Mungkin sedikit yang tahu, kalau judi sabung ayam
atau “gocekan” itu berasal dari nama
orang Tionghoa. Kisah ini terjadi saat Belanda mulai menguasai Pulau
Lombok setelah tahun 1895. Setiap hari Sabtu sore, di rumah jabatan Asisten
Residen Lombok (lokasinya di Kantor Gubenur sekarang) diadakan pertunjukan
musik yang ditonton noni-noni Belanda atau Belanda Indo. Sementara itu di salah
satu sudut perkampungan Bali di Cakranegara, juga tiap sabtu sore berlangsung
sabung ayam. Di arena judi itu ada orang Tionghoa yang dikenal sebagai penyabung
ayam ulung, namanya Goh Tgek Ang. Konon, karena ia selalu menang akhirnya
namanya dijadikan sebutan ”gocekan” (di Bali judi sabung ayam itu dinamakan metajen).------------
Belum ada yang tahu persis sejak kapan
orang-orang Tionghoa, para ”pencari untung” yang ulet itu, bermukim di Lombok. Ada
yang mengatakan saat Kerajaan Karang Asem Bali mulai mengusai Lombok pada abad
18, namun ada juga yang menduga jauh sebelum itu. Sayangnya tidak ada catatan
tentang ini. Dari manakah orang-orang Tionghoa (selanjutnya di sebut Tionghoa saja)
yang akhirnya turun temurun tinggal di Pulau Lombok sampai sekarang?
Ratu Bagus Oka Netra, pengelola Lembaga Pusat
Informasi Dresta Widya (Lembaga Informasi Umat Hindu) NTB, mengatakan Tionghoa
yang lama hidup di Pulau Lombok sebagian besar berasal dari Johor, Malaysia.
Umumnya mereka berdagang kain, hampir bersamaan
masuknya dengan pedagang-pedagang dari Pakistan. Sebelumnya, pedagang-pedagang
dari Timur Tengah (Arab) yang sekaligus menyebarkan Islam sudah lebih dulu
mendarat membangun komunitas di Ampenan. Diperkirakan pendatang pertama kapal dagang
Tionghoa di Bandar Ampenan itu tiba sekitar 1780 Masehi.
Belakangan ada juga Tionghoa yang datang dari
Jawa. Pada kedatangan kedua ini pedagang-pedagang dari Palembang dan
Banjarmansin juga mulai masuk Lombok. Tionghoa datang mencari hasil bumi yang
langka di Jawa. Pada saat itu Belanda menetapkan politik tanam paksa
(1830-1870). Sistem itu mengutamakan ekspor produk-produk pertanian tertentu.
Para pemimpin pribumi di Jawa dipaksa mengusahakan jenis pertanian tertentu dalam jumlah yang
sudah ditetapkan.
Tapi sistem tanam paksa
tak diberlakukan di Lombok. Selain karena status kerajaan Lombok yang masih merdeka, juga karena laporan Rijckevoersel dan
Van Der Tuuk yang pernah survey ke Lombok menyebutkan kalau pulau ini cuma menghasilkan padi dan palawija.
Berdasarkan bukti-bukti
mata uang yang beredar, kedatangan pedagang-pedagang Tionghoa periode pertama
merupakan awal dimulainya sistem perdagangan modern. Kalau sebelumnya antar
penduduk pribumi hanya berlangsung perdagangan cara barter, kedatangan pedagang
itu sudah mengenalkan mata uang. ”Orang-orang Tionghoa itu yang pertama
mengenalkan kepeng bolong,” tutur Oka Netra. Pada perkembangan
selanjutnya, pedagang-pedagang Palembang akhirnya juga mengedarkan mata uang kepeng
bolong.
Piawai
Saat itu pemerintah Kerajaan
Karang Asem sedang jaya-jayanya di Lombok. Dalam catatan sejarah, proses
penaklukan Karang Asem (berlangsung sejak masa pemerintahan I Gusti Anglurah
Ktut Karang Asem) terhadap Lombok terjadi sejak jatuhnya Kerajaan Selaparang di
Lombok Timur, tahun 1691 sampai tahun 1740. Pada tahun 1740 Lombok sepenuhnya dibawah
kekuasaan Karang Asem.
Tionghoa memang piawai dan ulet dalam perdagangan. Mereka mampu mengalahkan
pesaingnya pedagang-pedagang dari Arab (Timur Tengah), Palembang atau Banjarmasin.
Kemampuannya menjalin hubungan dengan penguasa setempat juga luar biasa. Ketika
penguasa Karang Asem di Lombok membutuhkan senjata meriam (karena mendengar armada perang Belanda akan mendarat di
Ampenan), hanya pedagang-pedagang Tionghoa yang bisa mensuplai meriam pada
penguasa kerajaan saat itu. ”Yang menjual meriam kepada penguasa kerajaan itu
memang orang Tionghoa,” kata Oka Netra yang mengaku keturunan Raja Karang Asem.
Terbukti saat terjadi
perang antara Karang Asem di Lombok dengan Belanda yang mendarat di Ampenan sekitar tahun 1894. Dalam perang
itu pasukan Karang Asem yang tradisional
bisa bertahan cukup lama karena sudah menggunakan senjata meriam modern. Tentu
saja, karena persediaan meriam dan amunisinya yang terbatas, perang antara
penakluk yang satu masih tradisional dan penakluk lainnya yang lebih modern dan
canggih itu hanya berlangsung setahun. Tahun 1895 Belanda dapat dikatakan sudah
mengambil alih sepenuhnya kekuasaan di Lombok.
Namun jatuhnya kerajaan
di Lombok ke tangan Belanda ternyata tak membuat Tionghoa dikucilkan pemerintah
kolonial. Dengan piawai mereka berbalik menempel ke penguasa baru. Justru
kemenangan Belanda membuka peluang bagi mereka untuk makin meluaskan
perdagangannya ke Cakranegara. ”Belanda malah memberi tugas orang-orang
Tionghoa itu untuk memata-matai pribumi,”
kata penulis buku Mozaik Budaya Orang Mataram, Fath Zakaria.
Sebelumnya, dalam hal
perdagangan penguasa kerajaan agak membatasi perdagangan mereka hanya di
sekitar Ampenan. Sebenarnya dalam situasi seperti itu pun, pedagang-pedagang
Tionghoa tetap menjadi pemasok kebutuhan sehari-hari penduduk. Sebab pedagang-pedagang
ulung Tionghoa itu sangat pandai bergaul khususnya dengan masyarakat Bali.
Jadi penguasa boleh
berganti di Lombok, tapi peluang untuk mengembangkan bakat mencari untung
Tionghoa malah makin terbuka luas.
.
Trah pebisnis
Maka sejak saat itulah pedagang-pedagang Tionghoa makin
menjelajah ke seluruh Lombok. Hampir di seluruh pelosok, perdagangan hasil bumi dikuasai Tionghoa. Termasuk di
Lombok Timur yang saat itu sudah jadi wilayah perniagaan yang penting.
Orang-orang Tionghoa itu juga punya peranan penting membuka hubungan dagang
dengan dunia luar dengan membuka Bandar Labuhan Lombok di Lombok Timur.
Akhirnya kesempatan maju
itu juga dipermudah Belanda di lapangan lainnya. Misalnya di sektor pendidikan,
pada tahun 1927 Tionghoa Kok Bin Hak Hao mendirikan sekolah rendah (SD) di
Cakranegara. Bangunan sekolah itu kini masih tersisa di sekitar lapangan basket
Bunut Baok, Cakranegara. Sekolah serupa juga ada di Masbagik dan sekitar Pancor, di Lombok Timur.
Sekitar tahun 1935 di Ampenan Tjong Hoa Tjong
Hue, organisasi semacam KADIN, mendirikan sekolah setingkat SLTP, yang tergolong megah saat itu. Bangunan itu di
sebelah Pasar Swalayan ACC (sekarang Barata), di Ampenan. Kalau di
sekolah-sekolah yang didirikan Belanda, pribumi yang bisa diterima cuma
anak-anak dari kalangan bangsawan. Di sekolah Tionghoa tidak pandang bulu,
siapa pun bisa diterima. Tentu saja, asal keluarganya mampu membayar.
Tionghoa yang intelek dan bergerak di lapangan
pendidikan pun makin meluas. Meski di sisi lain, di bagian Kota Ampenan arah ke
laut di kompleks pasar dan pertokoan yang dibangun Belanda ada juga lokasi
Rumah Candu, tempat Tionghoa madat. Di Cakranegara, dalam perjudian sabung
ayam, misalnya, justru makin semarak waktu Tionghoa banyak terlibat (itu
terjadi sampai sekarang).
Kepercayaan Belanda pada orang-orang Tionghoa
menguat, karena jumlah Tionghoa yang meninggalkan kepercayaan leluhurnya dan
berganti menjadi penganut Nasrani yang taat, terus meningkat. Saat Belanda
membuka Handles Bank (Bank Dagang) yang pertama di Ampenan, yang
dipercaya memimpin pertama kali berasal dari etnis Tionghoa. Pada masa ini
akses permodalan Tionghoa makin besar, sehingga mulai berdiri pabrik-pabrik
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti pabrik sabun, kecap, minyak
kelapa, rokok, limun, roti, pengolahan tembakau. Itu makin menandai kuatnya status ekonomi mereka.
POLITIK SAMPAI TOKO KELONTONG
Tan Tuan Bun, yang tinggal di Abian Tubuh
Cakranegara, merupakan salah satu contoh orang Tionghoa yang tak hanya bisa
berdagang. Guru sekolah setingkat SLTP itu, dikenal sebagai elit PKI (Partai
Komunis Indonesia) di Lombok. Ia konon dikenal cerdas dan populis. Tan Tuan Bun
berasal dari keluarga pedagang, namun jiwanya lebih tertarik bergerak di
lapangan pendidikan. Tan rela meninggalkan tradisi sebagai pedagang, dan lebih
gandrung pada gerakan kerakyatan.
Tentu saja ia bukan satu-satunya dari kalangan
Tionghoa yang punya cita-cita kebangsaan yang populis. Pemilu pertama tahun
1955 yang akhirnya mensejajarkan PKI sebagai partai besar bersama Masyumi, NU,
dan PNI, juga memunculkan tokoh-tokoh Tionghoa lainnya yang berpaham kerakyatan dan militan bergerak
dalam perjuangan di lapangan politik.
Sayangnya, dalam praktek sehari-hari PKI dituding
sering menghalalkan segala cara untuk memenangkan perjuangannya. Sampai pada
nasibnya, partai ini dituding terlibat Gestapu dan kemudian dinyatakan sebagai
partai terlarang. Tapi munculnya politisi-politisi Tionghoa masa itu,
membuktikan kalu dibuka kesempatan di sektor politik pun mereka bisa menjadi
tokoh yang ulung. Jadi mereka bukan cuma jago di dunia perniagaan. Waktu mereka
masih bebas mengembangkan kebudayaannya, di Lombok juga sempat diwarnai seni Kung
Fu, musik dan barongsay.
Komoditi politik
Di Lombok juga dikenal nama Ang Liang Pek dan Yuu
Kong (Yusuf Karim), Tionghoa yang akhirnya masuk Islam, dan benar-benar
menjalankan syariat Islam. Tentu saja orang seperti Ang atau Yusuf itu berbeda
dengan beberapa Tionghoa lainnya yang karena alasan tertentu menimbang lebih
untung kalau masuk Islam, tapi menjelang ajalnya minta dikuburkan di pekuburan khusus
orang-orang Tionghoa. Dan tetap dengan menggunakan cara-cara leluhurnya.
Entah bagaimana muasalnya, Tionghoa --terutama
saat Orde Baru-- tiba-tiba di tempatkan
pada posisi antagonis. Filsafat Tionghoa kemudian terlanjur selalu dikaitkan
dengan dagang, judi dan bersenang-senang dengan perempuan. Prototipe
orang Tionghoa juga dihubungkan dengan orang yang banyak melakukan
kecurangan-kecurangan dalam semua kegiatan ekonominya. Tak jelas apakah itu
juga ada hubungannya dengan kebijakan yang diambil Presiden Soekarno pada tahun
1959.
Pemimpin Besar Revolusi tanggal 16 Nopember 1959
menandatangani PP 10/1959, yang memaksa semua pedagang Tionghoa di wilayah pedalaman
menutup usaha mereka sebelum Januari 1960. Peraturan itu kabarnya memang
dirancang untuk mengakhiri hampir semua perdagangan eceran daerah pedalaman
yang saat itu memang dikuasai orang-orang Tionghoa. Di Lombok sendiri aturan
itu sempat menguntungkan pedagang pribumi yang untuk sementara dapat mengusai
perdagangan hasil bumi dan kelontong.
Naluri Dagang
Sayangnya, masa keemasan pedagang pribumi hanya
berlangsung sesaat. Hanya selang dua-tiga tahun, setelah itu terbukti dalam
sektor ekonomi naluri berdagang memang dapat mengalahkan keputusan politik.
Khusus di Lombok Timur, pasca Gestapu, Tionghoa diusir (sebagian besar
dibantai) karena dianggap membantu perjuangan PKI. Sampai kini, Tionghoa yang
non-muslim tak ada yang tinggal disana. Namun toh akhirnya dapat diduga, kegiatan di
semua sektor perdagangan di Lombok Timur ternyata tak steril dari tangan-tangan
Tionghoa.
Kecemburuan sosial memang sering mengherankan.
Waktu pecah “Kerusuhan 171” di Mataram, sebenarnya dipicu konflik pemeluk Islam
dan Nasrani di Ambon. Tapi saat situasi tidak terkendali, lagi-lagi yang jadi
sasaran adalah Tionghoa. Di Mataram, disamping terjadi pembakaran gereja,
perusakan rumah sakit dan pembakaran rumah-rumah pemeluk Nasrani, tak kalah
serunya adalah penjarahan toko-toko dan gudang barang-barang dagangan milik warga
Tionghoa.
”Sistem selama Orba kita jadi dikotak-kotakkan,
sehingga saling curiga. Kalau ada apa-apa yang jadi sasaran kemarahan selalu
orang Tionghoa,” kata Sekretaris PSBM (Perkumpulan Bakti Sosial Mulia), Rivo.
PSBM merupakan organisasi tertua komunitas Tionghoa di Lombok, yang bergerak di
bidang sosial, budaya dan keagamaan. Sebelumnya berbentuk yayasan, tapi
dibekukan pemerintah Orde Lama sekitar tahun 1947. Pada masa Orba pun
organisasi ini juga tak diizinkan. Setelah reformasi, disamping perkumpulan itu
juga ada PSMTI (Perkumpulan Sosial Marga Tionghoa Indonesia), yang punya misi
serupa.
Kalangan Tionghoa mengakui, ada figur-figur
seperti Lim Sioe Liong atau Bob Hasan
yang berkolusi dengan penguasa Orba. ”Tapi kan banyak pedagang-pedagang
Tionghoa yang baik,” ujar Rivo.
Di masa Orba ada anekdot tentang posisi Tionghoa
yang selalu terjepit itu. Meskipun di Tionghoa dikenal 12 shio manusia, tapi
yang ada pada masa Orba cuma 3 shio. Yaitu Shio Sapi (karena jadi sapi
perah), Shio Kelinci (karena sering jadi kelinci percobaan) dan Shio Kambing
(karena selalu jadi kambing hitam).
Namun kerusuhan yang mengkambinghitamkan Tionghoa
memang tak bisa dijamin bakal tak terulang lagi. Kemampuan mengakses ekonomi, di
tengah-tengah pengangguran dan kesulitan ekonomi pihak lain, selalu mengundang
kecemburuan. Tapi sebenarnya siapa yang salah? Orang yang mati-hidupnya bergulat
di sektor ekonomi karena tak punya kesempatan di sektor lain? Atau pemerintah
sendiri yang hampir sepanjang sejarah berdirinya Indonesia sepertinya tak
pernah bersungguh-sungguh mensejahterakan rakyatnya.
Naluri hidup Tionghoa seperti identik dengan
perdagangan. Tidak aneh jika rusuh
melanda, semaksimal mungkin aparat akan menjaga pusat-pusat perdagangan.
”Dampaknya akan lebih parah kalau mereka itu tidak bisa berjualan,” ujar
Kapolda NTB , Brigjen Jony Yodjana, soal ketakutan Pemda NTB akan terganggunya
para pedagang di Cakranegara saat kerusuhan terjadi tahun itu.
Barongsay Masuk Ponpes
Ranting yang keras mudah patah
Dan kemana angin bertiup
kesanalah pandangan diarahkan
Komunitas orang Tionghoa di Pulau Lombok tak
ingin menjadi ranting yang keras. Angin adalah guru maha bijaksana, maka kesanalah pandangan
mengarah. Warga Tionghoa tahu betul arti kalimat itu. Maka mereka membawa barongsay
masuk pesantren. Itu terjadi bulan September 2001, waktu salah satu ponpes
(pondok pesantren) di Narmada pimpinan Ustazd Mahally Fikri membuka tahun ajaran
baru. Tentu saja orang tua murid terheran-heran. Malah ada yang bertanya,
kenapa pemimpin pondok tidak menampikan seni zikir zaman yang disamping
bernafas Islam juga diakui sebagai milik orang Sasak. Kabarnya, ada orang tua
murid yang menarik anaknya, urung belajar di ponpes tersebut.
Tapi Mahally Fikri yang jadi penasehat Persobarin
(persatuan olah raga barongsay), punya alasan. ”Saya hanya ingin membuka
wawasan jamaah. Baik buruknya kesenian itu bukan ditentukan kafir tidaknya
masyarakat yang punya budaya itu. Kesenian Sasak pun belum tentu benar menurut
Islam,” katanya.
Mahally memang sangat dekat dengan pengusaha
Tionghoa. Waktu pembukaan tahun ajaran untuk
para santri baru itu tampak hadir sejumlah ”taipan” di Lombok. Sebut saja
misalnya nama Cahya Setiawan (Phoenix Mas) dan Wijanarko (Toko Sepatu Cakar
Mas), keduanya adalah tokoh umat Budha. Di lingkungan pesantrennya tersebut, juga berdiri bangunan dengan nama salah satu
pengusaha keturunan dari Cakranegara itu.
Menurutnya, Tionghoa sekarang sudah punya
kesadaran, tidak eksklusif seperti dulu. Tapi kalau toh mereka eksklusif,
menurutnya, itu bukan karena kehendaknya sendiri. Karena mereka dimarjinalkan
rezim masa lalu. ”Dan lagi, di Cina itu jumlah umat muslimnya kedua terbesar di
dunia,” katanya. Memang tak dijelaskan, apa hubungan masuknya Barongsay
di ponpes dan jumlah muslim yang besar di Cina.
Tapi tokoh muda Nahdlatul Wathan itu bisa jadi benar
waktu mengatakan, agar masyarakat Sasak tak mudah menaruh curiga pada Tionghoa.
Kalau toh ada diantara mereka yang gemar berjudi atau bersenang-senang
dengan perempuan misalnya, itu bisa saja terjadi pada etnis mana saja. Harap
dimaklumi, kemakmuran memang bisa membawa seseorang berbuat maksiat. ”Itu ujian
uang,” katanya dengan mantap.
Sekarang memang era baru Tionghoa di Lombok.
Situasi politik global sampai lokal memang sudah berubah. Pemimpin formal
memang ada di kantor pemerintah, tapi ”penguasa” yang sebenarnya bisa ada di tengah-tengah
masyarakat. Dan di Lombok, salah satunya adalah para tuan guru. Maka
Tionghoa pun kembali afirmasi leluhurnya. Ranting yang keras mudah patah. Dan
kemana angin bertiup, kesanalah pandangan diarahkan. (Tim TABLOID RAKYAT)
Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 03/Tahun I/Desember 2002-Januari 2003
Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 03/Tahun I/Desember 2002-Januari 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar