Bagi para pemain musik lokal, membeli beberapa
alat musik murah bukanlah perkara sulit. Di Lombok, ada perajin gitar bolong
(akustik) hingga gitar listrik, cello, gambus atau biola. Banyak juga jenis
alat musik lainnya yang bisa diproduksi perajin lokal. Para perajin itu menjamin, soal kualitas bunyi
atau nada –bahkan daya tahan alat-alat musik itu—tak kalah dengan buatan Surabaya
atau Solo. “Kita hanya kalah penampilan luar,” kata Soephendy, perajin biola
yang tinggal di Sandik, Gunung Sari. Bagaimana
cerita tumbuhnya para perajin alat musik ini dan cara mereka memasarkan produknya?.....................................
Masuk sebuah gang Lingkungan Sintung Barat RT IV,
Kelurahan Ampenan Selatan, terasa masuk di lingkungan kampung yang sederhana. Layaknya
kampung di perkotaan yang rumahnya berdempetan dan tak ada halaman luas. Lorong
kampung itu adalah jalan buntu. Di kampung ini setiap datang hujan besar selalu
digenangi air, malah sampai masuk ke dalam rumah.
Iwan Gomanthi atau lebih sering dipanggil Iwan
tinggal di gang ini. Tak sulit bila ingin mencarinya, sebab di Ampenan ia
merupakan satu-satunya perajin gitar.
Di kalangan pemain musik, khususnya anak-anak
muda, nama Iwan cukup dikenal. Banyak yang menceritakan kalau Iwan, 40, sebagai
pengrajin gitar sangat piawai dan tidak jarang memuaskan konsumennya. Bukan
hanya jenis akustik, tapi ia juga yakin mampu meniru gitar Fender atau Gibson
yang harganya Rp 25 juta-an menjadi cuma sekitar Rp 2 juta.
”Gitar grup band saya pakai juga made in Iwan, Mas. Termasuk alat-alat perkusi
lainnya,” cerita Nanang, pemegang gitar dari grup band yang markasnya di Pejeruk,
Mataram. Pendeknya, kemampuan Iwan dalam membuat dan mereparasi gitar tak
diragukan lagi. Kabarnya bukan hanya pemusik NTB yang memanfaatkan jasanya,
gitaris dari Bali dan Surabaya pun sering datang memesan gitar.
Karena keahliannya itulah membuat Iwan pada tahun
2003 bertemu Iwan Fals, sang idola anak muda. Bukan sekedar bertemu, tapi Iwan
sengaja bertandang ke rumahnya. Tentu saja ia bangga bukan kepalang. Tapi ia
lebih bangga lagi karena bukan hanya Iwan Fals yang menginjakkan kaki di lorong
kampungnya yang padat, tapi cerita kepiawaiannya ternyata sampai ke telinga
salah seorang personil Slank, Kaka.
”Keduanya sempat mencoba gitar saya, mereka
sangat memuji,” cerita Iwan di rumahnya.
Kesukaannya membuat gitar diakuinya muncul saat
ia masih sekolah dasar. Ketika itu ia drop-out dari sekolah karena
ibunya tak mampu membiayai. Sang ayah sudah tak lagi bersamanya sejak ia
berumur 13 tahun. Putus sekolah sempat membuatnya limbung karena tak punya
pekerjaan.
Tapi siapa nyana, dari kondisi sulit itu justru
kreativitas seninya muncul. Ia teringat kepiawaian ayahnya, H Munirah yang
semasa hidup dikenal sebagai pemain keroncong dari Kampung Melayu, Ampenan.
Ayahnya yang asal Palembang itu juga ahli membuat gitar.
”Ayah saya selain sebagai pemain keroncong juga
pembuat gitar,” tuturnya. Dan dari ayahnya itu ia mulai
belajar sendiri menciptakan gitar. Ayahnya saat itu mengatakan, kalau Iwan
dianggap punya bakat tersembunyi dalam hal membuat alat musik.
Keberhasilannya membuat
gitar itu, akhirnya ia sadar akan bakat seni yang mengalir di tubuhnya. Sejak
saat itu ia mulai menekuni pekerjaannya sebagai perajin berbagai alat musik,
mulai dari biola, gambus, cello, gendang, bongo, dan lain-lain. Dan sekarang,
orang boleh pilih mau memesan alat musik apa saja yang diinginkan.
Tapi membuat gitar bagi
Iwan memang spesial, dan paling sering dipesan orang. Baik yang jenis akuistik
maupun gitar listrik. Dan keahliannya membuat gitar ini yang membuatnya dikenal
banyak pemusik. Entah untuk sekedar ingin punya gitar baru atau mereparasi
gitar mereka yang rusak.
Sampai sekarang, ia
mengaku sudah ribuan gitar hasil kreasinya beredar di tangan para pemusik.
Gitar buatan Iwan, mempunya ciri khas tersendiri yang tidak bisa ditandingi
oleh orang lain. Misalnya dalam membuat alat musik gambus atau biola, ia mampu
membedakan rasa bunyi bahan dari kayu jati atau mahoni.
Iwan mengaku bisa membuat
segala macam gitar. Mulai gitar bolong sampai gitar listrik (electric).
Bahkan, membuat gitar listrik itu lebih gampang dibandingkan gitar bolong.
Paling lama ia butuh waktu dua hari, sedangkan gitar bolong butuh sampai empat
hari.
Ia mengaku tidak
kesulitan meniru berbagai model merk gitar terkenal seperti Fender, Gibson,
maupun Ibanez. Di dinding rumahnya ditempelkannya berbagai model gitar
yang trendy di seluruh dunia. Ia
juga mengoleksi majalah gitar dunia. Itu memudahkan orang untuk memesan gitar
model apa yang diinginkan.
Bagaimana kalau si
pemesan menginginkan model yang sama persis seperti yang ada di majalah itu? “Ya
nggak masalah, akan saya buatkan persis seperti itu,” tegas Iwan. Dari keterangannya, membuat gitar model apa pun
sekarang sangat mudah. Asesoris gitar seperti fret, dryer, stratocaster,
dan lain sebagainya sudah banyak dijual di toko-toko alat musik.
Dulu, demikian Iwan, semua asesoris gitar harus
dibuat sendiri. Ia mencontohkan untuk membuat fret yang sangat
menentukan tinggi-rendah nada, ia harus memotong besi baja yang kemudian
dihaluskan sendiri.
”Dulu sakit cara orang membuat gitar. Sekarang enak, tinggal memotong kayu sesuai model, sedang asesoris lainnya
yang dari besi sudah bisa dibeli. Saya membuat gitar dengan alat-alat
pertukangan biasa,” katanya. Alat-alat pertukangan seperti serut, pahat, bor,
pisau, tang, dan gergaji. Dengan selembar triplek, tentu dengan bahan-bahan
gitar yang dibeli di toko seperti dryer, senar atau pin dan asesoris
lainnya, Iwan bisa menghasilkan delapan buah gitar.
Soal pasar, menurut Iwan, tak masalah. Kalau
hasil produksinya tak bisa menembus Jawa, ia masih bisa memasarkan ke daerah
timur, seperti Sumbawa sampai NTT. Dengan harga gitar Rp 250 ribu sampai Rp 300
ribu, alatnya dijamin berkualitas. Anak-anak muda yang sering bermimpi punya
gitar listrik yang canggih tapi tak
terjangkau harganya, ia bisa mencarikan jalan keluarnya.
Sebenarnya, sebagai perajin alat musik khususnya
gitar, Iwan tak sendiri. Ada juga anak muda lain, Herry yang tinggal di rumah
kost di samping Pasar Kebon Roek, Ampenan. Tapi cerita soal Herry, awalnya
hanyalah tukang kayu yang karena berteman dengan banyak pemain musik membuatnya
coba-coba membuat gitar.
Menurut beberapa orang, sebagai tukang kayu ia
memang pandai membuat beragam bentuk alat musik. Ketelitian dan model gitar
ciptaannya bagus, tapi soal suara justru sering mengecewakan. Saat ditemui RAKYAT,
Herry yang pernah merantau ke Jakarta itu bercerita kalau pernah membuat gitar
pesanan salah seorang pemain gitar andal di Jakarta, Totok Tewel.
***
Di samping Iwan juga ada nama lain seperti
Soependhy, di Desa Sandik, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat. Soependhy, 44,
juga mengaku keahliannya itu sebagai warisan ayahnya, H Sufi’i, seorang pemain
keroncong terkenal yang memimpin orkes keroncong Irama Masa. Sekitar
tahun 60 hingga 70-an orkes keroncong itu memang sangat dikenal di Lombok.
Karena pemain musik, maka pekerjaan membuat
alat-alat musik itu dianggap Soependhy hanya untuk senang-senang. Ketika
ditemui di rumahnya, ia mengaku lebih senang membuat biola. Sementara untuk
membuat gitar, meski ia menerima pesanan namun membuat gitar tak membuatnya
benar-benar bersemangat.
”Ayah saya juga pembuat biola, mungkin saya lebih
cocok kalau menerima pesanan biola,” tutur Soependhy yang mengaku meniti bakat
membuat alat musik sejak muda. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama
(SMP) ia sudah mampu membuat biola. Bahkan, menurut cerita istrinya, sekolahnya
dibiayai dengan menjual alat-alat musik buatannya sendiri.
Tapi karena Soependhy berstatus PNS,
keterampilannya membuat alat musik betul-betul dianggap sebagai sampingan.
Karena itu, soal harga alat-alat musik itu paling bisa diajak berdamai.
Awalnya Soephendy hanya iseng-iseng membantu
ayahnya ngampelas kemudian mengecat biola. Karena terus menerus
mengamati kerja ayahnya, akhirnya ia mulai berani membuat biola sendiri.
Ternyata hasilnya cukup bagus dan laku dijual. Bahkan ketika di SLTA, ia sudah
bisa membiayai sendiri uang sekolahnya dengan menjual biola-biola itu.
Setelah biola, perlahan ia juga mulai membuat alat musik lain seperti cello
maupun gitar. Tapi sampai sekarang yang
begitu ia gemari adalah membuat biola. Baginya, biola membutuhkan keahlian
tersendiri. ”Bila salah sedikit saja menghaluskan kayu harus ulang dari awal,”
jelasnya. Berbeda dengan gitar katanya, yang walaupun salah tetap bisa
dilanjutkan.(Tim TABLOID RAKYAT)
Keluh-Kesah Sang Perajin
Meski
mempunyai keahlian bernilai tinggi, Iwan mengaku secara ekonomi masih hidup
susah. Hasil dari kerja membuat gitar masih belum bisa menjamin kebutuhan hidup
bersama seorang istri dan dua orang anak gadisnya. Untuk menutupi kebutuhan
yang terus mendesak ia sering mengerjakan hal-hal lain selain membuat alat
musik, seperti menjahit atau membuat pakaian. Selain itu bila ada yang meminta, mengganti
selimut sofa pun sering ia kerjakan.
Namun terkadang kalau kedua pekerjaan sampingan
itu pun sepi ia mengisi waktu dengan melukis. Berbagai model lukisan ia bisa
selesaikan. Pokoknya bisa kerja.
”Sebenarnya bisa lebih produktif kalau ada
modal,” ceritanya. Tapi Iwan tak punya apa-apa untuk membuat setok alat-alat
musik. Padahal kalau bisa memproduksi banyak, ia bisa memasarkan ke toko-toko.
Karenanya, ia mengharapkan bisa ketemu ”bapak angkat” yang mengangkatnya
sebagai pengusaha alat-alat musik.
Kendala modal, katanya, membuatnya sulit
berkembang. Hasil dari penjualan gitar sering habis untuk membayar uang sekolah
anak-anaknya. Sehingga modal yang memang sudah minim itu pun tidak bisa untuk
modal pembuatan gitar selanjutnya.
Selama ini promosi yang dilakukan cenderung dari
mulut ke mulut pemusik. Para pemusik saling bercerita soal kemampuannya membuat
dan mereparasi gitar. Karena itu produksi gitarnya bisa dibilang masih seret.
Para pemesan datang cenderung hanya untuk dipakai sendiri. Bukan untuk diborong
kemudian dipasarkan lagi. Maka ia mengaku tidak pernah mendapat order besar.
”Paling banter orang yang datang memesan hanya maksimal sampai dua buah
saja,” ujarnya.
Keluhan Iwan juga sebenarnya dialami Soependhy.
Dua orang seniman alat musik itu mengaku soal pemasaran yang mandek membuat
kreativitasnya ikut-ikutan mandek. Rata-rata keduanya masih mengandalkan
pemasaran dari mulut ke mulut. Soependhy misalnya hanya mengandalkan pemasaran
pada grup-grup musik yang ada di kawasan wisata seperti Senggigi maupun Gili.
Ditambah lagi beberapa grup musik keroncong yang ada di berbagai daerah seperti
Praya dan Selong.
Seretnya penjualan alat musik hasil buatan mereka
juga tidak lepas dari lesunya kondisi pariwisata saat ini. Seperti diceritakan
Soependhy, dulu ketika pariwisata masih ramai pemesanan biola seolah tak pernah
berhenti. Setiap bulannya selalu saja ada orang yang datang minta dibuatkan
biola. Tapi setelah adanya kerusuhan ’171’ di Mataram, kemudian ledakan bom di
Bali, pesanan mulai sepi. ”Saat ini pun kondisi pesanan masih sepi,” ungkapnya.
Soal pemasaran sebenarnya Iwan lebih maju
sedikit. Selain melayani pemusik-pemusik dari daerah lain seperti Surabaya,
Bali, Sumbawa dan Bima, Iwan juga memasok ke toko-toko musik di Mataram. Untuk
satu buah gitar bolong karya Iwan di toko itu berkisar antara Rp 500 ribu
sampai Rp 700 ribu. Sedangkan gitar listrik katanya bisa mencapai Rp 2 juta
lebih.
Sedangkan gitar listrik yang meniru merek-merek
gitar luar negeri seperti Fender atau Gibson yang harga aslinya
mencapai Rp 25 juta, ia hanya menjual Rp 2,5 juta. ”Ya pokoknya kalau
model luar patokannya dua setengahan jutalah,” katanya.
Untuk menyelesaikan satu gitar bolong, sebenarnya
Iwan tidak butuh modal banyak. Seperti
dicontohkannya, satu lembar tripleks cukup untuk membuat sampai delapan gitar.
Bisa dibayangkan dari sisi bisnis tentu sangat menguntungkan, selisih biaya
produksi dengan nilai jual sangat besar. Tapi Iwan menolak dianggap memasang
harga terlalu tinggi untuk gitarnya.
Menurutnya bukan nilai kayu gitarnya yang dibeli
tapi proses pembuatannya yang membutuhkan konsentrasi dan kreativitas seni yang
tinggi.
Kisah-kisah Gitar
Dari sekian alat musik mungkin gitar bisa
dibilang paling fenomenal. Masih ingat
apa yang dialami grup musik rock, Guns N Roses beberapa waktu lalu. Saat
itu mereka harus kehilangan Slash, sang gitaris. Ketiadaan Slash yang mempunyai
permainan gitar yang memukau membuat mereka patah semangat.
Mereka sampai melakukan tur musik keliling
Amerika mencari gitaris yang cocok menggantikannya. Setiap kota tempat mereka
menggelar konser, gitaris baru pun muncul dan mencoba namun selalu tak pernah
memuaskan.
Sekelumit pengalaman grup musik rock pemilik lagu
November Rain itu setidaknya membuktikan ’daya magis’ dan keunikan alat
musik yang bernama gitar. Kalau kita bandingkan dengan alat musik lain semisal
drum, piano, bass, biola, bahkan seruling yang dikatakan turunan leluhur kita
tak bisa menyamai kepopuleran alat musik bersenar enam itu. Gitar tak mengenal
strata sosial. Gitar bisa dimiliki oleh siapa pun entah itu pengamen, atau kolektor
barang mewah di kelas elite mana pun. Di pelosok-pelosok bisa kita temui orang
menenteng gitar dan menyanyikan sebuah lagu dengan syahdu. Sementara di belahan
sosial yang lain pun para superstar bisa panen popularitas dengan
kelihaian memainkannya.
Sebut misalnya ikon musik rock, Jimmy Hendrix,
yang Agustus lalu terpilih sebagai ’Gitaris
Terbaik Sepanjang Masa’ hasil jajak pendapat majalah Inggris, Total Guitar.
Jajak pendapat ini diselenggarakan dalam rangka peringatan penerbitan ke-100
majalah tersebut dalam edisi 5 Agustus 2003.
Hendrix yang asal Amerika Serikat (AS) dianggap
layak menyandang gelar terbaik. Aksi panggung dan raungan gitar elektrik Fender
Stratocaster kesayangannya membuat semua orang mengenal dan mengaguminya.
Tidak jarang, Hendrix yang kidal itu memainkan gitar dengan gigi-giginya,
bahkan menyuguhkan aksi seperti sedang berhubungan seksual dengan gitarnya.
Sementara gitaris Inggris pendiri Led Zeppelin,
Jimmy Page, berada di urutan kedua. Page merupakan satu-satunya gitaris yang
mampu memaksimalkan permainan dengan gitar double neck dalam
konser-konser Led Zeppelin. Kemampuannya menyulap gitar akustik juga
sulit tertandingi.
Itulah gitar, walaupun dikenal dan dimainkan
secara massal, tak banyak yang mampu menundukkannya. Banyak orang justru hanya
mampu memainkan sesuai rumus-rumus bakunya, tapi tak bisa menjamin sebagai
maestro.
Untuk
hal ini mungkin Iwan Gomanthi benar. Pembuat gitar dari Kampung Melayu, Ampenan
ini tetap ngotot dengan pendiriannya. Membuat gitar tak melulu
mengandalkan kemampuan menyambung sekian potongan kayu dan tripleks menjadi
sebentuk gitar. ”Kalau sekedar itu, jadi gitar tapi tak bersuara seperti
gitar,” kata Iwan. (Tim TABLOID RAKYAT)sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 20/Tahun II/16-31 Maret 2004
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah, pak iwan tetangga saya ini memang pengrajin gitar yang patut dijadikan inspirasi..
BalasHapusMintak No Hpx pak iwan dong
BalasHapusLokasi nya bang ? Mau perbaiki gitar? Tolong do kirim lokasi /alamt . Ke no 085238077561
BalasHapusMinta no hpnya pak iwan downk
BalasHapusLokasinya dimna pak iwan ,sya mau prbaiki gtar jga...
BalasHapusKk alamat nya di mana, sy mau perbaiki gitar kak
BalasHapusMintak kontak WAnya dong bos
BalasHapusKnapa gag di posting proses pembuatan gitarnya di youtube
BalasHapusKita salut dan beri apresiasi buat Iwan yang kreatif, inovatif dam inspiratif...
BalasHapusMinta alamatnya boss, mau servis
BalasHapus