Translate

Rabu, 27 Mei 2015

JEJAK SANG NAGA DI PULAU LOMBOK



Mungkin sedikit yang tahu, kalau judi sabung ayam atau “gocekan” itu berasal dari nama  orang Tionghoa. Kisah ini terjadi saat Belanda mulai menguasai Pulau Lombok setelah tahun 1895. Setiap hari Sabtu sore, di rumah jabatan Asisten Residen Lombok (lokasinya di Kantor Gubenur sekarang) diadakan pertunjukan musik yang ditonton noni-noni Belanda atau Belanda Indo. Sementara itu di salah satu sudut perkampungan Bali di Cakranegara, juga tiap sabtu sore berlangsung sabung ayam. Di arena judi itu ada orang Tionghoa yang dikenal sebagai penyabung ayam ulung, namanya Goh Tgek Ang. Konon, karena ia selalu menang akhirnya namanya dijadikan sebutan ”gocekan” (di Bali judi sabung ayam itu dinamakan metajen).------------


Belum ada yang tahu persis sejak kapan orang-orang Tionghoa, para ”pencari untung” yang ulet itu, bermukim di Lombok. Ada yang mengatakan saat Kerajaan Karang Asem Bali mulai mengusai Lombok pada abad 18, namun ada juga yang menduga jauh sebelum itu. Sayangnya tidak ada catatan tentang ini. Dari manakah orang-orang  Tionghoa (selanjutnya di sebut Tionghoa saja) yang akhirnya turun temurun tinggal di Pulau Lombok sampai sekarang?
Ratu Bagus Oka Netra, pengelola Lembaga Pusat Informasi Dresta Widya (Lembaga Informasi Umat Hindu) NTB, mengatakan Tionghoa yang lama hidup di Pulau Lombok sebagian besar berasal dari Johor, Malaysia.

Umumnya mereka berdagang kain, hampir bersamaan masuknya dengan pedagang-pedagang dari Pakistan. Sebelumnya, pedagang-pedagang dari Timur Tengah (Arab) yang sekaligus menyebarkan Islam sudah lebih dulu mendarat membangun komunitas di Ampenan. Diperkirakan pendatang pertama kapal dagang Tionghoa di Bandar Ampenan itu tiba sekitar 1780 Masehi.
Belakangan ada juga Tionghoa yang datang dari Jawa. Pada kedatangan kedua ini pedagang-pedagang dari Palembang dan Banjarmansin juga mulai masuk Lombok. Tionghoa datang mencari hasil bumi yang langka di Jawa. Pada saat itu Belanda menetapkan politik tanam paksa (1830-1870). Sistem itu mengutamakan ekspor produk-produk pertanian tertentu. Para pemimpin pribumi di Jawa dipaksa mengusahakan  jenis pertanian tertentu dalam jumlah yang sudah ditetapkan.
Tapi sistem tanam paksa tak diberlakukan di Lombok. Selain karena status kerajaan Lombok yang masih  merdeka, juga karena laporan Rijckevoersel dan Van Der Tuuk yang pernah survey ke Lombok menyebutkan kalau  pulau ini cuma menghasilkan padi dan palawija.
Berdasarkan bukti-bukti mata uang yang beredar, kedatangan pedagang-pedagang Tionghoa periode pertama merupakan awal dimulainya sistem perdagangan modern. Kalau sebelumnya antar penduduk pribumi hanya berlangsung perdagangan cara barter, kedatangan pedagang itu sudah mengenalkan mata uang. ”Orang-orang Tionghoa itu yang pertama mengenalkan kepeng bolong,” tutur Oka Netra. Pada perkembangan selanjutnya, pedagang-pedagang Palembang akhirnya juga mengedarkan mata uang kepeng bolong.

Piawai
Saat itu pemerintah Kerajaan Karang Asem sedang jaya-jayanya di Lombok. Dalam catatan sejarah, proses penaklukan Karang Asem (berlangsung sejak masa pemerintahan I Gusti Anglurah Ktut Karang Asem) terhadap Lombok terjadi sejak jatuhnya Kerajaan Selaparang di Lombok Timur, tahun 1691 sampai tahun 1740. Pada tahun 1740 Lombok sepenuhnya dibawah kekuasaan Karang Asem.
Tionghoa memang piawai dan ulet  dalam perdagangan. Mereka mampu mengalahkan pesaingnya pedagang-pedagang dari Arab (Timur Tengah), Palembang atau Banjarmasin. Kemampuannya menjalin hubungan dengan penguasa setempat juga luar biasa. Ketika penguasa Karang Asem di Lombok membutuhkan senjata meriam (karena mendengar  armada perang Belanda akan mendarat di Ampenan), hanya pedagang-pedagang  Tionghoa yang bisa mensuplai meriam pada penguasa kerajaan saat itu. ”Yang menjual meriam kepada penguasa kerajaan itu memang orang Tionghoa,” kata Oka Netra yang mengaku keturunan Raja Karang Asem.
Terbukti saat terjadi perang antara Karang Asem di Lombok dengan Belanda yang mendarat di  Ampenan sekitar tahun 1894. Dalam perang itu  pasukan Karang Asem yang tradisional bisa bertahan cukup lama karena sudah menggunakan senjata meriam modern. Tentu saja, karena persediaan meriam dan amunisinya yang terbatas, perang antara penakluk yang satu masih tradisional dan penakluk lainnya yang lebih modern dan canggih itu hanya berlangsung setahun. Tahun 1895 Belanda dapat dikatakan sudah mengambil alih sepenuhnya kekuasaan di Lombok.
Namun jatuhnya kerajaan di Lombok ke tangan Belanda ternyata tak membuat Tionghoa dikucilkan pemerintah kolonial. Dengan piawai mereka berbalik menempel ke penguasa baru. Justru kemenangan Belanda membuka peluang bagi mereka untuk makin meluaskan perdagangannya ke Cakranegara. ”Belanda malah memberi tugas orang-orang Tionghoa itu untuk memata-matai  pribumi,” kata penulis buku Mozaik Budaya Orang Mataram, Fath Zakaria.
Sebelumnya, dalam hal perdagangan penguasa kerajaan agak membatasi perdagangan mereka hanya di sekitar Ampenan. Sebenarnya dalam situasi seperti itu pun, pedagang-pedagang Tionghoa tetap menjadi pemasok kebutuhan sehari-hari penduduk. Sebab pedagang-pedagang ulung Tionghoa itu sangat pandai bergaul khususnya dengan masyarakat Bali.
Jadi penguasa boleh berganti di Lombok, tapi peluang untuk mengembangkan bakat mencari untung Tionghoa malah makin terbuka luas.
.
Trah pebisnis
Maka sejak  saat itulah pedagang-pedagang Tionghoa makin menjelajah ke seluruh Lombok. Hampir di seluruh pelosok, perdagangan  hasil bumi dikuasai Tionghoa. Termasuk di Lombok Timur yang saat itu sudah jadi wilayah perniagaan yang penting. Orang-orang Tionghoa itu juga punya peranan penting membuka hubungan dagang dengan dunia luar dengan membuka Bandar Labuhan Lombok di Lombok Timur.
Akhirnya kesempatan maju itu juga dipermudah Belanda di lapangan lainnya. Misalnya di sektor pendidikan, pada tahun 1927 Tionghoa Kok Bin Hak Hao mendirikan sekolah rendah (SD) di Cakranegara. Bangunan sekolah itu kini masih tersisa di sekitar lapangan basket Bunut Baok, Cakranegara. Sekolah serupa juga ada di Masbagik dan sekitar Pancor, di Lombok Timur.
Sekitar tahun 1935 di Ampenan Tjong Hoa Tjong Hue, organisasi semacam KADIN, mendirikan sekolah setingkat SLTP,  yang tergolong megah saat itu. Bangunan itu di sebelah Pasar Swalayan ACC (sekarang Barata), di Ampenan. Kalau di sekolah-sekolah yang didirikan Belanda, pribumi yang bisa diterima cuma anak-anak dari kalangan bangsawan. Di sekolah Tionghoa tidak pandang bulu, siapa pun bisa diterima. Tentu saja, asal keluarganya mampu membayar.
Tionghoa yang intelek dan bergerak di lapangan pendidikan pun makin meluas. Meski di sisi lain, di bagian Kota Ampenan arah ke laut di kompleks pasar dan pertokoan yang dibangun Belanda ada juga lokasi Rumah Candu, tempat Tionghoa madat. Di Cakranegara, dalam perjudian sabung ayam, misalnya, justru makin semarak waktu Tionghoa banyak terlibat (itu terjadi sampai sekarang).
Kepercayaan Belanda pada orang-orang Tionghoa menguat, karena jumlah Tionghoa yang meninggalkan kepercayaan leluhurnya dan berganti menjadi penganut Nasrani yang taat, terus meningkat. Saat Belanda membuka Handles Bank (Bank Dagang) yang pertama di Ampenan, yang dipercaya memimpin pertama kali berasal dari etnis Tionghoa. Pada masa ini akses permodalan Tionghoa makin besar, sehingga mulai berdiri pabrik-pabrik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti pabrik sabun, kecap, minyak kelapa, rokok, limun, roti, pengolahan tembakau. Itu makin menandai kuatnya status ekonomi mereka.





POLITIK SAMPAI TOKO KELONTONG

Tan Tuan Bun, yang tinggal di Abian Tubuh Cakranegara, merupakan salah satu contoh orang Tionghoa yang tak hanya bisa berdagang. Guru sekolah setingkat SLTP itu, dikenal sebagai elit PKI (Partai Komunis Indonesia) di Lombok. Ia konon dikenal cerdas dan populis. Tan Tuan Bun berasal dari keluarga pedagang, namun jiwanya lebih tertarik bergerak di lapangan pendidikan. Tan rela meninggalkan tradisi sebagai pedagang, dan lebih gandrung pada gerakan kerakyatan.
Tentu saja ia bukan satu-satunya dari kalangan Tionghoa yang punya cita-cita kebangsaan yang populis. Pemilu pertama tahun 1955 yang akhirnya mensejajarkan PKI sebagai partai besar bersama Masyumi, NU, dan PNI, juga memunculkan tokoh-tokoh Tionghoa lainnya  yang berpaham kerakyatan dan militan bergerak dalam perjuangan di lapangan politik.
Sayangnya, dalam praktek sehari-hari PKI dituding sering menghalalkan segala cara untuk memenangkan perjuangannya. Sampai pada nasibnya, partai ini dituding terlibat Gestapu dan kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang. Tapi munculnya politisi-politisi Tionghoa masa itu, membuktikan kalu dibuka kesempatan di sektor politik pun mereka bisa menjadi tokoh yang ulung. Jadi mereka bukan cuma jago di dunia perniagaan. Waktu mereka masih bebas mengembangkan kebudayaannya, di Lombok juga sempat diwarnai seni Kung Fu, musik dan barongsay.

Komoditi politik
Di Lombok juga dikenal nama Ang Liang Pek dan Yuu Kong (Yusuf Karim), Tionghoa yang akhirnya masuk Islam, dan benar-benar menjalankan syariat Islam. Tentu saja orang seperti Ang atau Yusuf itu berbeda dengan beberapa Tionghoa lainnya yang karena alasan tertentu menimbang lebih untung kalau masuk Islam, tapi menjelang ajalnya minta dikuburkan di pekuburan khusus orang-orang Tionghoa. Dan tetap dengan menggunakan cara-cara leluhurnya.
Entah bagaimana muasalnya, Tionghoa --terutama saat Orde Baru--  tiba-tiba di tempatkan pada posisi antagonis. Filsafat Tionghoa kemudian terlanjur selalu dikaitkan dengan dagang, judi dan bersenang-senang dengan perempuan. Prototipe orang Tionghoa juga dihubungkan dengan orang yang banyak melakukan kecurangan-kecurangan dalam semua kegiatan ekonominya. Tak jelas apakah itu juga ada hubungannya dengan kebijakan yang diambil Presiden Soekarno pada tahun 1959.
Pemimpin Besar Revolusi tanggal 16 Nopember 1959 menandatangani PP 10/1959, yang memaksa semua pedagang Tionghoa di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum Januari 1960. Peraturan itu kabarnya memang dirancang untuk mengakhiri hampir semua perdagangan eceran daerah pedalaman yang saat itu memang dikuasai orang-orang Tionghoa. Di Lombok sendiri aturan itu sempat menguntungkan pedagang pribumi yang untuk sementara dapat mengusai perdagangan hasil bumi dan kelontong.

Naluri Dagang
Sayangnya, masa keemasan pedagang pribumi hanya berlangsung sesaat. Hanya selang dua-tiga tahun, setelah itu terbukti dalam sektor ekonomi naluri berdagang memang dapat mengalahkan keputusan politik. Khusus di Lombok Timur, pasca Gestapu, Tionghoa diusir (sebagian besar dibantai) karena dianggap membantu perjuangan PKI. Sampai kini, Tionghoa yang non-muslim tak ada yang tinggal disana.  Namun toh akhirnya dapat diduga, kegiatan di semua sektor perdagangan di Lombok Timur ternyata tak steril dari tangan-tangan Tionghoa.
Kecemburuan sosial memang sering mengherankan. Waktu pecah “Kerusuhan 171” di Mataram, sebenarnya dipicu konflik pemeluk Islam dan Nasrani di Ambon. Tapi saat situasi tidak terkendali, lagi-lagi yang jadi sasaran adalah Tionghoa. Di Mataram, disamping terjadi pembakaran gereja, perusakan rumah sakit dan pembakaran rumah-rumah pemeluk Nasrani, tak kalah serunya adalah penjarahan toko-toko dan gudang barang-barang dagangan milik warga Tionghoa.
”Sistem selama Orba kita jadi dikotak-kotakkan, sehingga saling curiga. Kalau ada apa-apa yang jadi sasaran kemarahan selalu orang Tionghoa,” kata Sekretaris PSBM (Perkumpulan Bakti Sosial Mulia), Rivo. PSBM merupakan organisasi tertua komunitas Tionghoa di Lombok, yang bergerak di bidang sosial, budaya dan keagamaan. Sebelumnya berbentuk yayasan, tapi dibekukan pemerintah Orde Lama sekitar tahun 1947. Pada masa Orba pun organisasi ini juga tak diizinkan. Setelah reformasi, disamping perkumpulan itu juga ada PSMTI (Perkumpulan Sosial Marga Tionghoa Indonesia), yang punya misi serupa.
Kalangan Tionghoa mengakui, ada figur-figur seperti Lim Sioe Liong atau  Bob Hasan yang berkolusi dengan penguasa Orba. ”Tapi kan banyak pedagang-pedagang Tionghoa yang baik,” ujar Rivo.
Di masa Orba ada anekdot tentang posisi Tionghoa yang selalu terjepit itu. Meskipun di Tionghoa dikenal 12 shio manusia, tapi yang ada pada masa Orba cuma 3 shio. Yaitu Shio Sapi (karena jadi sapi perah), Shio Kelinci (karena sering jadi kelinci percobaan) dan Shio Kambing  (karena selalu jadi kambing hitam).
Namun kerusuhan yang mengkambinghitamkan Tionghoa memang tak bisa dijamin bakal tak  terulang lagi. Kemampuan mengakses ekonomi, di tengah-tengah pengangguran dan kesulitan ekonomi pihak lain, selalu mengundang kecemburuan. Tapi sebenarnya siapa yang salah? Orang yang mati-hidupnya bergulat di sektor ekonomi karena tak punya kesempatan di sektor lain? Atau pemerintah sendiri yang hampir sepanjang sejarah berdirinya Indonesia sepertinya tak pernah bersungguh-sungguh mensejahterakan rakyatnya.
Naluri hidup Tionghoa seperti identik dengan perdagangan.  Tidak aneh jika rusuh melanda, semaksimal mungkin aparat akan menjaga pusat-pusat perdagangan. ”Dampaknya akan lebih parah kalau mereka itu tidak bisa berjualan,” ujar Kapolda NTB , Brigjen Jony Yodjana, soal ketakutan Pemda NTB akan terganggunya para pedagang di Cakranegara saat kerusuhan terjadi  tahun itu.


Barongsay Masuk Ponpes


Ranting yang keras mudah patah
Dan kemana angin bertiup
kesanalah pandangan diarahkan

Komunitas orang Tionghoa di Pulau Lombok tak ingin menjadi ranting yang keras. Angin adalah guru  maha bijaksana, maka kesanalah pandangan mengarah. Warga Tionghoa tahu betul arti kalimat itu. Maka mereka membawa barongsay masuk pesantren. Itu terjadi bulan September 2001, waktu salah satu ponpes (pondok pesantren) di Narmada pimpinan Ustazd Mahally Fikri membuka tahun ajaran baru. Tentu saja orang tua murid terheran-heran. Malah ada yang bertanya, kenapa pemimpin pondok tidak menampikan seni zikir zaman yang disamping bernafas Islam juga diakui sebagai milik orang Sasak. Kabarnya, ada orang tua murid yang menarik anaknya, urung belajar di ponpes tersebut.
Tapi Mahally Fikri yang jadi penasehat Persobarin (persatuan olah raga barongsay), punya alasan. ”Saya hanya ingin membuka wawasan jamaah. Baik buruknya kesenian itu bukan ditentukan kafir tidaknya masyarakat yang punya budaya itu. Kesenian Sasak pun belum tentu benar menurut Islam,” katanya.
Mahally memang sangat dekat dengan pengusaha Tionghoa. Waktu pembukaan tahun ajaran  untuk para santri baru itu tampak hadir sejumlah ”taipan” di Lombok. Sebut saja misalnya nama Cahya Setiawan (Phoenix Mas) dan Wijanarko (Toko Sepatu Cakar Mas), keduanya adalah tokoh umat Budha. Di lingkungan pesantrennya tersebut,  juga berdiri bangunan dengan nama salah satu pengusaha keturunan dari Cakranegara itu.
Menurutnya, Tionghoa sekarang sudah punya kesadaran, tidak eksklusif seperti dulu. Tapi kalau toh mereka eksklusif, menurutnya, itu bukan karena kehendaknya sendiri. Karena mereka dimarjinalkan rezim masa lalu. ”Dan lagi, di Cina itu jumlah umat muslimnya kedua terbesar di dunia,” katanya. Memang tak dijelaskan, apa hubungan masuknya Barongsay di ponpes dan jumlah muslim yang besar di Cina.
Tapi tokoh muda Nahdlatul Wathan itu bisa jadi benar waktu mengatakan, agar masyarakat Sasak tak mudah menaruh curiga pada Tionghoa. Kalau toh ada diantara mereka yang gemar berjudi atau bersenang-senang dengan perempuan misalnya, itu bisa saja terjadi pada etnis mana saja. Harap dimaklumi, kemakmuran memang bisa membawa seseorang berbuat maksiat. ”Itu ujian uang,” katanya dengan mantap.
Sekarang memang era baru Tionghoa di Lombok. Situasi politik global sampai lokal memang sudah berubah. Pemimpin formal memang ada di kantor pemerintah, tapi ”penguasa” yang sebenarnya bisa ada di tengah-tengah masyarakat. Dan di Lombok, salah satunya adalah para tuan guru. Maka Tionghoa pun kembali afirmasi leluhurnya. Ranting yang keras mudah patah. Dan kemana angin bertiup, kesanalah pandangan diarahkan. (Tim TABLOID RAKYAT)


Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 03/Tahun I/Desember 2002-Januari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar