Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya mereka berpartisipasi dalam
proses penyusunan kebijakan publik, dan
menjamin proses partisipasi yang lebih efektif bagi kepentingan masyarakat,
maka perlu dikembangkan inovasi-inovasi baru
untuk meningkatkan kualitas partisipasi.
Salah satu inovasi yang ingin dimajukan adalah bagaimana membangun partisipasi yang tidak berjarak dari kehidupan sosial masyarakat. Untuk melakukannya, perlu menemu-kenali locus-locus praktek sosial yang akrab dengan praktek kehidupan sosial masyarakat yang dapat menjadi simpul/media alternatif untuk memperdalam kualitas partisipasi. Selain merupakan upaya untuk mendekatkan partisipasi dengan konteks sosial-budaya masyarakat, locus-locus praktek sosial ini juga diharapkan dapat menjadi arena transaksi baru bagi masyarakat terhadap pemerintah untuk menegosiasikan kepentingan-kepentingannya, yang sulit terakomodir melalui mekanisme partisipasi lainnya yang selama ini telah terbukti tidak efektif.
Salah satu inovasi yang ingin dimajukan adalah bagaimana membangun partisipasi yang tidak berjarak dari kehidupan sosial masyarakat. Untuk melakukannya, perlu menemu-kenali locus-locus praktek sosial yang akrab dengan praktek kehidupan sosial masyarakat yang dapat menjadi simpul/media alternatif untuk memperdalam kualitas partisipasi. Selain merupakan upaya untuk mendekatkan partisipasi dengan konteks sosial-budaya masyarakat, locus-locus praktek sosial ini juga diharapkan dapat menjadi arena transaksi baru bagi masyarakat terhadap pemerintah untuk menegosiasikan kepentingan-kepentingannya, yang sulit terakomodir melalui mekanisme partisipasi lainnya yang selama ini telah terbukti tidak efektif.
PENGANTAR
Upaya mendorong tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance/GG)
menyimpan kelemahan fatal sejak awal ketika diterapkan di Indonesia. Konsep
GG mengasumsikan adanya kesetaraan bagi semua pihak untuk terlibat dalam
praktek tata pemerintahan yang baik, baik
itu negara, masyarakat sipil dan sector privat. Masalahnya, di Indonesia,
posisi relative masyarakat sipil baik terhadap negara (state) maupun
sektor privat sangatlah lemah.
Dapat dipahami, jika dalam implementasinya, agenda GG kemudian
berubah arah sekedar menjadi instrument hegemonic bagi negara untuk kembali
melakukan kooptasi terhadap gerakan masyarakat sipil yang mulai tumbuh. Agenda GG
di Indonesia kemudian diterjemahkan sebagai proyek pembenahan yang lebih
dititikberatkan kepada perubahan di sector negara melalui pendekatan reformasi
institusional, dan meninggalkan aspek relasi-kuasa yang tidak setara antara
masyarakat sipil dengan Negara dan Swasta.
Sehingga ketimbang memperoleh gambaran mengenai adanya upaya untuk
semakin meningkatkan swadaya politik Masyarakat dalam relasinya dengan Negara-Swasta,
kita umum menemukan praktek-praktek
melakukan perbaikan system maupun sub-system pemerintahan. Meski dalam
sejumlah konsepsi turunan dan perangkat-perangkat halusnya (tools),
partisipasi masyarakat dalam proses pembenahan diberikan jaminan, namun dalam
implementasinya, agenda pembenahan tersebut akhirnya “seolah” keluar dari
konsep ideal GG itu sendiri. Agenda-agenda itu berjalan kembali
didominasi oleh pemerintah sebagai agen negara.
Tentu saja bukanlah sebuah kebetulan jika agenda yang berjalan
tersebut memang sesuai benar dengan design agenda demokratisasi di lingkup
global yang telah dikembangkan oleh sejumlah pihak yang bisa disebut sebagai
”rezim standarisasi demokrasi”, melalui pendekatan institusional (Institutional
Approach). Dari sisi ini, agenda GG dapat diposisikan sebagai bentuk
tanggapan strategis kelompok liberalis[1]
terhadap tantangan yang muncul akibat kegagalan pendekatan yang mereka ambil
sebelumnya.
Sebagai jawaban atas kondisi itu, selayaknya dimajukan sebuah
tanggapan strategis untuk mencari model lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan
pengembangan demokrasi dan tata-kelola pemerintahan di Indonesia. Sebagai
anti-thesisnya, sebuah agenda tata-kelola pemerintahan yang demokratis harus
didorong. Tata-kelola yang memberi perhatian lebih pada bagaimana agar dalam
implementasinya, masyarakat benar-benar memiliki posisi relatif yang setara
dengan pihak lainnya dalam proses-proses politik (proses pengambilan kebijakan
publik), atau dalam kalimat lain, agenda tata-kelola pemerintahan ini harus
dapat menjadi instrumen yang efektif bagi rakyat untuk memperjuangkan tatanan
sosial yang setara, adil dan demokratis.[2]
Tantangan partisipasi sebagai upaya Meningkatkan Posisi Relatif Rakyat
Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk
mendorong peningkatan posisi relatif masyarakat terhadap negara adalah
partisipasi, atau peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan
kebijakan publik. Melalui pendekatan ini, masyarakat diharapkan dapat terlibat
dalam ikut menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidupnya.
Namun implementasi pendekatan ini bukannya tanpa
masalah, sejumlah tantangan menghadang dalam pelaksanaannya. Setidaknya ada dua
hal yang layak disorot, pertama, praktek dominasi negara selama masa
rezim orde baru dalam ruang-ruang publik telah menghasilkan masyarakat yang
apatis terhadap kepentingan bersama. Kedua, Institusi-institusi dan arena-arena partisipasi yang tersedia
sebagai saluran yang telah mendapat legitimasi kuat dari negara ternyata tidak
cukup efektif (baca: gagal) bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
kebijakan.
Kecenderungan tersebut terlihat misalnya dalam
sistem perencanaan pembangunan yang biasa dikenal sebagai musrenbang
(musyawarah perencanaan pembangunan).
Kecenderungan yang terjadi dalam musrenbang, hanya menempatkan partisipasi
masyarakat sebagai ’input’ semata dan bukan sebagai ’pendekatan’. Dampaknya,
praktek partisipasi sejenis ini semakin meningkatkan apatisme masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Padahal, partisipasi
seharusnya menjadi pendekatan yang melekat pada berbagai proses demokratis yang
bermakna bagi para partisipannya dan melibatkan kepentingan kelompok atau
kepentingan umum.
Di sisi lain, ini juga berarti bahwa instusi dan arena partisipasi
yang tersedia semacam musrenbang
sebenarnya belum dapat digunakan secara efektif oleh masyarakat. Sejauh
ini mekanisme partisipasi yang tersedia belum menyediakan adanya kesetaraan
akses yang aman bagi masyarakat untuk terlibat didalamnya. Jika pun telah hadir
namun kehadirannya hanya untuk memenuhi formalitas/alat legitimasi partisipasi.
Pada titik tertinggi, sejauh pengalaman yang ada pengaruh masyarakat dalam ikut
menentukan kebijakan yang dihasilkan sangatlah minim.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya mereka berpartisipasi dalam
proses penyusunan kebijakan publik, dan
menjamin proses partisipasi yang lebih efektif bagi kepentingan masyarakat,
maka perlu dikembangkan inovasi-inovasi baru
untuk meningkatkan kualitas partisipasi.
MENINGKATKAN KUALITAS PARTISIPASI MELALUI SIMPUL/MEDIA ALTERNATIF DI LOMBOK
Salah satu inovasi yang ingin dimajukan adalah bagaimana membangun partisipasi yang tidak berjarak dari kehidupan sosial masyarakat. Untuk melakukannya, perlu menemu-kenali locus-locus praktek sosial yang akrab dengan praktek kehidupan sosial masyarakat yang dapat menjadi simpul/media alternatif untuk memperdalam kualitas partisipasi. Selain merupakan upaya untuk mendekatkan partisipasi dengan konteks sosial-budaya masyarakat, locus-locus praktek sosial ini juga diharapkan dapat menjadi arena transaksi baru bagi masyarakat terhadap pemerintah untuk menegosiasikan kepentingan-kepentingannya, yang sulit terakomodir melalui mekanisme partisipasi lainnya yang selama ini telah terbukti tidak efektif.
Di masyarakat Sasak (Lombok), sebenarnya dikenal
berbagai locus praktek kehidupan sosial warga-masyarakat, yang apabila dapat
di-manage dengan baik, dapat berperan penting untuk memfasilitasi tujuan
tersebut, misalnya berugaq dan gerdu.
Berugaq
Berugaq (sekepat) adalah sejenis bangunan pendukung bertiang empat, biasanya terletak di bagian depan rumah dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau menyelenggarakan upacara-upacara adat. Dalam tradisi Sasak, berugaq yang ada di depan rumah, disamping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar.[3] Sementara berugaq bertiang empat adalah simbol syariat Islam: Quran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas.[4]
Masih sejenis dengan Berugaq (sekepat), juga
ada sekenem bangunan serupa
berugaq yang bertiang enam, biasanya
berlokasi di bagian belakang rumah dan menjadi tempat melakukan aktivitas rumah
tangga. Namun dalam perkembangannya, penempatan lokasi dan pembedaan fungsi ini tak lagi penting, keduanya lebih
dikenal sebagai berugaq saja, dan sekenem
atau sekepat hanya berkaitan dengan soal berapa jumlah tiang berugaq semata.
Berugaq bentuknya berupa rumah panggung tanpa dinding dan
beralas bambu. Tiang-tiangnya dari kayu dan atapnya dari alang (jerami) yang
ditata rapi.
Dalam kebiasaan kehidupan orang Sasak tidak diperbolehkan (baca: tidak baik) untuk menerima tamu di dalam rumah (bale). Tamu diterima di bangunan yang terpisah dari rumah induk (inan bale), yakni di berugaq. Mungkin ini juga berkaitan dengan arsitektur rumah Sasak yang memang hanya terdiri dari bale dalem, bale luar dan sesangkok (ruang tamu).
Rumah petani biasanya hanya terdiri dari bale dalem dan sesangkok, sementara untuk kalangan menengah keatas, juga ada tambahan bale luar. Bale dalem di rumah petani berfungsi sebagai kamar tidur, tempat menyimpan harta dan tempat tidur anak gadis pemilik rumah. Sementara sesangkok yang dihajatkan fungsinya sebagai ruang tamu justru adalah tempat tidur pemilik rumah. Adanya bale luar di rumah warga kelas menengah, dalam prakteknya justru sekedar untuk memediasi ruang yang lebih luas untuk fungsi-fungsi bale dalem di atas, dan sesangkok masih jadi tempat tidur pemilik rumah.[5]
Namun bisa jadi, apa yang disebut sebagai ”tamu” itulah yang penting, bila dikaitkan dengan sesangkok. Jika ada keluarga yang datang menginap, maka mereka akan diterima dan tidur di ruangan tamu/serambi (sesangkok). Sehingga yang dimaksud sebagai ruang tamu disini adalah ruang untuk ”tamu” yang masih termasuk keluarga atau saudara dekat.[6]
Di daerah-daerah pedesaan di Lombok, kehidupan dimaknai sebagai harmonisasi dan
individualisme belum menguat. Rata-rata rumah tak berpagar, pagar yang ada
adalah pagar yang mengelilingi sebuah kompleks kampung. Warga sekampung
dianggap sebagai bagian dari keluarga besar. Di kompleks-kompleks itu,
rumah-rumah dibangun berhadapan (sistem cermin) dan di depan setiap rumah
tersebut, umum ditemui masing-masing memiliki
berugaq yang memisahkan antara rumah[7].
Di beberapa daerah lainnya posisi rumah justru saling bertolak belakang.[8]
Meski demikian, sebuah kompleks kampung akan mengambil satu pola penataan yang
seragam, menggambarkan keteraturan dan harmonisasi.
Meski milik pribadi, namun berugaq bisa diakses
oleh siapa saja yang masih terhitung warga kampung. Jadi bila seorang warga
duduk di berugaq orang lain, tak ada
pertanyaan ”mau cari siapa”. Berbeda dengan jika ada orang luar kampung yang
datang, maka berugaq berubah fungsi sebagai tempat menerima tamu.
Belakangan ini, di beberapa wilayah dimana
arsitektur rumah sudah berubah dan rumah-rumah mulai dibangun permanen berbahan
semen/batu, fungsi berugaq nampak mengalami perubahan seiring dengan perubahan
cara menerima tamu. Sekarang tamu biasa diterima di dalam rumah (ruang tamu)
yang memang dibuat khusus sebagai bagian dari kontruksi rumah induk, terpisah dari ruang keluarga, kamar tidur,
dapur, dll. Berugaq menjadi sekedar zone antara sebelum tamu bertemu tuan rumah
di dalam rumah induk.
Akibatnya yang terjadi, di beberapa daerah pedesaan, berugaq sekarang mulai beralih fungsi sebagai tempat duduk-duduk, istirahat dan tempat berkumpul (begibung) pemilik rumah dan/ atau warga kampung lainnya. Kadang-kadang berugaq dimanfaatkan sebagai tempat bermusyawarah (rembug) warga untuk mencari solusi atas masalah bersama warga.
Di daerah yang cenderung sudah berkarakter perkotaan, berugaq sekarang menjadi sekedar ornamen penghias pekarangan saja, sekaligus menjadi simbol status sosial seseorang. Kualitas bahan, nilai estetika ukirannya, dan luas/sempitnya berugaq bisa menjadi ukuran status sosial pemiliknya.
Gerdu atau Gardu/Pos Kamling
Awalnya, Gerdu (bahasa Sasak) atau Gardu/Pos Kamling dalam bahasa Indonesia, dibangun sebagai bagian dari program Siskamling yang diintrodusir oleh rezim Orde Baru dalam konsep hegemonik yang diberi nama Sishankamrata (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta). Gerdu ini biasanya ditempatkan di lokasi-lokasi strategis di tingkat RT.
Siskamling atau Sistem Keamanan Lingkungan pada dasarnya adalah bentuk praktek militerisasi melalui pendekatan struktur[9], yang dilakukan rezim Orde Baru mulai dari level atas hingga ke level bawah. Di level desa, militerisasi terlihat ketika semua elemen masyarakat lokal dilibatkan dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan di wilayah masing-masing di bawah "pembinaan" polisi dan tentara, melalui pembentukan Babinsa, Binkantibmas, Hansip, Kamra maupun sikamling. Intervensi ini telah membentuk pola hubungan antara masyarakat dan militer/polisi di dalam mengelola masalah keamanan, dan pola ketergantungan masyarakat terhadap militer/polisi di bidang keamanan dan politik serta ekonomi.
Di sini tentara dan polisi menjadi banyak terlibat dalam menangani masalah keamanan di desa. Dalam kesadaran semu warga masyarakat, tentara dan poIisi tidak berbeda jenis profesinya, tetapi hanya berbeda tingkat. PoIisi menangani masalah keamanan yang bersifat mikro misalnya masalah kriminal kecil, sedangkan tentara menangani keamanan yang bersifat makro, misalnya keributan massa yang dapat membahayakan stabilitas sosial-poIitik di desa. Polsek kerap melakukan pembinaan terhadap siskamling untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan warga di bidang keamanan. Adapun, Koramil dan Babinsa banyak berurusan dengan upaya mewaspadai kelompok yang membahayakan negara seperti para bekas anggota PKI.[10]
Pembinaan militer/tentara terhadap warga desa dalam menangani keamanan berdampak pada melemahnya otonomi mereka dalam menangani masalah yang dapat diselesaikan dalam level komunitas. Tentara atau poIisi mempunyai kecenderungan untuk membawa setiap penyelesaian masalah keamanan dengan melibatkan mereka, padahal secara adat, masalah itu dapat diselesaikan oleh lembaga komunitas melalui forum musyawarah damai.
Belakangan ini kontrol tentara dan terutama
polisi disadari oleh masyarakat sebagai suatu bentuk eksploitasi karena biaya
penyelesaian menjadi mahal dan berlarut-larut. Oleh karena itu, masyarakat
lebih suka menggunakan institusi lokal seperti lembaga RT, dukuh atau desa
untuk menyelesaikan konflik internal antar warga. Pilihan ini diambil lebih
dahulu dan jika gagal maka baru diserahkan kepada polisi atau militer. Lembaga
komunitas itu dipilih karena didasarkan pada pengalaman bahwa kalau masalah itu
dibawa ke militer/polisi maka pihak-pihak yang bersengketa justru menanggung
biaya sosial dan ekonomi yang besar.
Secara historis, keberadaan Siskamling sebenarnya dapat ditelusuri hampir sejajar dengan munculnya RT (rukun tetangga). Keduanya adalah bentuk strategi mobilisasi dan kontrol terhadap masyarakat, yang diperkenalkan oleh penjajah Jepang di Indonesia, dengan membentuk lembaga semacam Tonarigumi (setara RT, dibentuk Januari 1944) dan Keibodan (organisasi keamanan di tingkat desa, dibentuk April 1943) yang memiliki subdivisi di tingkat dukuh yang disebut han[11].
Oleh rezim Orde baru yang memilih stabilisasi dan pembangunan sebagai jargonnya, pendekatan ini digunakan kembali sebagai instrumen kooptasi negara terhadap kehidupan masyarakat. Khusus untuk Siskamling, sama seperti Jepang, rezim Orde Baru juga membesar-besarkan bahwa Siskamling tersebut sesuai dengan nilai khas Indonesia, gotong-royong (dari bahasa Jawa).
Belakangan, Gerdu hanya sekedar menjadi tempat berkumpul warga khususnya anak-anak muda yang tak punya kesibukan, atau sekedar jadi tempat mampir untuk membangun pergaulan dengan tetangga. Di beberapa tempat, pada pagi hingga siang hari, gerdu dipakai sebagai tempat berjualan oleh ibu-ibu dan malamnya digunakan sebagai tempat bersosialisasi antar-warga. Kegiatan-kegiatan seperti bermain catur, main kartu, umum ditemukan sebagai kegiatan malam hari di gerdu, yang umumnya didominasi oleh laki-laki.
Membandingkan Gerdu dengan Berugaq
Di Gerdu, seseorang datang berkunjung hanya sekedar untuk bersosialisasi dengan teman sebaya atau tetangga tanpa ada rencana (tertentu) yang jelas. Namun, setelah terjadi pertemuan dengan orang lain, pembicaraan ngalor-ngidul, curhat, dll., seringkali muncul pembicaraan mengenai masalah-masalah yang dihadapi, berupa masalah pribadi dan/atau masalah kolektif. Berbeda dengan di Berugaq (dalam fungsinya sebagai tempat menerima tamu), ketika seorang tamu berkunjung pasti ia mempunyai maksud tertentu yang ingin dibincangkan dengan pemilik rumah.
Dari sisi ini ada perbedaan yang mendasar antar-keduanya, jika pertemuan di gerdu bisa dianggap sebagai pertemuan untuk memperoleh keseimbangan gagasan dan pikiran[12] maka pertemuan di berugaq (daerah yang berkarakter perkotaan) sebenarnya merupakan locus transaksi kepentingan. Sementara di daerah yang berkarakter pedesaan dari sisi ini tak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Meski demikian, jika gerdu (baik di pedesaan maupun perkotaan) adalah milik umum dan gampang diakses oleh siapa saja, baik itu warga setempat atau orang lain yang kebetulan lewat dan singgah, berbeda dengan berugaq (di daerah pedesaan) yang merupakan milik pribadi seseorang yang ”disepakati” dapat digunakan oleh orang lain yang masih warga setempat. Sementara di daerah perkotaan, berugaq malah telah kehilangan fungsinya sebagai hanya sekedar ornamen penghias pekarangan rumah dan simbol status sosial pemiliknya.
GAGASAN INOVATIF
Gagasan inovatif yang ingin dimajukan adalah bagaimana menggunakan locus-locus praktek social warga yang telah lama eksis tersebut, dalam hal ini berugaq dan gerdu, sebagai media/simpul untuk memperdalam kualitas partisipasi, namun di sisi lain sekaligus bagaimana membangun media/simpul tersebut untuk ditransformasikan menjadi arena transaksi baru antara rakyat terhadap pemerintah dalam menegosiasikan kepentingannya. Tentu saja, dalam implementasinya harus memperhatikan karakteristik dan varian yang berbeda dari kedua macam locus praktek social warga tersebut.
Upaya ini juga berarti bahwa: 1) Di Gerdu, agenda ini merupakan langkah untuk menggunakan media/simpul yang sebelumnya dimaksudkan sebagai instrumen hegemoni negara beralih menjadi instrumen kontra-hegemoni bagi masyarakat sipil dengan memfungsikannya sebagai media/simpul pemberdayaan warga dan locus transformasi sosial; dan 2) Di Berugaq, agenda ini mencoba menggunakan media/simpul yang selama ini hidup dan mengakar di komunitas warga namun dominan digunakan untuk tempat bersosialisasi menjadi lebih berorientasi pemberdayaan warga dalam lingkup kewarganegaraan.
***
Penulis: Ervyn Kaffah
*Naskah ini dipublikasikan pertama kali pada Juli 2010, dengan judul berbeda: Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Tata-Kelola Pemerintahan Demokratis di Lombok melalui Media/Simpul Alternatif Partisipasi; Sebuah Gagasan Inovatif Mendekatkan Partisipasi dengan Warga.
[1] Karakter khas dari model demokrasi-liberal adalah tidak adanya
hubungan antara demokrasi dan upaya penciptaan kesejahteraan, atau dalam hal ini
masalah kesejahteraan diserahkan kepada mekanisme pasar sesuai hukum penawaran
dan permintaan (supply and demand). Selain itu, indicator demokrasi
diukur hanya berdasar sejauhmana institusi-institusi demokrasi seperti Pemilu
secara teratur (procedural democracy) dan lembaga-lembaga representasi demokratis telah
tersedia (institutional model). Bercermin kepada kasus Indonesia, meski
dalam pengukuran indicator demokrasi global tahun-tahun terakhir Indonesia
selalu menempati rangking level puncak, namun indicator kesejahteraan rakyat
tak kunjung membaik. Ini berarti demokrasi masih dihadapkan pada tantangan
sejauhmana demokrasi dapat bermakna (bekerja dalam praktek) bagi Bangsa-Negara
Indonesia dan sekaligus berujung pada tercapainya kesejahteraan (welfare).
[2] Pernyataan ini sesuai
dengan visi Perkumpulan SOMASI (Solidaritas Masyarakat untuk
Transparansi) NTB, dimana penulis pernah bertugas. Untuk uraian lebih lengkap lihat Ringkasan Profil SOMASI
NTB, last updated May 2010.
[3] Misalnya, ”Kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada warga
yang duduk di berugaq dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang,
dan kebun, mungkin dia sakit"
[4] Lihat misalnya hasil liputan wartawan Kompas-Mataram Khaerul
Anwar seperti termuat dalam http://labulia.blogsome.com/2006/12/10/arsitektur-dan-tata-ruang-rumah-tradisional-sasak-lombok/
diakses: 22 Juni 2010, 00.14 wita.
[5] Lihat juga http://forum.detik.com/showthread.php?t=117912&page=3
diakses: 22 Juni 2010, 01.17 wita.
[6] interpretasi pribadi Ervyn Kaffah
[7] Seperti ditemukan di Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan
Bayan, Lombok Utara
[8] Seperti ditemukan di
Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suwela, Lombok Timur dan di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut,
Lombok Tengah
[9] Selain Pendekatan Struktur dengan
membangun struktur “keamanan” hingga ke level RT (desa), dikenal pula Pendekatan
Dwi-fungsi dengan menempatkan sejumlah pejabat militer (dan polisi—sebelum
polisi dipisahkan dengan tentara) pada sejumlah jabatan sipil.
[10] Lihat hasil Need Assesment IRE Yogyakarta mengenai Praktik-praktik Militerisasi,
sebagai bagian pelaksanaan program "Penguatan Wacana Demiliterisasi dalam
Masyarakat lokal" kerjasama IRE dengan OTI/USAID. Tersedia dalam http://www.ireyogya.org/penelitian.htm Diakses: 21 Juni 2010; 22.49 wita
[11] Diolah dari Aiko
Kurasawa, 1993. Mobilisasi dan Kontrol. Studi tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan Jawa 1942-1945. terjemahan Hermawan
Sulistyo. Jakarta: Penerbit Grasindo.
[12] Sebagaimana
disimpulkan Eko Sb. Haryanto – Pendiri Gerakan Lumbung, menyangkut mode
pertemuan warga di Lumbung (sasak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar