Translate

Rabu, 27 Mei 2015

HIKAYAT SI NASI BALAP LOMBOK

 Dari Karang Tapen sampai Otak Desa

Suara kering bel sepeda ontel para penjual keliling nasi balap seperti berpacu dengan geliat pagi di Kota Mataram. Di sejumlah warung pinggir jalan, di sekolah, dekat kampus, kantor pemerintah, bungkusan nasi balap yang biasanya disiapkan sambal tomat, menanti minat sarapan pagi. Semula nasi balap memang beredar di pagi hari. Nasi balap bermenu sederhana : beberapa cuil daging, ati, tempe iris, sedikit sayuran, kadang-kadang ada juga kelapa goreng, dan tentu saja sambal tomatnya itu loh. 

Belakangan, penjual nasi balap ini kian mudah ditemui di sudut-sudut kota. Sejumlah pasar kaget bermunculan. Konsumennya beragam. Dari yang bersandal jepit, mahasiswa, dosen, hingga yang bermobil pun kerap ditemui antre mengerumuni si penjual nasi balap di pinggir jalan. Para penjual nasi balap itu mulai yang bersepeda ontel hingga di kios dan warung pinggir jalan, menjawab hidup yang kian mahal. Ikuti laporan wartawan RAKYAT,  yang beberapa pekan keluar masuk kampung mengintip aktivitas mereka.
------------------------------------------------------------------------------------------------------


                Waktu masih pukul tujuh saat sebuah mobil sedan berhenti. Seorang ibu membuka pintu dan bergegas menuju warung Inaq Bedah. ”Kuning satu, putih satu. Kerupuknya seribu yaah....,” ucapnya pada penjual.  Di dalam mobil, dua orang anak berseragam SD kelihatan tak sabar.
Iya, ngantar anak-anak ke sekolah,” ujarnya saat ditanya. Si Ibu mengaku, di rumah tak sempat buat sarapan untuk si kecil yang harus berangkat. Di warung yang sama, seorang pegawai kantor pemerintah kelihatan asyik dengan bungkusan nasinya. Saban kali ia mengeluarkan suara desis menahan pedasnya sambal. Matanya sebentar-sebentar melirik mobil pelat merah yang terparkir tepat di samping gerbang keluar Hotel Granada. Di sekitarnya, beberapa orang mahasiswa dan anak berseragam pelajar SMP sedang asyik melahap sarapannya.
Di warung sebelah lain lagi. Beberapa orang sopir taksi berseragam biru asyik bergurau sambil  menikmati kopi susu dan pisang goreng. Bekas bungkusan nasi balap bersama sendok terlihat bertebaran di atas meja. Rupanya mereka sudah sarapan.
                Suasana itu bisa ditemui setiap hari di depan Hotel Granada sepanjang Jl Bung Karno, Mataram. Sejak jam enam pagi, warung-warung yang berjejer di depan Granada mulai menggelar dagangannya. Para pembeli dari berbagai kalangan pun mulai berdatangan. Warung-warung itu dibuat sederhana yang penting bisa berdiri saja. Bedek, ditutupi dengan kain terpal, atau sekedar kain bekas spanduk pariwara minuman karbonat.
                Sulit untuk mencari tahu nama warung atau warung ini jualan apa. Tapi kalau melihat tumpukan nasi balap di atas meja-meja yang berderet, mafhumlah kita. Pada hari kerja atau  tak sedang liburan pengunjung sangat ramai.  Biasanya kalau waktu sudah hampir kurang seperempat dari jam tujuh pagi, arus yang berangkat menuju perempatan kadang menjadi macet karena banyaknya kendaraan yang berhenti di depan warung. Pukul 09.00 wita, lebih dari seperempat lebar badan jalan raya depan warung itu sudah berubah fungsi menjadi areal parkir.
                Ternyata ”Nasi Granada” punya riwayat panjang. Cerita itu adalah penggalan kisah hidup Inaq Nurisah.
Kisahnya dimulai tahun 1978, saat Nurisah coba-coba menitipkan nasi buatannya pada Inaq Bedah yang waktu itu menjajakan singkong (ambon; sasak) keliling kantor. Awalnya dia hanya menitip 10  bungkus. Satu bungkus itu harganya Rp 35. ”Inaq Bedah mendapat bagian lima rupiah,” kenang Nurisah. Ternyata banyak yang suka, apalagi setelah ditambah sambal peminatnya semakin banyak.
                Sejak saat itu, semakin banyak pedagang lain yang mencoba menjual nasi buatan Nurisah. Dari awalnya cuma 10 bungkus, sekarang setiap harinya Nurisah bisa memproduksi sampai 250 bungkus nasi.
Episode lain kisah nasi balap, berasal dari sekitar kota tua Ampenan, tepatnya di Otak Desa yang terletak sekitar 75 meter dari Pasar Kebon Roek. Berbeda dengan Nasi Balap Granada yang biasa dijajakan di sejumlah warung, Nasi Balap Otak Desa punya ciri sendiri. Umumnya dijajakan keliling kota. Perlengkapannya sederhana, sebuah sepeda ontel, jirigen air minum dan kotak nasi dari kaleng yang dicat satu warna, disana terbaca tulisan : NASI BALAP. Jadi kalau ada nasi balap yang dijual dengan sepeda ontel, tak ada lain pasti dari Otak Desa.

***
Otak Desa pukul dua dini hari, meski kampung itu kelihatan lengang tapi di rumah-rumah sebenarnya hidup sudah mulai bergerak. Beras sudah dicuci dan siap ditanak. Acara menanak nasi itu berlangsung sampai pagi. Sambil menunggu nasi terakhir matang, daging yang telah dimasak sejak sore sampai malam tadi pun mulai dipanaskan. Setelah semuanya siap, acara bungkus-membungkus dimulai. Pukul enam pagi, nasi yang sudah dimasukkan ke dalam kotak nasi itu siap diedarkan ke seluruh penjuru kota oleh para penjual.
Siapa yang merintis usaha nasi balap di kampung ini?
Banyak orang menyebut nama Wahab. Laki-laki berumur yang sangat akrab dikenal mahasiswa Unram ini sekarang susah dijumpai karena sedang libur berjualan. Kemana?
Menurut keterangan para penjual yang lebih yunior, Wahab sedang ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Wahab tak punya usaha lain selain jualan nasi balap. Jadi, pasti biaya haji itu dari hasil nasi balap. ”Mungkin kita ganti saja namanya dengan Haji Balap,” kata seorang penjual nasi balap dari Otak Desa.
Selain Wahab, disebut juga rekannya Haji Rachman yang selain berusaha nasi balap sekarang juga membuka kos-kosan di rumahnya. ”Yang pertama jualan itu memang Pak Wahab. Lalu ada Pak Haji Rachman,” kata Abdul Samad, salah seorang penjual.
Bukan hanya mereka. Di Otak Desa ada pula Bu Atrah, yang dulu dikenal sebagai majikan nasi balap bersepeda itu. Sekarang, ibu ini memang hanya punya tiga orang pegawai saja,  tapi  bukan berarti usahanya mengalami kemunduran. Justru usaha nasi balap ini semakin hari semakin menyebar dan terjadi regenerasi. Pasalnya, beberapa pegawainya itu sekarang hanya sekedar mengambil nasi saja, perlengkapan seperti sepeda dan kotak nasi itu sudah umum dimiliki.
Tambahan lagi, ada kebiasaan tidak tertulis di kampung itu: waktu masih membujang sang penjual mengambil nasi sekaligus pakai sepeda ontel  sang majikan. Tapi kalau ia sudah menikah, isterinya akan membuka usaha nasi balap sendiri dan ia yang berkeliling menjualnya.
Awal tahun 1999, nasi balap Otak Desa masih berharga Rp 250 sebungkus. Namun seiring kenaikan harga beras, harganya pun beranjak naik. Awalnya naik menjadi Rp 300. kemudian naik lagi menjadi Rp 500  pada tahun 2000. Setelah naik menjadi Rp 750 pada tahun yang sama, dua tahun terakhir nasi ini dijual seharga Rp 1.000 tiap bungkusnya.
Dari tiap bungkus itulah, para penjual memperoleh jatah Rp 200, sementara Rp 800 harus disetor ke sang majikan. ”Paling lambat jam 12 siang kita sudah harus setor,” ujar salah seorang penjual.
Penjual baru paling-paling hanya bisa menjual 40-60 bungkus setiap hari. Tapi kalau yang sudah lama –berarti sudah punya pelanggan—bisa menjual 100 hingga 150 bungkus. Jadi paling tidak, dalam sehari mereka bisa memperoleh penghasilan Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu.(Tim TABLOID RAKYAT)


Keluarga Besar Nasi Balap

Bukan cuma Inaq Nurisah, keluarga besar ibu beranak lima orang ini bisa dibilang menggantungkan hidup pada nasi balap. Selain Nurisah, disana ada kembarannya Inaq Nurimah yang juga berusaha nasi balap. Anaknya Marianah, setelah kawin ikut berusaha nasi balap. Sementara dua orang mantunya, Maspun dan Windarini juga membuka usaha sendiri.
Setiap harinya, Inaq Nurisah menanak nasi sebanyak 25 kg, dimasak tiga sampai empat kali sehari dengan dandang ukuran 8 kg. Dari beras 8 kg itu kalau dibungkus, bisa diperoleh 75  hingga 80 bungkus nasi balap, atau total 250 bungkus sehari. Beras bakal nasi ini biasanya sudah ada langganan yang mengantar langsung ke rumah. Begitu pun  halnya dengan daging ayam untuk lauknya. Untuk nasi sejumlah itu, tiap harinya ia butuh hati sebanyak 2 kg, tempe 7 atau 8 buah, telur 15 butir dan daging ayam 8 kg.
Maspun bisa dibilang mengalami kemajuan yang pesat. Untuk satu hari, ia bisa menghabiskan beras sebanyak 1,5 kwintal, atau kalau memakai cara berhitung Nurisah, menantunya ini bisa memproduksi 1.500 – 1.750 bungkus setiap harinya.
Kalau ditotal, dari komplek keluarga besar Inaq Nurisah ini saja, dalam satu hari mereka biasa memproduksi nasi balap sebanyak 4.000  bungkus. Nasi ini kemudian dijual di warung-warung seperti milik Inaq Bedah.  Kalaupun tidak semua nasi yang diambil habis terjual, si penjual tidak ada beban membayar yang tak laku.  Ini dikenal dengan istilah  ’pajangan’.
”Hubungan dengan penjual itu sistimnya memang pajangan Mas. Jadi kalau nasinya tak laku, tetap dikembalikan kesini,” kata Badri, salah seorang putra Nurisah. Meski tak laku, kalau ada sisa itu bisa disedekahkan untuk anak yatim, walau  itu jarang terjadi. Nasi balap dipastikan selalu habis.



Pasar antar-Perantau


Pak Samad membuka kotak nasi yang catnya sudah tua usia. Hitungan detik ke depan, dikeluarkannya buku tulis yang ia sebut sebagai catatan bon ”para pelanggan”. Lusuh, hampir tak layak disebut buku lagi. Beberapa bagian tulisan pun tak lagi terbaca jelas karena tintanya meluber termakan air. Isi buku bon itu sederhana, sejumlah nama dan catatan rupiah tiap bungkus nasi yang diutang.


”Tahun kemarin yang nunggak sampai 400 ribu (rupiah),” kisah Abdul Samad, penjual nasi balap sepeda ontel. Mereka yang suka berhutang biasanya memang anak kos yang merantau ke Mataram. Hutangnya dibayar awal bulan bila kiriman sudah datang. Tapi tidak enaknya, kadang terjadi juga mereka yang berhutang ini  tiba-tiba akhir bulan sudah tak lagi kelihatan batang hidungnya alias kabur.
Tentu saja Samad tak perlu jera, kalau ada yang mau berutang ia ikhlas saja. ”Yang penting ia bilang rumahnya disini, ya makan aja,” katanya tanpa beban. Laki-laki yang telah enam tahun bergelut dengan nasi balap ini juga merasa lega, sebab ia bisa menyumbangkan sedikit miliknya untuk orang lain.
Banyak pengalaman yang mengesankan selama berdagang nasi balap keliling itu. Kalau pagi, ia sudah ditunggu pelanggan. Bahkan kalau telat, mereka suka marah juga.
”Saya cuma bisa bilang, kalau telat ya beli yang lain aja,” katanya. Tapi  diakui memang ada juga yang belum mau sarapan dan sabar menunggu. Jadi setidaknya nasi balapnya bisa sedikit berarti bagi mereka. Samad biasa beroperasi di sekitar Gomong, tempat kos-kosan mahasiswa. ”Banyak yang sudah lama makan nasi balap disana,” katanya.
Di sekitar Jl Sakura di Gomong, ia bisa punya banyak nama, Pak Amat, Pak Sahlan, Pak Kumis, dan nama lainnya. ”Nama tak penting, yang penting semua orang itu, anak kos atau ibu kos pasti pada kenal saya. Saya yang tidak hapal nama mereka, abis banyak sih,” ujarnya.
Menurut Sidik, salah seorang rekan Samad, pelanggan utama nasi balap Otak Desa memang anak kos-kosan. Buktinya, awalnya nasi balap ini sangat laris di sekitar perkampungan yang banyak anak kosnya. Mungkin saja harganya yang ’ekstra ekonomis’ cocok untuk kalangan kos-kosan.
Sidik yang mengaku mulai berjualan sewaktu  nasi balap harganya masih Rp 250 perak menyebut Dasan Agung, Gomong atau Lawata, sebagai daerah awal basis pelanggan. Ketika kos-kosan mulai menyebar ke wilayah lain, biasanya pasti segera ada permintaan agar nasi balap juga dijual disana. Jadi anak-anak kos itu juga berjasa  ’memasarkan’ nasi balap ini.
Namun menurut Samad, sebenarnya yang suka makan nasi balap itu bukan cuma anak kos. ”Banyak juga orang kaya yang makan, termasuk ibu-ibu kos. Awalnya memang cuma anaknya, lama-lama ibu dan bapaknya juga ikut,” terangnya.
Tentu bukan cuma mereka yang menggantungkan hidupnya pada  hasil penjualan nasi balap ini. Dengan semakin bertambahnya masyarakat yang memulai paginya dengan sarapan nasi balap, berarti kerja semakin berat.
Itu jugalah yang dialami keluarga besar Inaq Nurisah di Karang Tapen. Saking sibuknya, dering telepon pun selalu terdengar sepanjang hari. ”Itu dari para penjual yang minta nasinya ditambah,” ujar Badri, salah seorang putra Nurisah.
Karena semakin banyak permintaan, untuk memproduksi nasi balap itu tak lagi bisa dikerjakan sendiri. Inaq Nurisah sendiri menggaji dua orang tukang masak dan dua orang tukang bungkus nasi. Menurut Badri, para pekerja yang berasal dari Lombok Timur ini pendapatannya lumayan.
”Mereka digaji 10 ribu sampai 12 ribu (rupiah) sehari. Makan tiga kali sehari juga ditanggung,” kata Badri, yang sekarang ini mengusahakan bisnis transport bahan bangunan. Marpun sang menantu punya tukang masak empat orang, ditambah tukang bungkus yang otomatis harus lebih banyak.
Untuk mendistribusikan nasi ke sejumlah penjual di Kota Mataram, termasuk diantaranya ke warung-warung di depan Hotel Granada, Nurisah punya ’staf’ khusus. Tukang antar nasi yang perantauan dari Lombok Tengah itu tiap bulannya digaji Rp 200 ribu. Untuk itu, Nurisah menyediakan satu sepeda motor, sementara anaknya Maspun menyediakan dua unit sepeda motor. ”Itu semua dari hasil kredit,” aku Badri.

Menurut isteri Badri, semua nasi yang dijual di depan Granada berasal dari komplek mereka, kecuali salah seorang penjual yang memang menjualkan nasi buatan Ibu Tien, pembuat nasi yang juga tinggal di Karang Tapen. Dengan harga jual Rp 1.500, untuk tiap bungkusnya, penjual seperti Inaq Bedah memperoleh keuntungan Rp 250.

Yang jelas nasi keluarga besar ini tak hanya dijual di depan Hotel Granada, tapi dapat dijumpai di banyak tempat seputar kota.

Tengok saja, di depan Kantor Muhammadiyah –dekat Masjid Raya At Taqwa  Mataram, disamping Kantor Dikpora NTB, di Jalan Prasarana menuju Kampus Unram, di MAN Mataram, di Kantor Polres Lombok Barat, di samping Mall Cilinaya, bahkan di RSJ Selagalas.
Di Jalan Tambora, dekat gedung PKM Unram, warungnya terpampang dengan tulisan jelas:  ’Sedia Nasi Granada’. Meski begitu, lokasi paling ramai memang di sekitar Hotel Granada.
”Memang setiap hari selalu ramai begini,” aku Nur, salah seorang penjual nasi balap di warung Inaq Bedah, warung paling timur disitu. Nur ditemani tiga orang ’karyawan’ lain, sebagian melayani pembeli sambil mengisi sambal atau mengambil kerupuk. Sebagian lagi dengan sigap menghampiri sejumlah mobil yang menunggu nasi balap mereka.
Inaq Bedah yang dikenal sebagai perintis lokasi nasi balap di depan Granada menuturkan, sekitar awal 1996, ia berhenti keliling dan menetap di lokasi yang sekarang ditempati. ”Yang dikasih izin  berjualan disini itu awalnya cuma saya dan Saihu,” ujar Bedah sambil menunjuk ke warung sebelah. Belakangan, sejumlah pedagang lain ikut-ikutan membuka warung di sekitar lokasi itu. Setidaknya, dengan usaha ini, perempuan asal Lombok Timur yang memilih hidup sendiri setelah dua kali bercerai ini mengaku bisa menyisihkan uang Rp 200 ribu per bulannya.
Lain di Granada, lain pula di Otak Desa. Di daerah ini, penjual nasi balap bersepeda jumlahnya mencapai 40-an orang. Kata Sidik, sebelumnya penjual nasi balap tidak sebanyak ini. Tapi sejak tahun 2000 jumlahnya meningkat. Uniknya, para penjual itu mengaku bukan kelahiran kampung itu, tapi sebagai pendatang. Menurut Sidik yang telah berjualan sejak enam tahun lalu, kebanyakan penjual ini berasal dari Lombok Timur dan Lombok Tengah. ”Umumnya mereka merantau ke Mataram mencari kerja, karena di kampungnya nggak ada pekerjaan sama sekali,” ujar Sidik.
Pengakuan Sidik diamini Amaq Ugi, rekannya. Namun pengalamannya lebih kompleks, karena secara ekonomi laki-laki ini pernah kaya. Sekitar satu setengah tahun lalu, lelaki asal Desa Sukadana, Lombok Timur ini dikenal sebagai petani tembakau di kampungnya. ”Setelah bisnis tembakau merugi, tanah dan mobil saya pun hilang. Sekarang inilah yang bisa diperbuat,” ungkapnya.  
Samad yang menjajakan nasi buatan isterinya mengaku asli Montong Baan, Lombok Timur. ”Sekarang cari kerja sulit, jadi berjualan nasi balap saja,” ucap laki-laki yang pernah jadi kusir cidomo dan berjualan bakso ini.
Lain lagi dengan Junaidin, biasa dipanggil Unyil, yang datang dari Kuripan, Lombok Barat. Ia ke Mataram karena ingin melanjutkan sekolah. Unyil mengaku kalau di Otak Desa ia menumpang pamannya. ”Bapak saya masih di kampung, bertani,” ucapnya. Unyil sendiri bisa membawa 30 sampai 40 bungkus sehari, sebelum kemudian masuk sekolah, sebuah SMP dekat swalayan ACC (sekarang Barata), di Ampenan.
Tapi apa memang nasi balap ini enak? ”Enak dan nikmat, saya nggak ngerti yang buat pake bumbu apa. Yang penting enak saja rasanya,” aku Barly, seorang pengusaha yang mengaku hampir setiap hari mampir ke warung Inaq Bedah.
Apa bukan karena murah? Barly yang merantau dari Surabaya ke Mataram enam tahun silam bilang kalau itu juga betul. ”Tapi buat saya, makanan itu yang paling utama nikmat dulu, urusan harga belakangan,” katanya. Salah seorang pegawai Pemkab Lombok Barat, yang ditanya pun membenarkan kalau nasi balap itu punya kenikmatan sendiri. Namun ia punya alasan lain, ”Praktis,” katanya singkat sebelum bergegas pergi, karena sejumlah rekannya sedang menunggu di mobil dinas.
Liku-liku perjalanan nasi balap bak potret Amaq Ugi, kadang untung-kadang rugi. Tapi kehadiran nasi balap di tengah kota, tak bisa dipungkiri, mampu merekatkan strata sosial. Mereka, dari kelas sandal jepit hingga pantofel. Ada tukang kelontong, pun yang berdasi. Tak ada strata sosial disini, semuanya berharga bungkusan. Tapi yang terpenting, kehadiran nasi balap mampu memberi denyut kehidupan. Tentu bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, atau sekedar ingin merasakan. 

Sebuah fenomena pasar bersahaja ditengah laju pertumbuhan perdagangan kota di Mataram, Lombok. Sebuah pasar antar para perantau. (TIM TABLOID RAKYAT)


Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 05/Tahun I/Februari-Maret 2003


Tidak ada komentar:

Posting Komentar