menghabiskan satu bal setokan jaket atau jeans. Dari harga Rp 1,25 juta tiap balnya, ia bisa memperoleh keuntungan Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu. ”Tergantung mutu pakaiannya,” terang  Hadi.
Itu tentu hitungan kasar saja, karena setelah menghitung-hitung dengan jarinya, Hadi memperoleh angka Rp 50 ribu untuk hasil tiap harinya. Itu belum termasuk uang makan dan tabungan  di sebuah koperasi yang tiap hari mengunjunginya. Ia juga masih bisa membayar cicilan kredit sepeda motornya di sebuah dealer di Cakranegara.
Sedang Hakim, si pedagang lebih besar, bisa beli rumah, sepeda motor dan tentu saja kebutuhan keluarga. Tahun 2000, menurutnya adalah saat-saat panen. Per minggu omzetnya mencapai Rp 30 juta.
Begitu juga Sahbandi yang bisa  mencicil mobil. Laki-laki ini punya nilai plus, beberapa anaknya bisa menyelesaikan kuliah karena berkah Si Rom. Tentu,  ada saja yang bangkrut. ”Memang yang muda-muda itu maunya main kebut saja, padahal berdagang rom ini juga butuh keuletan saat cari barang,” kata Bakti.
    

Setok Habis Rejeki pun Macet

                Bisnis pakaian impor itu belakangan kena tampar. Gara-garanya, Memperindag Rini Suwandi menyetop impor pakaian bekas. Alasannya melindungi produk dalam negeri. Rata-rata di semua pusat setok, barang mulai habis. Pasokan dari sejumlah jalur nyaris tak ada. Akibat kebijakan itu, di Tanjung Pinang, Riau atau di sejumlah pelabuhan di Sumatera, Si Rom mulai menghilang.
                Artinya apa? Setok habis berarti rejeki macet.
                Dari Pasar Karang Sukun, Hadi mengaku setoknya hanya bisa bertahan sampai akhir bulan. Sebagian besar pedagang di tempat itu cuma bisa bergantung dari sejumlah penyetok di Masbagik, atau barang karungan dari Sumbawa. Yang lainnya membeli barang teman-temannya. ”Sekedar agar bisa terus berjualan dan memperoleh rejeki,” ujar Hadi agak memelas.
                Sejumlah setok lama yang kualitasnya kurang bagus pun hampir tak bersisa. ”Yang sobek itu kita jahit lagi,” ujarnya sambil menunjuk tukang jahit di dekatnya.
                Temannya, Erwin, mengaku terakhir  ke Sumatera empat bulan lalu. Katanya demonstrasi  para pedagang memang sedang marak-maraknya karena pelarangan itu. ”Di Bali dan Surabaya, para agen itu sekarang sudah tak ada lagi. Disana tiap hari ada razia,” ujarnya.
Barang di Masbagik juga mulai habis. Subakti buka kartu, yang tersisa sekarang adalah sisa setok tiga bulan lalu dari Bali. “Bahkan ada 200 bal sisa kemarin, semuanya ludes, karena tidak ada barang yang datang,” akunya.
                Kebijakan pemerintah yang melarang memasok pakaian rombengan ini dipertanyakan para pedagang. “Kalau memang benar barang ini dilarang masuk ke Indonesia, dari mana lagi kita mau cari makan,” ungkap Suriani. Ia memperkirakan 30 persen penduduk Masbagik berusaha pakaian bekas itu.
                Kekhawatiran Suriani diamini Erwin maupun Hadi di Karang Sukun. Lantas, kalau tidak jualan Rom  mau kerja apalagi?  ”Mungkin jadi maling,” ujar Hadi pelan.
Tentu saja bukan cuma Subakti, Suriani, Hakim dan Sahbandi di Masbagik, atau Hadi, Yanto dan Erwin di Pasar Karang Sukun, tapi juga ribuan pengecer lainnya yang tersebar di sejumlah pulau, baik di NTB atau pun di daerah lainnya,  terancam kehilangan pencaharian. (Tim TABLOID RAKYAT)

sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 07/Tahun I/Apri-Mei 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar