Translate

Kamis, 28 Mei 2015

Perajin Gitar dari Ampenan Lombok



Bagi para pemain musik lokal, membeli beberapa alat musik murah bukanlah perkara sulit. Di Lombok, ada perajin gitar bolong (akustik) hingga gitar listrik, cello, gambus atau biola. Banyak juga jenis alat musik lainnya  yang bisa diproduksi perajin lokal. Para perajin itu menjamin, soal kualitas bunyi atau nada –bahkan daya tahan alat-alat musik itu—tak kalah dengan buatan Surabaya atau Solo. “Kita hanya kalah penampilan luar,” kata Soephendy, perajin biola yang tinggal di Sandik, Gunung Sari. Bagaimana cerita tumbuhnya para perajin alat musik ini dan cara mereka memasarkan produknya?.....................................



Masuk sebuah gang Lingkungan Sintung Barat RT IV, Kelurahan Ampenan Selatan, terasa masuk di lingkungan kampung yang sederhana. Layaknya kampung di perkotaan yang rumahnya berdempetan dan tak ada halaman luas. Lorong kampung itu adalah jalan buntu. Di kampung ini setiap datang hujan besar selalu digenangi air, malah sampai masuk ke dalam rumah.
Iwan Gomanthi atau lebih sering dipanggil Iwan tinggal di gang ini. Tak sulit bila ingin mencarinya, sebab di Ampenan ia merupakan satu-satunya perajin gitar.
Di kalangan pemain musik, khususnya anak-anak muda, nama Iwan cukup dikenal. Banyak yang menceritakan kalau Iwan, 40, sebagai pengrajin gitar sangat piawai dan tidak jarang memuaskan konsumennya. Bukan hanya jenis akustik, tapi ia juga yakin mampu meniru gitar Fender atau Gibson yang harganya Rp 25 juta-an menjadi cuma sekitar Rp 2 juta.
”Gitar grup band saya pakai juga made in  Iwan, Mas. Termasuk alat-alat perkusi lainnya,” cerita Nanang, pemegang gitar dari grup band yang markasnya di Pejeruk, Mataram. Pendeknya, kemampuan Iwan dalam membuat dan mereparasi gitar tak diragukan lagi. Kabarnya bukan hanya pemusik NTB yang memanfaatkan jasanya, gitaris dari Bali dan Surabaya pun sering datang memesan gitar.
Karena keahliannya itulah membuat Iwan pada tahun 2003 bertemu Iwan Fals, sang idola anak muda. Bukan sekedar bertemu, tapi Iwan sengaja bertandang ke rumahnya. Tentu saja ia bangga bukan kepalang. Tapi ia lebih bangga lagi karena bukan hanya Iwan Fals yang menginjakkan kaki di lorong kampungnya yang padat, tapi cerita kepiawaiannya ternyata sampai ke telinga salah seorang personil Slank, Kaka.
”Keduanya sempat mencoba gitar saya, mereka sangat memuji,” cerita Iwan di rumahnya.
Kesukaannya membuat gitar diakuinya muncul saat ia masih sekolah dasar. Ketika itu ia drop-out dari sekolah karena ibunya tak mampu membiayai. Sang ayah sudah tak lagi bersamanya sejak ia berumur 13 tahun. Putus sekolah sempat membuatnya limbung karena tak punya pekerjaan.
Tapi siapa nyana, dari kondisi sulit itu justru kreativitas seninya muncul. Ia teringat kepiawaian ayahnya, H Munirah yang semasa hidup dikenal sebagai pemain keroncong dari Kampung Melayu, Ampenan. Ayahnya yang asal Palembang itu juga ahli membuat gitar.
”Ayah saya selain sebagai pemain keroncong juga pembuat gitar,” tuturnya. Dan dari ayahnya itu ia  mulai belajar sendiri menciptakan gitar. Ayahnya saat itu mengatakan, kalau Iwan dianggap punya bakat tersembunyi dalam hal membuat alat musik.
Keberhasilannya membuat gitar itu, akhirnya ia sadar akan bakat seni yang mengalir di tubuhnya. Sejak saat itu ia mulai menekuni pekerjaannya sebagai perajin berbagai alat musik, mulai dari biola, gambus, cello, gendang, bongo, dan lain-lain. Dan sekarang, orang boleh pilih mau memesan alat musik apa saja yang diinginkan.
Tapi membuat gitar bagi Iwan memang spesial, dan paling sering dipesan orang. Baik yang jenis akuistik maupun gitar listrik. Dan keahliannya membuat gitar ini yang membuatnya dikenal banyak pemusik. Entah untuk sekedar ingin punya gitar baru atau mereparasi gitar mereka yang rusak.
Sampai sekarang, ia mengaku sudah ribuan gitar hasil kreasinya beredar di tangan para pemusik. Gitar buatan Iwan, mempunya ciri khas tersendiri yang tidak bisa ditandingi oleh orang lain. Misalnya dalam membuat alat musik gambus atau biola, ia mampu membedakan rasa bunyi bahan dari kayu jati atau mahoni.
Iwan mengaku bisa membuat segala macam gitar. Mulai gitar bolong sampai gitar listrik (electric). Bahkan, membuat gitar listrik itu lebih gampang dibandingkan gitar bolong. Paling lama ia butuh waktu dua hari, sedangkan gitar bolong butuh sampai empat hari.
Ia mengaku tidak kesulitan meniru berbagai model merk gitar terkenal seperti Fender, Gibson, maupun Ibanez. Di dinding rumahnya ditempelkannya berbagai model gitar yang  trendy di seluruh dunia. Ia juga mengoleksi majalah gitar dunia. Itu memudahkan orang untuk memesan gitar model apa yang diinginkan.
Bagaimana kalau si pemesan menginginkan model yang sama persis seperti yang ada di majalah itu? “Ya nggak masalah, akan saya buatkan persis seperti itu,” tegas Iwan. Dari keterangannya, membuat gitar model apa pun sekarang sangat mudah. Asesoris gitar seperti fret, dryer, stratocaster, dan lain sebagainya sudah banyak dijual di toko-toko alat musik.
Dulu, demikian Iwan, semua asesoris gitar harus dibuat sendiri. Ia mencontohkan untuk membuat fret yang sangat menentukan tinggi-rendah nada, ia harus memotong besi baja yang kemudian dihaluskan sendiri.
”Dulu sakit cara orang membuat gitar.  Sekarang enak, tinggal memotong  kayu sesuai model, sedang asesoris lainnya yang dari besi sudah bisa dibeli. Saya membuat gitar dengan alat-alat pertukangan biasa,” katanya. Alat-alat pertukangan seperti serut, pahat, bor, pisau, tang, dan gergaji. Dengan selembar triplek, tentu dengan bahan-bahan gitar yang dibeli di toko seperti dryer, senar atau pin dan asesoris lainnya, Iwan bisa menghasilkan delapan buah gitar.
Soal pasar, menurut Iwan, tak masalah. Kalau hasil produksinya tak bisa menembus Jawa, ia masih bisa memasarkan ke daerah timur, seperti Sumbawa sampai NTT. Dengan harga gitar Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu, alatnya dijamin berkualitas. Anak-anak muda yang sering bermimpi punya gitar listrik yang canggih tapi tak  terjangkau harganya, ia bisa mencarikan jalan keluarnya.
Sebenarnya, sebagai perajin alat musik khususnya gitar, Iwan tak sendiri. Ada juga anak muda lain, Herry yang tinggal di rumah kost di samping Pasar Kebon Roek, Ampenan. Tapi cerita soal Herry, awalnya hanyalah tukang kayu yang karena berteman dengan banyak pemain musik membuatnya coba-coba membuat gitar.
Menurut beberapa orang, sebagai tukang kayu ia memang pandai membuat beragam bentuk alat musik. Ketelitian dan model gitar ciptaannya bagus, tapi soal suara justru sering mengecewakan. Saat ditemui RAKYAT, Herry yang pernah merantau ke Jakarta itu bercerita kalau pernah membuat gitar pesanan salah seorang pemain gitar andal di Jakarta, Totok Tewel.
***

Di samping Iwan juga ada nama lain seperti Soependhy, di Desa Sandik, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat. Soependhy, 44, juga mengaku keahliannya itu sebagai warisan ayahnya, H Sufi’i, seorang pemain keroncong terkenal yang memimpin orkes keroncong Irama Masa. Sekitar tahun 60 hingga 70-an orkes keroncong itu memang sangat dikenal di Lombok.
Karena pemain musik, maka pekerjaan membuat alat-alat musik itu dianggap Soependhy hanya untuk senang-senang. Ketika ditemui di rumahnya, ia mengaku lebih senang membuat biola. Sementara untuk membuat gitar, meski ia menerima pesanan namun membuat gitar tak membuatnya benar-benar bersemangat.
”Ayah saya juga pembuat biola, mungkin saya lebih cocok kalau menerima pesanan biola,” tutur Soependhy yang mengaku meniti bakat membuat alat musik sejak muda. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) ia sudah mampu membuat biola. Bahkan, menurut cerita istrinya, sekolahnya dibiayai dengan menjual alat-alat musik buatannya sendiri.
Tapi karena Soependhy berstatus PNS, keterampilannya membuat alat musik betul-betul dianggap sebagai sampingan. Karena itu, soal harga alat-alat musik itu paling bisa diajak berdamai.
Awalnya Soephendy hanya iseng-iseng membantu ayahnya ngampelas kemudian mengecat biola. Karena terus menerus mengamati kerja ayahnya, akhirnya ia mulai berani membuat biola sendiri. Ternyata hasilnya cukup bagus dan laku dijual. Bahkan ketika di SLTA, ia sudah bisa membiayai sendiri uang sekolahnya dengan menjual biola-biola itu.
Setelah biola, perlahan ia  juga mulai membuat alat musik lain seperti cello maupun gitar. Tapi sampai sekarang  yang begitu ia gemari adalah membuat biola. Baginya, biola membutuhkan keahlian tersendiri. ”Bila salah sedikit saja menghaluskan kayu harus ulang dari awal,” jelasnya. Berbeda dengan gitar katanya, yang walaupun salah tetap bisa dilanjutkan.(Tim TABLOID RAKYAT)



Keluh-Kesah Sang Perajin


                Meski mempunyai keahlian bernilai tinggi, Iwan mengaku secara ekonomi masih hidup susah. Hasil dari kerja membuat gitar masih belum bisa menjamin kebutuhan hidup bersama seorang istri dan dua orang anak gadisnya. Untuk menutupi kebutuhan yang terus mendesak ia sering mengerjakan hal-hal lain selain membuat alat musik, seperti menjahit atau membuat pakaian. Selain itu bila ada yang meminta, mengganti selimut sofa pun sering  ia kerjakan.
Namun terkadang kalau kedua pekerjaan sampingan itu pun sepi ia mengisi waktu dengan melukis. Berbagai model lukisan ia bisa selesaikan. Pokoknya bisa kerja.
”Sebenarnya bisa lebih produktif kalau ada modal,” ceritanya. Tapi Iwan tak punya apa-apa untuk membuat setok alat-alat musik. Padahal kalau bisa memproduksi banyak, ia bisa memasarkan ke toko-toko. Karenanya, ia mengharapkan bisa ketemu ”bapak angkat” yang mengangkatnya sebagai pengusaha alat-alat musik.
 Kendala modal, katanya, membuatnya sulit berkembang. Hasil dari penjualan gitar sering habis untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Sehingga modal yang memang sudah minim itu pun tidak bisa untuk modal pembuatan gitar selanjutnya.
Selama ini promosi yang dilakukan cenderung dari mulut ke mulut pemusik. Para pemusik saling bercerita soal kemampuannya membuat dan mereparasi gitar. Karena itu produksi gitarnya bisa dibilang masih seret. Para pemesan datang cenderung hanya untuk dipakai sendiri. Bukan untuk diborong kemudian dipasarkan lagi. Maka ia mengaku tidak pernah mendapat order besar. ”Paling banter orang yang datang memesan hanya maksimal sampai dua buah saja,” ujarnya.
Keluhan Iwan juga sebenarnya dialami Soependhy. Dua orang seniman alat musik itu mengaku soal pemasaran yang mandek membuat kreativitasnya ikut-ikutan mandek. Rata-rata keduanya masih mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Soependhy misalnya hanya mengandalkan pemasaran pada grup-grup musik yang ada di kawasan wisata seperti Senggigi maupun Gili. Ditambah lagi beberapa grup musik keroncong yang ada di berbagai daerah seperti Praya dan Selong.
Seretnya penjualan alat musik hasil buatan mereka juga tidak lepas dari lesunya kondisi pariwisata saat ini. Seperti diceritakan Soependhy, dulu ketika pariwisata masih ramai pemesanan biola seolah tak pernah berhenti. Setiap bulannya selalu saja ada orang yang datang minta dibuatkan biola. Tapi setelah adanya kerusuhan ’171’ di Mataram, kemudian ledakan bom di Bali, pesanan mulai sepi. ”Saat ini pun kondisi pesanan masih sepi,” ungkapnya.
Soal pemasaran sebenarnya Iwan lebih maju sedikit. Selain melayani pemusik-pemusik dari daerah lain seperti Surabaya, Bali, Sumbawa dan Bima, Iwan juga memasok ke toko-toko musik di Mataram. Untuk satu buah gitar bolong karya Iwan di toko itu berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu. Sedangkan gitar listrik katanya bisa mencapai Rp 2 juta lebih.
Sedangkan gitar listrik yang meniru merek-merek gitar luar negeri seperti Fender atau Gibson yang harga aslinya mencapai Rp 25 juta, ia hanya menjual Rp 2,5 juta. ”Ya pokoknya kalau model luar patokannya dua setengahan jutalah,” katanya.
Untuk menyelesaikan satu gitar bolong, sebenarnya Iwan tidak butuh modal  banyak. Seperti dicontohkannya, satu lembar tripleks cukup untuk membuat sampai delapan gitar. Bisa dibayangkan dari sisi bisnis tentu sangat menguntungkan, selisih biaya produksi dengan nilai jual sangat besar. Tapi Iwan menolak dianggap memasang harga terlalu tinggi untuk gitarnya.
Menurutnya bukan nilai kayu gitarnya yang dibeli tapi proses pembuatannya yang membutuhkan konsentrasi dan kreativitas seni yang tinggi.



Kisah-kisah Gitar


Dari sekian alat musik mungkin gitar bisa dibilang paling  fenomenal. Masih ingat apa yang dialami grup musik rock, Guns N Roses beberapa waktu lalu. Saat itu mereka harus kehilangan Slash, sang gitaris. Ketiadaan Slash yang mempunyai permainan gitar yang memukau membuat mereka patah semangat.

Mereka sampai melakukan tur musik keliling Amerika mencari gitaris yang cocok menggantikannya. Setiap kota tempat mereka menggelar konser, gitaris baru pun muncul dan mencoba namun selalu tak pernah memuaskan.
Sekelumit pengalaman grup musik rock pemilik lagu November Rain itu setidaknya membuktikan ’daya magis’ dan keunikan alat musik yang bernama gitar. Kalau kita bandingkan dengan alat musik lain semisal drum, piano, bass, biola, bahkan seruling yang dikatakan turunan leluhur kita tak bisa menyamai kepopuleran alat musik bersenar enam itu. Gitar tak mengenal strata sosial. Gitar bisa dimiliki oleh siapa pun entah itu pengamen, atau kolektor barang mewah di kelas elite mana pun. Di pelosok-pelosok bisa kita temui orang menenteng gitar dan menyanyikan sebuah lagu dengan syahdu. Sementara di belahan sosial yang lain pun para superstar bisa panen popularitas dengan kelihaian memainkannya.
Sebut misalnya ikon musik rock, Jimmy Hendrix, yang  Agustus lalu terpilih sebagai ’Gitaris Terbaik Sepanjang Masa’ hasil jajak pendapat majalah Inggris, Total Guitar. Jajak pendapat ini diselenggarakan dalam rangka peringatan penerbitan ke-100 majalah tersebut dalam edisi 5 Agustus 2003.
Hendrix yang asal Amerika Serikat (AS) dianggap layak menyandang gelar terbaik. Aksi panggung dan raungan gitar elektrik Fender Stratocaster kesayangannya membuat semua orang mengenal dan mengaguminya. Tidak jarang, Hendrix yang kidal itu memainkan gitar dengan gigi-giginya, bahkan menyuguhkan aksi seperti sedang berhubungan seksual dengan gitarnya.
Sementara gitaris Inggris pendiri Led Zeppelin, Jimmy Page, berada di urutan kedua. Page merupakan satu-satunya gitaris yang mampu memaksimalkan permainan dengan gitar double neck dalam konser-konser Led Zeppelin. Kemampuannya menyulap gitar akustik juga sulit tertandingi.
Itulah gitar, walaupun dikenal dan dimainkan secara massal, tak banyak yang mampu menundukkannya. Banyak orang justru hanya mampu memainkan sesuai rumus-rumus bakunya, tapi tak bisa menjamin sebagai maestro.
Untuk hal ini mungkin Iwan Gomanthi benar. Pembuat gitar dari Kampung Melayu, Ampenan ini tetap ngotot dengan pendiriannya. Membuat gitar tak melulu mengandalkan kemampuan menyambung sekian potongan kayu dan tripleks menjadi sebentuk gitar. ”Kalau sekedar itu, jadi gitar tapi tak bersuara seperti gitar,” kata Iwan. (Tim TABLOID RAKYAT)


sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 20/Tahun II/16-31 Maret 2004

11 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Wah, pak iwan tetangga saya ini memang pengrajin gitar yang patut dijadikan inspirasi..

    BalasHapus
  3. Lokasi nya bang ? Mau perbaiki gitar? Tolong do kirim lokasi /alamt . Ke no 085238077561

    BalasHapus
  4. Lokasinya dimna pak iwan ,sya mau prbaiki gtar jga...

    BalasHapus
  5. Kk alamat nya di mana, sy mau perbaiki gitar kak

    BalasHapus
  6. Knapa gag di posting proses pembuatan gitarnya di youtube

    BalasHapus
  7. Kita salut dan beri apresiasi buat Iwan yang kreatif, inovatif dam inspiratif...

    BalasHapus
  8. Minta alamatnya boss, mau servis

    BalasHapus