Dari Karang Tapen sampai Otak Desa
Suara kering bel sepeda ontel para penjual keliling nasi balap seperti berpacu dengan geliat pagi di Kota Mataram. Di sejumlah warung pinggir jalan, di sekolah, dekat kampus, kantor pemerintah, bungkusan nasi balap yang biasanya disiapkan sambal tomat, menanti minat sarapan pagi. Semula nasi balap memang beredar di pagi hari. Nasi balap bermenu sederhana : beberapa cuil daging, ati, tempe iris, sedikit sayuran, kadang-kadang ada juga kelapa goreng, dan tentu saja sambal tomatnya itu loh.
Belakangan, penjual nasi balap ini kian mudah ditemui di sudut-sudut kota. Sejumlah pasar kaget bermunculan. Konsumennya beragam. Dari yang bersandal jepit, mahasiswa, dosen, hingga yang bermobil pun kerap ditemui antre mengerumuni si penjual nasi balap di pinggir jalan. Para penjual nasi balap itu mulai yang bersepeda ontel hingga di kios dan warung pinggir jalan, menjawab hidup yang kian mahal. Ikuti laporan wartawan RAKYAT, yang beberapa pekan keluar masuk kampung mengintip aktivitas mereka.
Suara kering bel sepeda ontel para penjual keliling nasi balap seperti berpacu dengan geliat pagi di Kota Mataram. Di sejumlah warung pinggir jalan, di sekolah, dekat kampus, kantor pemerintah, bungkusan nasi balap yang biasanya disiapkan sambal tomat, menanti minat sarapan pagi. Semula nasi balap memang beredar di pagi hari. Nasi balap bermenu sederhana : beberapa cuil daging, ati, tempe iris, sedikit sayuran, kadang-kadang ada juga kelapa goreng, dan tentu saja sambal tomatnya itu loh.
Belakangan, penjual nasi balap ini kian mudah ditemui di sudut-sudut kota. Sejumlah pasar kaget bermunculan. Konsumennya beragam. Dari yang bersandal jepit, mahasiswa, dosen, hingga yang bermobil pun kerap ditemui antre mengerumuni si penjual nasi balap di pinggir jalan. Para penjual nasi balap itu mulai yang bersepeda ontel hingga di kios dan warung pinggir jalan, menjawab hidup yang kian mahal. Ikuti laporan wartawan RAKYAT, yang beberapa pekan keluar masuk kampung mengintip aktivitas mereka.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu
masih pukul tujuh saat sebuah mobil sedan berhenti. Seorang ibu membuka pintu
dan bergegas menuju warung Inaq Bedah. ”Kuning satu, putih satu. Kerupuknya seribu
yaah....,” ucapnya pada penjual.
Di dalam mobil, dua orang anak berseragam SD kelihatan tak sabar.
”Iya, ngantar anak-anak ke sekolah,”
ujarnya saat ditanya. Si Ibu mengaku, di rumah tak sempat buat sarapan untuk si
kecil yang harus berangkat. Di warung yang sama, seorang pegawai kantor
pemerintah kelihatan asyik dengan bungkusan nasinya. Saban kali ia mengeluarkan
suara desis menahan pedasnya sambal. Matanya sebentar-sebentar melirik mobil
pelat merah yang terparkir tepat di samping gerbang keluar Hotel Granada. Di sekitarnya,
beberapa orang mahasiswa dan anak berseragam pelajar SMP sedang asyik melahap
sarapannya.
Di warung sebelah lain lagi. Beberapa orang sopir
taksi berseragam biru asyik bergurau sambil
menikmati kopi susu dan pisang goreng. Bekas bungkusan nasi balap
bersama sendok terlihat bertebaran di atas meja. Rupanya mereka sudah sarapan.
Suasana
itu bisa ditemui setiap hari di depan Hotel Granada sepanjang Jl Bung Karno,
Mataram. Sejak jam enam pagi, warung-warung yang berjejer di depan Granada
mulai menggelar dagangannya. Para pembeli dari berbagai kalangan pun mulai
berdatangan. Warung-warung itu dibuat sederhana yang penting bisa berdiri saja.
Bedek, ditutupi dengan kain terpal, atau sekedar kain bekas spanduk pariwara
minuman karbonat.
Sulit
untuk mencari tahu nama warung atau warung ini jualan apa. Tapi kalau melihat
tumpukan nasi balap di atas meja-meja yang berderet, mafhumlah kita. Pada hari kerja atau tak sedang liburan pengunjung sangat
ramai. Biasanya kalau waktu sudah hampir kurang
seperempat dari jam tujuh pagi, arus yang berangkat menuju perempatan kadang
menjadi macet karena banyaknya kendaraan yang berhenti di depan warung. Pukul
09.00 wita, lebih dari seperempat lebar badan jalan raya depan warung itu sudah
berubah fungsi menjadi areal parkir.
Ternyata
”Nasi Granada” punya riwayat panjang. Cerita itu adalah penggalan kisah hidup
Inaq Nurisah.
Kisahnya dimulai tahun 1978, saat Nurisah
coba-coba menitipkan nasi buatannya pada Inaq Bedah yang waktu itu menjajakan
singkong (ambon; sasak) keliling kantor. Awalnya dia hanya menitip
10 bungkus. Satu bungkus itu harganya Rp
35. ”Inaq Bedah mendapat bagian lima rupiah,” kenang Nurisah. Ternyata banyak
yang suka, apalagi setelah ditambah sambal peminatnya semakin banyak.
Sejak
saat itu, semakin banyak pedagang lain yang mencoba menjual nasi buatan
Nurisah. Dari awalnya cuma 10 bungkus, sekarang setiap harinya Nurisah bisa
memproduksi sampai 250 bungkus nasi.
Episode lain kisah nasi balap, berasal dari
sekitar kota tua Ampenan, tepatnya di Otak Desa yang terletak sekitar 75 meter
dari Pasar Kebon Roek. Berbeda dengan Nasi Balap Granada yang biasa dijajakan
di sejumlah warung, Nasi Balap Otak Desa punya ciri sendiri. Umumnya dijajakan
keliling kota. Perlengkapannya sederhana, sebuah sepeda ontel, jirigen air
minum dan kotak nasi dari kaleng yang dicat satu warna, disana terbaca tulisan
: NASI BALAP. Jadi kalau ada nasi balap yang dijual dengan sepeda ontel, tak
ada lain pasti dari Otak Desa.
***
Otak Desa pukul dua dini hari, meski kampung itu
kelihatan lengang tapi di rumah-rumah sebenarnya hidup sudah mulai bergerak.
Beras sudah dicuci dan siap ditanak. Acara menanak nasi itu berlangsung sampai
pagi. Sambil menunggu nasi terakhir matang, daging yang telah dimasak sejak
sore sampai malam tadi pun mulai dipanaskan. Setelah semuanya siap, acara bungkus-membungkus
dimulai. Pukul enam pagi, nasi yang sudah dimasukkan ke dalam kotak nasi itu
siap diedarkan ke seluruh penjuru kota oleh para penjual.
Siapa yang merintis usaha nasi balap di kampung
ini?
Banyak orang menyebut nama Wahab. Laki-laki
berumur yang sangat akrab dikenal mahasiswa Unram ini sekarang susah dijumpai
karena sedang libur berjualan. Kemana?
Menurut keterangan para penjual yang lebih
yunior, Wahab sedang ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Wahab
tak punya usaha lain selain jualan nasi balap. Jadi, pasti biaya haji itu dari
hasil nasi balap. ”Mungkin kita ganti saja namanya dengan Haji Balap,” kata
seorang penjual nasi balap dari Otak Desa.
Selain Wahab, disebut juga rekannya Haji Rachman
yang selain berusaha nasi balap sekarang juga membuka kos-kosan di rumahnya.
”Yang pertama jualan itu memang Pak Wahab. Lalu ada Pak Haji Rachman,” kata
Abdul Samad, salah seorang penjual.
Bukan hanya mereka. Di Otak Desa ada pula Bu
Atrah, yang dulu dikenal sebagai majikan nasi balap bersepeda itu. Sekarang,
ibu ini memang hanya punya tiga orang pegawai saja, tapi bukan berarti usahanya mengalami kemunduran. Justru
usaha nasi balap ini semakin hari semakin menyebar dan terjadi regenerasi.
Pasalnya, beberapa pegawainya itu sekarang hanya sekedar mengambil nasi saja,
perlengkapan seperti sepeda dan kotak nasi itu sudah umum dimiliki.
Tambahan lagi, ada kebiasaan tidak tertulis di
kampung itu: waktu masih membujang sang penjual mengambil nasi sekaligus pakai
sepeda ontel sang majikan. Tapi kalau ia
sudah menikah, isterinya akan membuka usaha nasi balap sendiri dan ia yang
berkeliling menjualnya.
Awal tahun 1999, nasi balap Otak Desa masih
berharga Rp 250 sebungkus. Namun seiring kenaikan harga beras, harganya pun
beranjak naik. Awalnya naik menjadi Rp 300. kemudian naik lagi menjadi Rp 500 pada tahun 2000. Setelah naik menjadi Rp 750
pada tahun yang sama, dua tahun terakhir nasi ini dijual seharga Rp 1.000 tiap
bungkusnya.
Dari tiap bungkus itulah, para penjual memperoleh
jatah Rp 200, sementara Rp 800 harus disetor ke sang majikan. ”Paling lambat
jam 12 siang kita sudah harus setor,” ujar salah seorang penjual.
Penjual baru paling-paling hanya bisa menjual
40-60 bungkus setiap hari. Tapi kalau yang sudah lama –berarti sudah punya
pelanggan—bisa menjual 100 hingga 150 bungkus. Jadi paling tidak, dalam sehari
mereka bisa memperoleh penghasilan Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu.(Tim TABLOID RAKYAT)
Keluarga Besar Nasi Balap
Bukan cuma Inaq Nurisah, keluarga besar ibu
beranak lima orang ini bisa dibilang menggantungkan hidup pada nasi balap.
Selain Nurisah, disana ada kembarannya Inaq Nurimah yang juga berusaha nasi
balap. Anaknya Marianah, setelah kawin ikut berusaha nasi balap. Sementara dua
orang mantunya, Maspun dan Windarini juga membuka usaha sendiri.
Setiap harinya, Inaq Nurisah menanak nasi
sebanyak 25 kg, dimasak tiga sampai empat kali sehari dengan dandang ukuran 8
kg. Dari beras 8 kg itu kalau dibungkus, bisa diperoleh 75 hingga 80 bungkus nasi balap, atau total 250
bungkus sehari. Beras bakal nasi ini biasanya sudah ada langganan yang
mengantar langsung ke rumah. Begitu pun
halnya dengan daging ayam untuk lauknya. Untuk nasi sejumlah itu, tiap
harinya ia butuh hati sebanyak 2 kg, tempe 7 atau 8 buah, telur 15 butir dan
daging ayam 8 kg.
Maspun bisa dibilang mengalami kemajuan yang
pesat. Untuk satu hari, ia bisa menghabiskan beras sebanyak 1,5 kwintal, atau
kalau memakai cara berhitung Nurisah, menantunya ini bisa memproduksi 1.500 – 1.750
bungkus setiap harinya.
Kalau ditotal, dari komplek keluarga besar Inaq
Nurisah ini saja, dalam satu hari mereka biasa memproduksi nasi balap sebanyak
4.000 bungkus. Nasi ini kemudian dijual di warung-warung seperti
milik Inaq Bedah. Kalaupun tidak semua
nasi yang diambil habis terjual, si penjual tidak ada beban membayar yang tak
laku. Ini dikenal dengan istilah ’pajangan’.
”Hubungan dengan penjual itu sistimnya memang
pajangan Mas. Jadi kalau nasinya tak laku, tetap dikembalikan kesini,” kata
Badri, salah seorang putra Nurisah. Meski tak laku, kalau ada sisa itu bisa
disedekahkan untuk anak yatim, walau itu
jarang terjadi. Nasi balap dipastikan selalu habis.
Pasar antar-Perantau
Pak Samad membuka kotak nasi yang catnya sudah
tua usia. Hitungan detik ke depan, dikeluarkannya buku tulis yang ia sebut
sebagai catatan bon ”para pelanggan”. Lusuh, hampir tak layak disebut buku
lagi. Beberapa bagian tulisan pun tak lagi terbaca jelas karena tintanya
meluber termakan air. Isi buku bon itu sederhana, sejumlah nama dan catatan
rupiah tiap bungkus nasi yang diutang.
”Tahun kemarin yang nunggak sampai 400
ribu (rupiah),” kisah Abdul Samad, penjual nasi balap sepeda ontel. Mereka yang
suka berhutang biasanya memang anak kos yang merantau ke Mataram. Hutangnya
dibayar awal bulan bila kiriman sudah datang. Tapi tidak enaknya, kadang
terjadi juga mereka yang berhutang ini
tiba-tiba akhir bulan sudah tak lagi kelihatan batang hidungnya alias
kabur.
Tentu saja Samad tak perlu jera, kalau ada yang
mau berutang ia ikhlas saja. ”Yang penting ia bilang rumahnya disini, ya
makan aja,” katanya tanpa beban. Laki-laki yang telah enam tahun bergelut
dengan nasi balap ini juga merasa lega, sebab ia bisa menyumbangkan sedikit
miliknya untuk orang lain.
Banyak pengalaman yang mengesankan selama
berdagang nasi balap keliling itu. Kalau pagi, ia sudah ditunggu pelanggan.
Bahkan kalau telat, mereka suka marah juga.
”Saya cuma bisa bilang, kalau telat ya
beli yang lain aja,” katanya. Tapi
diakui memang ada juga yang belum mau sarapan dan sabar menunggu. Jadi
setidaknya nasi balapnya bisa sedikit berarti bagi mereka. Samad biasa
beroperasi di sekitar Gomong, tempat kos-kosan mahasiswa. ”Banyak yang sudah
lama makan nasi balap disana,” katanya.
Di sekitar Jl Sakura di Gomong, ia bisa punya
banyak nama, Pak Amat, Pak Sahlan, Pak Kumis, dan nama lainnya. ”Nama tak
penting, yang penting semua orang itu, anak kos atau ibu kos pasti pada kenal
saya. Saya yang tidak hapal nama mereka, abis banyak sih,”
ujarnya.
Menurut Sidik, salah seorang rekan Samad,
pelanggan utama nasi balap Otak Desa memang anak kos-kosan. Buktinya, awalnya nasi
balap ini sangat laris di sekitar perkampungan yang banyak anak kosnya. Mungkin
saja harganya yang ’ekstra ekonomis’ cocok untuk kalangan kos-kosan.
Sidik yang mengaku mulai berjualan sewaktu nasi balap harganya masih Rp 250 perak
menyebut Dasan Agung, Gomong atau Lawata, sebagai daerah awal basis pelanggan.
Ketika kos-kosan mulai menyebar ke wilayah lain, biasanya pasti segera ada
permintaan agar nasi balap juga dijual disana. Jadi anak-anak kos itu juga berjasa
’memasarkan’ nasi balap ini.
Namun menurut Samad, sebenarnya yang suka makan
nasi balap itu bukan cuma anak kos. ”Banyak juga orang kaya yang makan,
termasuk ibu-ibu kos. Awalnya memang cuma anaknya, lama-lama ibu dan bapaknya
juga ikut,” terangnya.
Tentu bukan cuma mereka yang menggantungkan
hidupnya pada hasil penjualan nasi balap
ini. Dengan semakin bertambahnya masyarakat yang memulai paginya dengan sarapan
nasi balap, berarti kerja semakin berat.
Itu jugalah yang dialami keluarga besar Inaq
Nurisah di Karang Tapen. Saking sibuknya, dering telepon pun selalu terdengar
sepanjang hari. ”Itu dari para penjual yang minta nasinya ditambah,” ujar
Badri, salah seorang putra Nurisah.
Karena semakin banyak permintaan, untuk
memproduksi nasi balap itu tak lagi bisa dikerjakan sendiri. Inaq Nurisah
sendiri menggaji dua orang tukang masak dan dua orang tukang bungkus nasi.
Menurut Badri, para pekerja yang berasal dari Lombok Timur ini pendapatannya
lumayan.
”Mereka digaji 10 ribu sampai 12 ribu (rupiah)
sehari. Makan tiga kali sehari juga ditanggung,” kata Badri, yang sekarang ini
mengusahakan bisnis transport bahan bangunan. Marpun sang menantu punya tukang
masak empat orang, ditambah tukang bungkus yang otomatis harus lebih banyak.
Untuk mendistribusikan nasi ke sejumlah penjual
di Kota Mataram, termasuk diantaranya ke warung-warung di depan Hotel Granada,
Nurisah punya ’staf’ khusus. Tukang antar nasi yang perantauan dari Lombok
Tengah itu tiap bulannya digaji Rp 200 ribu. Untuk itu, Nurisah menyediakan
satu sepeda motor, sementara anaknya Maspun menyediakan dua unit sepeda motor.
”Itu semua dari hasil kredit,” aku Badri.
Yang
jelas nasi keluarga besar ini tak hanya dijual di depan Hotel Granada, tapi dapat
dijumpai di banyak tempat seputar kota.
Tengok saja, di depan Kantor Muhammadiyah –dekat
Masjid Raya At Taqwa Mataram, disamping
Kantor Dikpora NTB, di Jalan Prasarana menuju Kampus Unram, di MAN Mataram, di
Kantor Polres Lombok Barat, di samping Mall Cilinaya, bahkan di RSJ Selagalas.
Di Jalan Tambora, dekat gedung PKM Unram, warungnya
terpampang dengan tulisan jelas: ’Sedia
Nasi Granada’. Meski begitu, lokasi paling ramai memang di sekitar Hotel
Granada.
”Memang setiap hari selalu ramai begini,” aku
Nur, salah seorang penjual nasi balap di warung Inaq Bedah, warung paling timur
disitu. Nur ditemani tiga orang ’karyawan’ lain, sebagian melayani pembeli
sambil mengisi sambal atau mengambil kerupuk. Sebagian lagi dengan sigap
menghampiri sejumlah mobil yang menunggu nasi balap mereka.
Inaq Bedah yang dikenal sebagai perintis lokasi
nasi balap di depan Granada menuturkan, sekitar awal 1996, ia berhenti keliling
dan menetap di lokasi yang sekarang ditempati. ”Yang dikasih izin berjualan disini itu awalnya cuma saya dan
Saihu,” ujar Bedah sambil menunjuk ke warung sebelah. Belakangan, sejumlah
pedagang lain ikut-ikutan membuka warung di sekitar lokasi itu. Setidaknya,
dengan usaha ini, perempuan asal Lombok Timur yang memilih hidup sendiri
setelah dua kali bercerai ini mengaku bisa menyisihkan uang Rp 200 ribu per
bulannya.
Lain di Granada, lain pula di Otak Desa. Di
daerah ini, penjual nasi balap bersepeda jumlahnya mencapai 40-an orang. Kata
Sidik, sebelumnya penjual nasi balap tidak sebanyak ini. Tapi sejak tahun 2000
jumlahnya meningkat. Uniknya, para penjual itu mengaku bukan kelahiran kampung
itu, tapi sebagai pendatang. Menurut Sidik yang telah berjualan sejak enam
tahun lalu, kebanyakan penjual ini berasal dari Lombok Timur dan Lombok Tengah.
”Umumnya mereka merantau ke Mataram mencari kerja, karena di kampungnya nggak
ada pekerjaan sama sekali,” ujar Sidik.
Pengakuan Sidik diamini Amaq Ugi, rekannya. Namun pengalamannya lebih kompleks, karena secara
ekonomi laki-laki ini pernah kaya. Sekitar satu setengah tahun lalu, lelaki asal
Desa Sukadana, Lombok Timur ini dikenal sebagai petani tembakau di kampungnya.
”Setelah bisnis tembakau merugi, tanah dan mobil saya pun hilang. Sekarang
inilah yang bisa diperbuat,” ungkapnya.
Samad yang menjajakan nasi buatan isterinya
mengaku asli Montong Baan, Lombok Timur. ”Sekarang cari kerja sulit, jadi berjualan
nasi balap saja,” ucap laki-laki yang pernah jadi kusir cidomo dan berjualan
bakso ini.
Lain lagi dengan Junaidin, biasa dipanggil Unyil,
yang datang dari Kuripan, Lombok Barat. Ia ke Mataram karena ingin melanjutkan
sekolah. Unyil mengaku kalau di Otak Desa ia menumpang pamannya. ”Bapak saya
masih di kampung, bertani,” ucapnya. Unyil sendiri bisa membawa 30 sampai 40
bungkus sehari, sebelum kemudian masuk sekolah, sebuah SMP dekat swalayan ACC
(sekarang Barata), di Ampenan.
Tapi apa memang nasi balap ini enak? ”Enak dan
nikmat, saya nggak ngerti yang buat pake bumbu apa. Yang penting
enak saja rasanya,” aku Barly, seorang pengusaha yang mengaku hampir setiap
hari mampir ke warung Inaq Bedah.
Apa bukan karena murah? Barly yang merantau dari
Surabaya ke Mataram enam tahun silam bilang kalau itu juga betul. ”Tapi buat
saya, makanan itu yang paling utama nikmat dulu, urusan harga belakangan,”
katanya. Salah seorang pegawai Pemkab Lombok Barat, yang ditanya pun
membenarkan kalau nasi balap itu punya kenikmatan sendiri. Namun ia punya alasan
lain, ”Praktis,” katanya singkat sebelum bergegas pergi, karena sejumlah
rekannya sedang menunggu di mobil dinas.
Liku-liku perjalanan nasi balap bak potret Amaq
Ugi, kadang untung-kadang rugi. Tapi kehadiran nasi balap di tengah kota, tak
bisa dipungkiri, mampu merekatkan strata sosial. Mereka, dari kelas sandal
jepit hingga pantofel. Ada tukang kelontong, pun yang berdasi. Tak ada strata
sosial disini, semuanya berharga bungkusan. Tapi yang terpenting, kehadiran
nasi balap mampu memberi denyut kehidupan. Tentu bagi mereka yang benar-benar
membutuhkan, atau sekedar ingin merasakan.
Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 05/Tahun I/Februari-Maret 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar