Translate

Rabu, 27 Mei 2015

Menelusur Sisa Majapahit di Lombok

Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.

Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu.

Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan komentar-komentarnya.



Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar Nagarakretagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Nagarakretagama ini akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof Dr Slametmulyana dan disertai tafsir sejarahnya. Menyusul kemudian, Dr Th Pigeud yang menerjemahkan Nagarakretagama ke dalam Bahasa Inggris.



Seperti diketahui kemudian, Nagarakretagama pernah disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi 5023. Pemerintah Belanda mengembalikannya ke Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kini naskah itu menjadi koleksi unggulan Perpustakaan Nasional di Jakarta.

Nagarakretagama, antara lain, berisi rekaman sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk, Raja Majapahit, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, kebudayaan, dan adat istiadat. Semua itu dikumpulkan dan digubah menjadi sebuah karya sastra oleh Mpu Prapanca, saat mengunjungi daerah-daerah kekuasaan kerajaan itu di Nusantara.

Dari Kerajaan Kediri

Lontar itu ada di Puri Cakranegara, Lombok, dibawa keluarga Kerajaan Kediri pada masa kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai pertengahan abad ke-18 M. Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem, dan sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.

Slametmulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), menyebutkan sedikitnya sudah ditemukan empat naskah lain yang serupa, di beberapa geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali. Namun, naskah-naskah itu diduga merupakan turunan naskah Nagarakretagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok.

Isi Nagarakretagama diterapkan di Lombok demi membangun sistem pemerintahan dan sekaligus pertahanan menyerupai kerajaan Majapahit. Ini juga ditujukan demi menjadikan Lombok sebagai benteng mempertahankan ajaran Hindu di Bali, menyusul masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa, yang ditandai dengan masuknya Raja Jenggala dan kerajaannya sebagai kerajaan Islam.

Raja Kediri dan Raja Jenggala adalah bersaudara, kata Anak Agung Biarsah Huruju Amla Negantun, cucu Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem, Raja Lombok terakhir. Perbedaan agama, yang dianut masing-masing raja itu, diakui, menjadi salah satu penyebab meletusnya perang saudara di antara dua kerajaan ini.

”Dari cerita yang pernah saya dengar dari orang-orang tua, naskah ini dibawa leluhur saya dari Kediri waktu ekspedisi ke Lombok. Di dalamnya dijelaskan teknik peperangan dan teknik mengatur pemerintahan. Nagarakretagama dibawa ke Lombok untuk mengatur wilayah Lombok, dengan konsep pusat pertahanannya di Cakranegara,” tutur Agung Biarsah kepada tim Lintas Timur-Barat, yang berkunjung di kediamannya, Puri Pamotan Cakranegara, timur Taman Mayura, Cakranegara, Kota Mataram, Sabtu (22/10).

Kajian Slametmulyana tentang naskah Nagarakretagama menyebutkan, karya Mpu Prapanca ini terdiri dari 98 pupuh yang disusun dalam dua bagian. Bagian pertama, terdiri atas 49 pupuh, yang mengisahkan raja dan keturunannya, uraian tata perkotaan dan wilayah kerajaan Majapahit, perjalanannya berkeliling Lumajang, dan diakhiri dengan silsilah Raja Hayam Wuruk mulai dari dinasti Singasari sampai dinasti Majapahit.

Bagian kedua naskah ini, juga terdiri atas 49 pupuh. Isinya, menceritakan perjalanan raja berkeliling dan upacara ziarah ke makam-makam leluhurnya, kematian patih Gajah Mada, dan uraian mengenai bangunan-bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Di bagian kedua ini, Mpu Prapanca juga menceritakan rangkaian prosesi upacara, yang rutin diulangi setiap tahun, disertai puji-pujian terhadap keluhuran raja.

Dalam pengantar buku Slametmulyana itu dicantumkan, Nagarakretagama merupakan perpaduan antara karya sastra bermutu tinggi dan sekaligus catatan sejarah yang menjadi gudang pengetahuan tentang Majapahit di abad ke-14.
Kedatangan Belanda

Keberadaan Majapahit membawa pengaruh bagi Kerajaan Lombok dalam bidang politik, pemerintahan, sosial, budaya dan ekonomi bagi penduduk. Misalnya, raja memiliki pembantu di tingkat Kecamatan, yang disebut Punggawa (camat) dan Pembekel di tingkat desa. Mereka didampingi petugas seperti penghulu dan kiai dalam urusan tradisi dan agama, dan juga keliang, pembantu Pembekel di tingkat dusun.

Hierarki pemerintahan di desa itu masih terlihat pada beberapa desa di Kecamatan Bayan, Lombok Barat saat ini. Adanya Pemusungan (kepala desa), pengulu dan wakilnya, lebe, serta kiai, yang bertugas bidang keagamaan, bersama pemangku, di bidang adat-istiadat.

Kedatangan Belanda membuka akses Lombok di bidang ekonomi, mengingat saat itu banyak kapal dagang, yang singgah pada beberapa pelabuhan di Lombok. Lombok semakin mendapat tempat khusus di bidang pertanian dan perdagangan, terutama sejak Gunung Tambora, yang berada di wilayah Kebupaten Bima dan Dompu, Pulau Sumbawa, meletus dahsyat tahun 1815.

Lekkerkerker (1920) menyebutkan, tahun 1839 Lombok menjadi produsen kapas berkualitas baik, kayu Sepang, dan beras. Pada tahun itu, tercatat sedikitnya 18.000 ton beras dikeluarkan dari Lombok untuk dikirim ke Jawa, Madura, dan Makassar, bahkan sampai ke Mauritius dan Cina. Kayu Sepang umumnya diproduksi di Desa Pelambek, Lombok Tengah, kemudian diangkut melalui Pelabuhan Pijot, Lombok Timur. Produksi kapas antara lain dibudidayakan di Desa Barabali, Lombok Tengah.

Meluasnya aktivitas perdagangan ini, membuat interaksi sosial masyarakat juga ikut berkembang, apalagi para pedagang dari luar semakin banyak tinggal di Lombok seperti dari Bugis, China dan Eropa. Menurut I Gde Parimartha, Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, Lombok berada di tengah- tengah jaringan perdagangan, yang terbuka, antara Singapura, Australia dan China, pada abad ke-19. Malah tahun 1835 ter- catat 18 kapal berlabuh di Pelabuhan Ampenan, meliputi tiga kapal Perancis dan 15 kapal Inggris.


Penulis:  KHAERUL ANWAR dan COKORDA YUDISTIRA


sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/28/Lintimbar/2161512.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar