Translate

Jumat, 29 Mei 2015

Cerita dari Kampung Arab Ampenan



Anak muda di kampung Arab Ampenan-Lombok jangan diajak bicara Bahasa Arab. Pasti mereka gelagapan, karena keluarganya tak mengajarkan berbahasa Arab. Tentu beda dengan anak-anak Tionghoa yang memang lebih ciamik berhitung dagang dengan bahasa leluhurnya. Paling banter, anak muda Arab-Ampenan bisa mengucapkan ana, ente, walid, rejak, serap, doh, kul, sohib, dohan, harem, zen atau kata-kata pupuler dalam bahasa pergaulan masyarakat Ampenan.

Dalam keluarga keturunan Arab di Ampenan, memang tak disiapkan ”menjadi orang Arab”. Orang-orang  Arab yang datang ke Indonesia, yang akhirnya juga menyebar sampai ke Lombok, hanya membawa agama bukan kebudayaannya. Karenanya, para pendatang dari Timur Tengah itu lebih mudah melebur dengan penduduk setempat. Mungkin karena kesamaan sebagai pemeluk Islam, kedatangan orang Arab di Lombok disambut hangat. ”Dalam sejarah nggak ada orang Sasak anti Arab,” kata anak muda di kampung Arab dengan berkelakar...............................

Lombok Khas: Bukan Perempuan Biasa


Kerja fisik tak sepenuhnya monopoli laki-laki. 
Tengoklah keseharian buruh pengangkut bahan material bangunan yang biasa terlihat di Lombok Barat. Dibalik penampilannya sebagai perempuan lugu –umumnya perempuan desa—mereka adalah perempuan dengan kekuatan ekstra. Mengangkut pasir di tengah terik atau hujan, bukan soal. Diantara mereka termasuk adalah ibu rumah tangga dengan segudang anak.  Pasir, kerikil, batu bata,  adalah teman keseharian mereka. Seperti tentara, perempuan-perempuan itu berdiri di atas truk-truk yang melaju kencang membawa mereka ke lokasi proyek..................................

Kamis, 28 Mei 2015

LOMBOK UNDERCOVER: DIMANA HINGGAPNYA KUPU-KUPU MALAM



SELAMA MASIH ADA MALAM, KEMAKSIATAN TAK MUNGKIN DI-STOP. Itu diucapkan laki-laki muda yang wajahnya cakep mirip bintang film India. Ia tampak asyik menyulut dua linting cimeng. Di kamarnya yang sempit yang terletak di sebuah kampung yang padat dan kumuh, hanya tiga kilo dari Cakranegara. Ia berjanji membawa mahasiswi atau pelajar SMU. ”Bila perlu ia bawa buku raportnya,” katanya meyakinkan sambil tertawa keras. Ia tak bohong. Tak berapa lama dua perempuan muda berkulit putih, umurnya sekitar 19 tahun, masuk ke kamar. Keduanya tampak akrab dengan ruangan itu. Untuk basa-basi salah seorang ikut nyimeng. Tapi tak lama karena ia mengaku kurang suka. Menurutnya, cimeng membuat lamban bergerak. Keduanya mengaku lebih terbiasa sarapan bubur (sabu-sabu).


Singkat cerita, laki-laki muda itu mulai bicara bisnis. Pertama-tama, ia minta beli satu pahe (paket hemat) sabu-sabu yang harganya Rp 100 ribu. Katanya, ada hotel di Mataram yang tarifnya Rp 120 ribu semalam. ”Kasih aja dia Rp 150 ribu, cukup. Mau short time mau sampai pagi, tancap aja. Ini tarif teman,” kata laki-laki itu berbisik....................................

Membumikan Partisipasi di Lombok melalui Simpul Alternatif Partisipasi

Dari Berugaq sampai  Gerdu


 Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mereka  berpartisipasi dalam proses penyusunan  kebijakan publik, dan menjamin proses partisipasi yang lebih efektif bagi kepentingan masyarakat, maka perlu dikembangkan inovasi-inovasi baru  untuk meningkatkan kualitas partisipasi. 

Salah satu inovasi yang ingin dimajukan adalah bagaimana membangun partisipasi yang tidak berjarak dari kehidupan sosial masyarakat. Untuk melakukannya, perlu menemu-kenali locus-locus praktek sosial yang akrab dengan praktek kehidupan sosial  masyarakat yang dapat menjadi simpul/media alternatif untuk memperdalam kualitas partisipasi. Selain merupakan upaya untuk mendekatkan partisipasi dengan konteks sosial-budaya masyarakat, locus-locus praktek sosial ini juga diharapkan dapat menjadi arena transaksi baru bagi masyarakat terhadap pemerintah untuk menegosiasikan kepentingan-kepentingannya, yang sulit terakomodir melalui mekanisme partisipasi lainnya yang selama ini telah terbukti tidak efektif.

Perajin Gitar dari Ampenan Lombok



Bagi para pemain musik lokal, membeli beberapa alat musik murah bukanlah perkara sulit. Di Lombok, ada perajin gitar bolong (akustik) hingga gitar listrik, cello, gambus atau biola. Banyak juga jenis alat musik lainnya  yang bisa diproduksi perajin lokal. Para perajin itu menjamin, soal kualitas bunyi atau nada –bahkan daya tahan alat-alat musik itu—tak kalah dengan buatan Surabaya atau Solo. “Kita hanya kalah penampilan luar,” kata Soephendy, perajin biola yang tinggal di Sandik, Gunung Sari. Bagaimana cerita tumbuhnya para perajin alat musik ini dan cara mereka memasarkan produknya?.....................................

Rabu, 27 Mei 2015

Lombok Khas: Berburu Si Rom, Sandang Bagus dan Merakyat



Kantong pas-pasan tapi ingin pakaian berkelas seperti Levi’s, Calvin Klein atau Lea? Jangan khawatir. Di Pasar Karang Sukun-Mataram, ada jaket, celana pendek atau panjang, hem, kaos, pakaian hangat, mungkin juga blus yang bagus. Soal harga, tentu jauh dibawah konter atau pusat pertokoan di Cakranegara. Anda juga bisa mencoba korden, bedcover atau permadani buatan luar negeri. Pakaian (bekas) impor seperti menjawab kebutuhan tampil ”wah” sementara ekonomi tak kunjung membaik. Bagaimana pakaian rombengan atau ada yang menyebut ”Si Rom” bisa sampai ke Lombok?............................................

HIKAYAT SI NASI BALAP LOMBOK

 Dari Karang Tapen sampai Otak Desa

Suara kering bel sepeda ontel para penjual keliling nasi balap seperti berpacu dengan geliat pagi di Kota Mataram. Di sejumlah warung pinggir jalan, di sekolah, dekat kampus, kantor pemerintah, bungkusan nasi balap yang biasanya disiapkan sambal tomat, menanti minat sarapan pagi. Semula nasi balap memang beredar di pagi hari. Nasi balap bermenu sederhana : beberapa cuil daging, ati, tempe iris, sedikit sayuran, kadang-kadang ada juga kelapa goreng, dan tentu saja sambal tomatnya itu loh. 

Belakangan, penjual nasi balap ini kian mudah ditemui di sudut-sudut kota. Sejumlah pasar kaget bermunculan. Konsumennya beragam. Dari yang bersandal jepit, mahasiswa, dosen, hingga yang bermobil pun kerap ditemui antre mengerumuni si penjual nasi balap di pinggir jalan. Para penjual nasi balap itu mulai yang bersepeda ontel hingga di kios dan warung pinggir jalan, menjawab hidup yang kian mahal. Ikuti laporan wartawan RAKYAT,  yang beberapa pekan keluar masuk kampung mengintip aktivitas mereka.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Buang Au, Dimensi Sakralitas Tradisi Orang Sasak

Tradisi Buang Au atau membuang abu merupakan salah satu khazanah kebudayaan lokal turun temurun khas orang Sasak, etnis mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Buang Au adalah istilah yang digunakan oleh orang Sasak untuk menyebut upacara kelahiran bayi, seminggu setelah selesainya proses persalinan oleh seorang dukun beranak (balian). Upacara yang secara harfiah berarti membuang abu ini dilakukan setelah seorang balian yang menurut tradisinya selalu membakar arang yang kemudian ditaruhnya dibawah ranjang bayi. Tradisi membakar arang pasca persalinan ini dimaksudkan agar tubuh si jabang bayi merasakan kehangatan. Dalam upacara itu, seminggu setelah arang dibakar dan diletakkan, arang yang telah menjadi abu kemudian diambil dan dibuang. Proses upacara pembuangan abu inilah yang kemudian dikenal dengan tradisi upacara Buang Au.

Jejak Masuknya Islam ke Lombok

Desa Bayan, Lombok Barat, 80 kilometer arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di Indonesia. Yang membedakan adalah adanya bangunan kecil bersahaja dari bambu di desa itu yang menjadi penanda masuknya Islam ke pulau tersebut.

Itulah Masjid Bayan Beleq. Dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga rumah-rumah di desa itu. Dari tepi jalan hanya tampak pagar tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang, kantor tempat pendaftaran pengunjung, dan rumah penjaga situs.

Naskah Kuno KOTARAGAMA Lombok

Naskah kuno Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang berlaku di suatu wilayah. Jika benar penulisan tersebut dilakukan pada tahun 1600 Saka bertepatan dengan tahun 1674 masehi, atau tahun 1642 saka sama dengan tahun 1710 masehi. 
Pada saat yang sama Lombok berada di bawah Pemerintahan Raja Karang Asem yang memerintah pada tahun 1692 -1839 ( sejarah daerah NTB , 1988  hal 51 ) . Secara keseluruhan pada waktu itu  Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda, maka peraturan yang berlaku adalah peraturan Pemerintah Hindia Belanda dan peraturan kerajaan.

Dalam naskah KOTARAGAMA disebutkan bahwa peraturan itu berlaku di Kerajaan Surya Alam. Sang raja adalah seorang ber-agama Islam.

Menelusur Sisa Majapahit di Lombok

Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.

Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu.

Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan komentar-komentarnya.

JEJAK SANG NAGA DI PULAU LOMBOK



Mungkin sedikit yang tahu, kalau judi sabung ayam atau “gocekan” itu berasal dari nama  orang Tionghoa. Kisah ini terjadi saat Belanda mulai menguasai Pulau Lombok setelah tahun 1895. Setiap hari Sabtu sore, di rumah jabatan Asisten Residen Lombok (lokasinya di Kantor Gubenur sekarang) diadakan pertunjukan musik yang ditonton noni-noni Belanda atau Belanda Indo. Sementara itu di salah satu sudut perkampungan Bali di Cakranegara, juga tiap sabtu sore berlangsung sabung ayam. Di arena judi itu ada orang Tionghoa yang dikenal sebagai penyabung ayam ulung, namanya Goh Tgek Ang. Konon, karena ia selalu menang akhirnya namanya dijadikan sebutan ”gocekan” (di Bali judi sabung ayam itu dinamakan metajen).------------


Belum ada yang tahu persis sejak kapan orang-orang Tionghoa, para ”pencari untung” yang ulet itu, bermukim di Lombok. Ada yang mengatakan saat Kerajaan Karang Asem Bali mulai mengusai Lombok pada abad 18, namun ada juga yang menduga jauh sebelum itu. Sayangnya tidak ada catatan tentang ini. Dari manakah orang-orang  Tionghoa (selanjutnya di sebut Tionghoa saja) yang akhirnya turun temurun tinggal di Pulau Lombok sampai sekarang?

Lombok Khas: Dukun Suksesi Para Politisi

Paranormal atau –banyak diantara mereka—yang lebih populer disebut dukun, sudah diketahui berperan memuluskan jalan seseorang untuk naik pangkat. Dari pegawai atau karyawan biasa, naik menduduki jabatan eselon. Kalau sudah menduduki eselon, ingin naik ke eselon lebih tinggi. Atau setidaknya, ditengah situasi yang tak menentu, banyak diantara para pejabat yang minta ‘perlindungan’ dukun agar posisi jabatannya (di pos yang basah) tidak digeser.
Banyak cerita tentang para pejabat –termasuk di Lombok—yang mendatangi dukun sebagai jalan pintas untuk berbagai kepentingan. Cerita itu tentu saja bukan gosip. Salah seorang calon presiden partai baru yang perolehan suaranya tiba-tiba melejit pada Pemilu 2004, termasuk yang dekat dengan paranormal.
Paranormal di Lombok jangan dianggap enteng. Sebagian diantara mereka ada juga yang  pernah menjadi langganan Keluarga Cendana saat masih berkuasa. Waktu Orde Baru masih jaya, paranormal dari Lombok Timur itu dalam setahun bisa beberapa kali masuk ke Istana Negara untuk ’menasehati’ Pak Harto. Di Lombok sendiri, para pejabat yang mendatanginya juga sering ’dimandikan’. Tujuannya macam-macam, tapi yang sering tentu berhubungan dengan langgengnya posisi yang sedang didudukinya.  Atau kalau mengincar posisi yang lebih tinggi, juga datang minta untuk dimandikan.
Orang-orang yang mendatangi dan minta bantuan paranormal sering berkilah, upaya yang dilakukannya tak ada hubungannya dengan syirik. ”Kalau kita ke paranormal kan cuma ikhtiar. Kita tetap percaya yang bisa menentukan segalanya hanya Tuhan,” ungkap salah seorang pejabat.------------

Reparasi Tulang dari Leneng




 Mereka bukan montir yang bisa mereparasi kendaraan bermotor. Tapi keahliannya menyembuhkan tulang retak, tulang patah, bahkan tulang bengkok menjadi pulih seperti sediakala, tak ubahnya seorang montir. Mulanya mereka menjadi tumpuan kalangan kelas bawah atau masyarakat miskin yang tak mampu ke dokter spesialis tulang. Belakangan, orang-orang kelas berduit juga meminta mereka mereparasi tulangnya. Uniknya, mereka tidak mematok bayaran..............


Lalu Erwan, 24, punya rekor panjang soal patah tulang. Baru berusia tiga tahun, tangan kanannya patah. Waktu itu ia jatuh terguling dari jalan yang agak curam. Menjelang usia tujuh tahun, giliran tangan kirinya patah karena terjatuh dari ayunan. Seakan belum cukup, saat usianya menginjak 12 tahun tulang engkel kaki kirinya kembali patah setelah jatuh dari pohon kenari. Terakhir, tulang paha kanannya patah karena jatuh dari pohon randu saat ia duduk di kelas 2 SMU.
“Tak heran, kawanku menduga badanku yang ringkih begini karena sering mengalami patah tulang,” kata Erwan.
Cerita masa kecil itu sempat membuat orangtuanya nyaris putus asa. Betapa tidak, akibat rekor panjang patah tulang itu, orangtuanya khawatir tubuhnya jadi tak sempurna. Sebab ayah pemuda lulusan FKIP Unram ini, Lalu Kahar, tak sekali pun membawa anaknya ke dokter spesialis patah tulang.
Lalu kemana?
Tiap kali anaknya mengalami patah tulang, ia tinggal membawanya ke dukun patah tulang di Leneng, desa kecil di Kecamatan Praya, Lombok Tengah yang hingga kini dikenal menjadi alternatif pengobatan penderita patah tulang.

Kisah “Jamal” Antara Cek dan Cok

JAMAL, istilah yang popular di Pulau Lombok. Ceritanya sepanjang riwayat tenaga kerja Indonesia,  atau TKI. Jamal sinonim dari “janda Malaysia” merupakan julukan bagi perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya mengadu nasib sebagai TKI ke Malaysia.  Ada juga yang meledek dengan istilah “JATONG” alias janda sepotong. Terutama bagi yang sudah terlalu lama ditinggal. Maksudnya dari perut ke atas memang masih bersuami (tetap dapat kiriman uang belanja). Tetapi bagian bawah, kenyataannya sudah lama menjadi “janda”, kan. Meskipun uang kiriman dari Malaysia lancar, mereka kadung dipandang suka pacaran lagi.
“Habis yang datang cuma cek, mana cok-nya, kakak,” kata-kata genit itu sering jadi ledekan di Lingkungan Semayan Desa Semayan Kecamatan Praya–Lombok Tengah. Diantara mereka memang ada yang tergoda karena kesepian, manakala suami jauh dari pelukan. Benarkah istri-istri TKI Malaysia tak tahan menahan “haus” dan gampang minta “minum” laki-laki lain?.......................

Menu Ramadhan a la Dayen Peken

Bulan Ramadhan tiba, menahan haus dan lapar di siang hari. Hanya yang berpuasa akan menikmati lezatnya saat-saat berbuka. Berbuka puasa, akan lebih nikmat bila tersedia kue-kue asli Sasak. Siapa pernah menyantap sarimuka, laman, lapis bendera, susun ijo, wajik, kue lobak, klepon, talam nangka, cendul, putu mayang, abuk, putri mandi, poteng dan jaje tujak, dan masih banyak yang lain, akan tahu kayanya seni memasak orang Sasak. Apalagi juga mencicipi  masakan pelecing urap, pelecing ayam, olah-olah, ebatan, sate pusut, opor, rawon gedang, ares, gulai lemak atau reraon. Di halaman pusat perbelanjaan Ampenan Cerah Ceria atau ACC (sekarang Barata) atau di Pasar Kebon Roek di Ampenan, setiap bulan puasa puluhan pedagang menggelar makanan tradisional itu. Pedagang makanan itu, sebagian besar berasal dari kampung Dayen Peken, Ampenan Utara. Hanya sebagian kecil berasal dari kampung Telaga Emas yang lebih dikenal dengan nama Karang Kerem.----------



Jajan dan masakan Sasak pernah berjasa bagi pelukis kondang Lombok, I Wayan Pengsong. Ceritanya, waktu pelukis yang pandai memasarkan karyanya itu kedatangan kolektor lukisan dari Jakarta. Lepas magrib, Pengsong menerima telpon dari Hotel Sheraton Senggigi agar menjemput. ”Saya diajak makan malam dulu,” kisahnya.
Kolektor yang banyak menginvestasi benda-benda seni itu sudah bosan makan dengan menu di hotel. Tapi mau ngajak makan di restoran yang menyuguhkan fast food seperti KFC atau Mc Donald, tentu ditolak. Mau ngajak ke rumah makan yang menyuguhkan ayam taliwang, jangan-jangan nggak cocok. Akhirnya Pengsong berpikir gampang, lebih baik diajak makan di rumahnya.