Kantong pas-pasan tapi ingin pakaian berkelas
seperti Levi’s, Calvin Klein atau Lea? Jangan khawatir. Di Pasar Karang Sukun-Mataram,
ada jaket, celana pendek atau panjang, hem, kaos, pakaian hangat, mungkin juga
blus yang bagus. Soal harga, tentu jauh dibawah konter atau pusat pertokoan di
Cakranegara. Anda juga bisa mencoba korden, bedcover atau permadani buatan luar
negeri. Pakaian (bekas) impor seperti menjawab kebutuhan tampil ”wah” sementara
ekonomi tak kunjung membaik. Bagaimana pakaian rombengan atau ada yang menyebut
”Si Rom” bisa sampai ke Lombok?............................................
Minggu pagi, di Pasar Karang Sukun, Mataram,
kerumunan orang sudah berjubel sejak
masuk pukul delapan pagi. Hari masih pagi, tapi acara periksa pakaian dari
tumpukan yang hanya beralas terpal dekat gerbang masuk pasar hiruk-pikuk.
Bongkar sana, bongkar sini, pilih sana, pilih sini. Tawar menawar, dan kantung
plastik berisi Si Rom itu pun berpindah tangan.
Di bagian lain agak berbeda, pakaian-pakaian siap
pasar itu tergantung rapi di sejumlah hanger (gantungan) yang berjejer
rapi. Yang berminat bisa langsung memilihnya. Memang menarik, harga murah tapi
bermerek luar negeri.
Abdul Hadi, 35, asal Bengkel, Labuapi-Lombok
Barat mengaku sudah dua tahun ini menikmati tingginya minat pembeli
dagangannya. ”Yang beli bisa siapa saja. Bapak-bapak pejabat, pegawai kantor,
ibu-ibu, mahasiswa, bahkan ada juga pengusaha,” ceritanya kepada RAKYAT.
Abdul Hadi mengaku permintaan barangnya sangat
beragam. Kalau bapak-bapak yang berpenampilan necis dan bawa mobil biasanya
cari jas atau bahan bermerek. ”Anak-anak muda lebih sering cari jaket atau
celana jins,” tutur Hadi, yang mengaku pernah berjualan keliling di sejumlah
pasar di Mataram. Ia kini memilih menjual celana dan jaket, semuanya berbahan jeans,
sebab jenis itu paling lancar. ”Paling ramai hari Minggu, apalagi pas tanggal
muda. Banyak pegawai kantoran datang,” kata Yanto salah seorang pedagang.
Menurut Hadi, kalau mendekati lebaran banyak
pengusaha yang memborong pakaian disitu. Bisa sampai 200 potong. Katanya sih
untuk hadiah lebaran.
Yang butuh pun tak segan-segan lagi. Begitu
memarkir kendaraannya langsung memilih. Kalau sudah pas di hati, keluarkan dari
hanger langsung bungkus. Atau ada yang mencoba di tempat terbuka, karena tentu
tidak tersedia kamar pas layaknya di toko pakaian.
Tapi agaknya ada juga yang masih pasang gengsi.
Sebagian besar yang datang memang terlihat asyik membongkar dan memilih. Namun
ada juga calon pembeli yang hanya mengamati dari jauh, meskipun matanya tak
berhenti berputar meneliti tumpukan pakaian itu.
Di Pasar Kebon Roek-Ampenan, Si Rom dipajang di
sebuah ”toko” semi permanen tanpa tembok penyekat sedikit pun. Beberapa gadis
muda usia penuh minat mengarahkan matanya ke deretan baju yang dipajang. Tapi mereka tak berusaha mendekat. ”Mungkin
mereka malu,” kata Desi, sang pelayan toko.
Pembeli yang jaga gengsi punya cara lain
memperoleh buruannya. Biasanya mereka datang waktu sepi, atau bahkan tak datang
tapi menitip lewat teman. Salah seorang pembeli, Novi, mengaku kalau ingin beli
baju-baju di situ biasanya ia datang lebih pagi. ”Biasanya itu waktunya sedang
sepi,” ujarnya hampir berbisik.
Novi dan beberapa gadis
itu tentu saja berbeda dengan Ibu Ana.
Wanita berparas cantik yang bekerja di RS Anthonius Ampenan ini mengaku
sudah terbiasa naksir si Rom. Menurutnya, semua anggota keluarganya
menyukainya. Ibu Ana tampak sangat percaya diri dan kelihatan tak malu-malu.
***
Tak ada yang tahu persis
sejak kapan pakaian rombengan luar negeri itu mulai menyerbu Sumbawa atau
Lombok. Namun dari cerita yang beredar, konon Si Rom sudah mulai terlihat sejak
tahun 70-an atau kurang lebih 30 tahun silam.
Kisah kedatangan Si Rom
tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan para pedagang ternak (sapi) atau belantik
NTB yang mengekspor ternak ke sejumlah negara. Waktu itu, NTB memang dikenal
sebagai gudang ternak. Daripada kosong para belantik ini pulang sambil
membawa pakaian bekas dari luar negeri.
Salah
seorang pedagang pakaian rombengan senior di Masbagik, Lombok Timur, Subakti, punya
cerita. Saat itu, sekitar tahun 70-an,
Bakti muda sedang getol-getolnya berkeliling menjajakan arloji dan
beragam asesoris di Pantai Kuta, Bali, setelah sekitar lima tahun merantau.
Seorang temannya, Mahdi (almarhum), bersama sejumlah kawannya dari Sumbawa yang
kerja mengekspor sapi atau kuda, kalau pulang pasti membawa pakaian rombengan.
”Kalau ke Singapura,
mereka membawa pulang rombengan. Sebelum ke NTB, turunnya di Losmen Mertayoga
di Bali,” kenang Bakti.
Mahdi, mula-mula hanya
membawa sekitar 10 bal yang diedarkan dan
dijualkan oleh Bakti. Waktu itu ia berjualan di sejumlah daerah pantai.
Peminat di Pulau Dewata waktu itu rupanya cukup banyak, buktinya pakaian yang
waktu itu disebut ”barang catut” itu pun laku keras. Ternyata bule-bule pun
banyak yang memanfaatkannya, terutama saat mandi atau berjemur di pantai.
Tapi itu cuma berjalan beberapa tahun. Mahdi
sendiri lantas berhenti membawa rombengan setelah beberapa kali kena tipu di
Singapura. Bakti yang kemudian lebih dikenal sebagai pedagang rombengan di Bali
ini kemudian mulai berkeliling ke Surabaya, bahkan langsung ke Sumatera.
Lantas kapan Si Rom
mulai masuk Lombok?
Subakti memperkirakan
sekitar awal tahun 75-an, walau masih dalam partai kecil. ”Mungkin ada yang membawanya
dari Bali masuk ke Lombok,” duganya.
Namun Suriani, saudara
dari Abdul Hakim, seorang pemilik toko dan pengusaha rombengan terkenal di
Masbagik, punya keyakinan berbeda. Ia yakin kalau yang pertama kali
memperkenakan Si Rom adalah para ”daeng” dari Sumbawa. ”Daeng-daeng itu membawa
barang dengan karung, tapi tidak banyak,” katanya.
Bakti sendiri
membenarkan kalau tahun 1975 itu di Sumbawa pun pakaian rombengan sudah
beredar. ”Bisa jadi barang-barang itu memang
datang dari timur,” kata Bakti. (Tim TABLOID RAKYAT)
Desa Kolo dan Terdamparnya Mr Cang
Kolo
adalah sebuah desa pesisir di ujung utara Bima. Menghadap Samudera Hindia dan
berpenduduk sekitar 600 KK, desa ini seakan terisolasi dari desa lainnya. Lokasinya jauh dari kota kecamatan, menuju kesana
mesti memakai perahu.
Namun
sejak adanya perdagangan ”barang impor”, warga Kolo bahu membahu bersama
pemerintah membuka jalan. Tahun 1989, kendaraan roda empat sudah bisa masuk ke
Kolo. Kini, desa ini termasuk paling makmur diantara desa pesisir lainnya di
Bima. Rumah-rumah penduduknya sekarang dari kayu jati dengan 19 tiang.
Bagaimana
kisah dimulainya dagang barang impor di Kolo?
Sekitar
15 tahun silam, sebuah kapal Taiwan terdampar di Teluk Asakota-Bima akibat
angin kencang dan tingginya gelombang laut. Kapal yang memuat gula pasir ini
akhirnya dibantu para nelayan membongkar muatannya. Isinya sebagian dibagikan
kepada warga Kolo.
Nakhoda
kapal naas itu, Mr. Cong Cang, bermalam di rumah ketua nelayan Kolo, H. Rajak.
Cang menginap dua malam sambil menunggu kapalnya diperbaiki. Ia tukar cerita
dengan Rajak soal bisnis jual beli barang bekas, dan mengajaknya ikut.
Rajak,
pemilik perahu motor di Kolo pun tergiur dengan ajakan Cang. Keesokan harinya
Rajak mengundang rapat para pemuka desa Kolo membahas ajakan Mr Cang.
Dengan iringan doa warga Kolo, Rajak meninggalkan
desanya mengarungi perairan Laut Hindia menuju Singapura mengemudikan perahu
motor miliknya.
”Saya hanya mencoba saja berlayar dengan perahu
motor, tidak ada isi perahu kecuali makanan dan solar. Dari jarak yang terukur
saya mengiringi kapal Taiwan milik Mr Cang,” cerita Rajak.
Sesampainya di pelabuhan laut Singapura yang
berbatasan dengan Batam, ternyata sudah banyak pedagang rombengan alias barang
bekas menanti disana.
Menurutnya, seluruh isi karung bukan barang bekas
semua. Sebagian adalah barang yang masa berlakunya sudah usai. Daripada
dilebur, buruh-buruh gudang menjualnya ke Indonesia. Bahkan ada yang ke Iran,
Irak dan India.
Awalnya Rajak membeli barang elektronik sesuai
permintaan warga Kolo yang menitipkan uangnya. Di Kolo barang dagangannya laris
manis, tak sampai seminggu langsung habis terjual. Maka kondanglah nama Rajak
se-antero Bima.
Menurut Rajak, modal yang diperlukan untuk beli
barang bekas tidaklah mahal. Jika pakaian hanya bermodalkan Rp 150 ribu, sedang
barang elektronik, karpet, springbed modalnya antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta.
Dari modal tersebut ia bisa menggaet untung dua kali lipat.
Usaha Rajak akhirnya tercium pengusaha Tionghoa
di Bima. Pengusaha ini menitip barang keperluannya lewat Rajak. Misalnya
barang-barang mewah berupa radio-tape, TV, HP, kulkas, AC, komputer, serta alat
dapur bermerek Sony, atau merek Kenwood dan Samsung. Barang-barang bagus itu
harganya jauh lebih murah ketimbang di toko.
Tapi nasib buruk kadang menimpa Rajak. Beberapa
kali perahu motornya dicegat petugas bea cukai. Barang bawaannya diambil dan
dibakar di Batam.
Pernah suatu kali Rajak dan anaknya Boy
menggunakan dua perahu motor melakukan bongkar muat di tengah laut. Tapi sial,
barang pesanan alat elektronik, arloji, pakaian, tas, karpet, spring bed,
tertangkap. Jika mampu bernegosiasi memang selamat, tetapi karena operasi
gabungan Rajak tak berkutik. Tiga bulan Rajak ditahan di Batam.
”Saya sudah tiga kali dikurung, tapi syukur saya
punya anak yang meneruskan usaha ini,” paparnya.
Di Bima, barang bekas ini diberi perhatian khusus
oleh pemerintah daerah. Satu areal sebelah barat Pasar Bima diperuntukkan bagi
pedagang barang bekas ini. ”Persis seperti di (Pasar) Senen Jakarta. Ramai dan
laris,” kata Rajak.
Pembelinya kebanyakan dari kalangan elit
masyarakat Bima, utamanya PNS, pengusaha, bahkan direktur Bank.
Susan, istri seorang pengusaha Tionghoa mengaku
sangat puas dengan barang yang dijual pedagang Kolo. ”Walaupun bekas tetapi
mutu barangnya yang penting. Dan saya sangat kecewa jika pemerintah menyetop
perdagangan ini,” katanya.
Masbagik Si Kota Rombengan
Tentu saja Mahdi, Subakti, atau daeng-daeng dari
Sumbawa itu tak pernah mengira kalau apa yang dulu mereka usahakan itu akan
berkembang seperti sekarang. Boleh
dikata, selain di Bima, Dompu, dan Sumbawa, di Pulau Lombok penyebaran pakaian
rombengan atau Si Rom seperti tak bisa
dibendung.
Di Mataram saja bisa ada puluhan tempat, meski
memang tak ada yang terlalu besar. Selain di Pasar Karang Sukun, Si Rom dapat
dijumpai di beberapa toko atau cukup disebar di atas kain terpal di seputar
Karang Baru, Pasar Sindu, Pasar Sayang-sayang, Pasar Mandalika, Pasar
Pagesangan, Pasar Muhajirin-Dasan Agung, atau di Pasar Kebon Roek Ampenan.
Masih belum terhitung rumah perorangan yang disulap jadi ”showroom” pakaian
impor itu. Belakangan, yang cukup ramai memang di Pasar Karang Sukun, Mataram.
Jumlah pedagangnya mencapai 40 orang.
Di Lombok Timur, Si Rom bisa ditemui di Pasar
Masbagik atau Pasar Paok Motong. Di Masbagik, pedagang yang cukup terkenal
selain Subakti dan Hakim, ada juga Pak Hus dan Pak Sahbandi. Beda dengan di
Mataram, para pedagang di Masbagik ini umumnya adalah ”agen” atau penyetok,
yang menyimpan setok dalam partai besar.
Tidak salah jika Masbagik yang sering disebut
pemilik masjid paling megah di NTB itu kini punya sebutan baru. ”Masbagik Si
Kota Rombengan,” kata seorang pedagang pakaian itu sambil tertawa.
Bukan hanya di NTB, di hampir semua pulau di
Nusantara, Si Rom dikenal akrab oleh penduduk. Dewasa ini, rantai perdagangan
Si Rom melintasi benua. Untuk Indonesia, para pedagang besar atau ”agen”
biasanya mengangkut Si Rom dari Sumatera atau Riau dengan truk kontainer.
Disana, sejumlah pemasok Rom dari berbagai negara yang biasa disebut ”bos” oleh
para agen ini telah siap dengan setok barangnya yang dikemas dalam bentuk bal
atau biasa disebut koli. Diluar itu, sejumlah kapal laut mengangkut mereka ke
sejumlah daerah-daerah pelabuhan membantunya meneruskan perjalanan.
Truk-truk kontainer dan kapal-kapal pelaut dari
berbagai pulau di Indonesia inilah yang membawanya berkelana, dan memenuhi
kebutuhan sandang para pribumi se-antero Nusantara. Dari para pemasok ini
langsung dipajang di toko-toko, sebagian lainnya di-drop ke pasar-pasar
rakyat atau diedarkan oleh sejumlah pengecer yang tersebar sampai ke desa-desa.
Si Rom, pakaian bekas dari Amerika, Singapura,
Taiwan, Jepang, dan Korea itu kini merambah ke sejumlah wilayah mengikuti
logika krisis ekonomi dan bayang kemiskinan di sejumlah tempat.
Si Rom yang berkualitas impor dengan harga
kantong ”pas-pasan” layaknya subsidi seperti bantuan KUT, NTAADP atau berbagai
jenis bantuan luar negeri lainnya. Hanya saja tak pernah ada yang menyebutnya
Jaring Pengaman Sosial (JPS), padahal bisa jadi ia sudah sering melakukannya.
Kisah Penyetok dan Para Pengecer
Bisnis baju impor itu membuat beberapa pribumi
menjadi ”bos”. Mereka punya anak buah, dan setok barang dalam jumlah besar.
Memang tak selamanya semua berjalan mulus, karena kadang ada saja yang kena
dicurangi. Barang habis tapi cuma catatan hutang yang makin menumpuk. Karena
itu perlu lebih cerdik mengatur distribusinya.
Namun berkah Si Rom juga tak kalah dengan pangsa lain, selain bisa
menabung, anak pun bisa kuliah.
Usaha rombengan itu tergantung nasib. Kalau beruntung dapat barang bagus, maka hasilnya
pasti banyak. Ini tentu juga berlaku untuk para pedagang pengecer yang ngambil
barang dari sejumlah agen, baik dari Pulau Sumbawa maupun dari Bali.
Sampai empat bulan silam, dua jalur setok barang
ini cukup lancar. Cuma, mutunya memang beda.
Pak Hus, seorang penyetok di Masbagik mengaku
lebih suka mengambil setokan dari Bali. Setok Bali itu bal-an atau koli.
”Biasanya kualitasnya lebih bagus dibanding dari Sumbawa yang memakai karung,”
kata Hus.
Kalau dalam kemasan koli biasanya pakaiannya
sudah terpisah menurut jenisnya. Ada kelompok celana, baju, begitu seterusnya.
Sedangkan yang karungan, semua bercampur jadi satu, ya baju, celana, jas
dan lainnya campur aduk. ”Mungkin di kapal bungkusannya sudah dibuka, terus
dicampur,” duga Hus soal kemasan karungan itu.
Pedagang besar seperti Hus, Hakim, dan Sahbandi
di Masbagik, selain punya toko juga punya pengecer-pengecer yang dibina. Mereka
biasanya berjualan ke pasar-pasar sampai pelosok desa.
Sahbandi misalnya, punya lima orang pengecer yang
mengambil barangnya. Aturannya mudah. Si pengecer ambil Si Rom cuma-cuma alias
ngutang, minggu berikutnya barang boleh diambil lagi, tentu setelah
barang sebelumnya lunas disetor.
Hakim lain lagi. Ia mewajibkan para pengecer itu
memberi jaminan. Dari 10 orang pengecer binaannya, biasanya membayar paling
tidak setengah harga dimuka. Ia pernah kena getah dicurangi pengecer. Setelah
barang diambil, batang hidungnya pun tak pernah kelihatan. Daftar hutangnya
menumpuk sampai tiga buku besar.
”Kalau dihitung mungkin ada sekitar 20 juta
(rupiah) duit saya belum balik. Saya malas ngasih hutang lagi,” kata
Hakim.
Jenis Si Rom bisa beragam. Pakaian anak-anak,
orang dewasa, semuanya ada. Bahkan perlengkapan rumah tangga seperti korden,
lap tangan juga tersedia. Paling laris biasanya pakaian seperti baju, celana
dan kaos. Harga yang ditawarkan hemat dan merakyat.
Kemeja misalnya, dalam kondisi masih baik
harganya Rp 10 ribu. Celana panjang rata-rata Rp 15 ribu per potong, padahal di
toko bisa Rp 150 ribu. Pakaian anak-anak pun harganya super hemat, mulai dari tiga sampai empat ribu rupiah per
potong.
”Meskipun murah, kualitasnya tidak kalah bagus.
Pokoknya rombengan tidak bikin kantong kita terkuras,” kata Bu Ana saat dijumpai
di Pasar Kebon Roek.
***
Abdul Hadi yang akrab dipanggil ”Bung Jaket”,
rata-rata tiap harinya bisa menjual 20 lembar jaket. Omzet hariannya sekitar Rp
350 ribu, kalau sedang ramai bisa mencapai Rp 750 ribu sehari. Satu bulannya ia
bisa menghabiskan satu bal setokan jaket atau jeans. Dari harga Rp 1,25
juta tiap balnya, ia bisa memperoleh keuntungan Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu.
”Tergantung mutu pakaiannya,” terang
Hadi.
Itu tentu hitungan kasar saja, karena setelah
menghitung-hitung dengan jarinya, Hadi memperoleh angka Rp 50 ribu untuk hasil
tiap harinya. Itu belum termasuk uang makan dan tabungan di sebuah koperasi yang tiap hari
mengunjunginya. Ia juga masih bisa membayar cicilan kredit sepeda motornya di
sebuah dealer di Cakranegara.
Sedang Hakim, si pedagang lebih besar, bisa beli
rumah, sepeda motor dan tentu saja kebutuhan keluarga. Tahun 2000, menurutnya
adalah saat-saat panen. Per minggu omzetnya mencapai Rp 30 juta.
Begitu juga Sahbandi yang bisa mencicil mobil. Laki-laki ini punya nilai
plus, beberapa anaknya bisa menyelesaikan kuliah karena berkah Si Rom.
Tentu, ada saja yang bangkrut. ”Memang
yang muda-muda itu maunya main kebut saja, padahal berdagang rom ini juga butuh
keuletan saat cari barang,” kata Bakti.
Setok Habis Rejeki pun Macet
Bisnis
pakaian impor itu belakangan kena tampar. Gara-garanya, Memperindag Rini Suwandi
menyetop impor pakaian bekas. Alasannya melindungi produk dalam negeri.
Rata-rata di semua pusat setok, barang mulai habis. Pasokan dari sejumlah jalur
nyaris tak ada. Akibat kebijakan itu, di Tanjung Pinang, Riau atau di sejumlah
pelabuhan di Sumatera, Si Rom mulai menghilang.
Artinya
apa? Setok habis berarti rejeki macet.
Dari
Pasar Karang Sukun, Hadi mengaku setoknya hanya bisa bertahan sampai akhir bulan.
Sebagian besar pedagang di tempat itu cuma bisa bergantung dari sejumlah
penyetok di Masbagik, atau barang karungan dari Sumbawa. Yang lainnya membeli
barang teman-temannya. ”Sekedar agar bisa terus berjualan dan memperoleh
rejeki,” ujar Hadi agak memelas.
Sejumlah
setok lama yang kualitasnya kurang bagus pun hampir tak bersisa. ”Yang sobek
itu kita jahit lagi,” ujarnya sambil menunjuk tukang jahit di dekatnya.
Temannya,
Erwin, mengaku terakhir ke Sumatera
empat bulan lalu. Katanya demonstrasi para pedagang memang sedang marak-maraknya
karena pelarangan itu. ”Di Bali dan Surabaya, para agen itu sekarang sudah tak
ada lagi. Disana tiap hari ada razia,” ujarnya.
Barang di Masbagik juga mulai habis. Subakti buka
kartu, yang tersisa sekarang adalah sisa setok tiga bulan lalu dari Bali. “Bahkan
ada 200 bal sisa kemarin, semuanya ludes, karena tidak ada barang yang datang,”
akunya.
Kebijakan
pemerintah yang melarang memasok pakaian rombengan ini dipertanyakan para
pedagang. “Kalau memang benar barang ini dilarang masuk ke Indonesia, dari mana
lagi kita mau cari makan,” ungkap Suriani. Ia memperkirakan 30 persen penduduk
Masbagik berusaha pakaian bekas itu.
Kekhawatiran
Suriani diamini Erwin maupun Hadi di Karang Sukun. Lantas, kalau tidak jualan
Rom mau kerja apalagi? ”Mungkin jadi maling,” ujar Hadi pelan.
Tentu saja bukan cuma Subakti, Suriani, Hakim dan
Sahbandi di Masbagik, atau Hadi, Yanto dan Erwin di Pasar Karang Sukun, tapi
juga ribuan pengecer lainnya yang tersebar di sejumlah pulau, baik di NTB atau
pun di daerah lainnya, terancam
kehilangan pencaharian. (Tim TABLOID RAKYAT)
sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 07/Tahun I/Apri-Mei 2003
sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 07/Tahun I/Apri-Mei 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar