Translate

Rabu, 27 Mei 2015

Naskah Kuno KOTARAGAMA Lombok

Naskah kuno Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang berlaku di suatu wilayah. Jika benar penulisan tersebut dilakukan pada tahun 1600 Saka bertepatan dengan tahun 1674 masehi, atau tahun 1642 saka sama dengan tahun 1710 masehi. 
Pada saat yang sama Lombok berada di bawah Pemerintahan Raja Karang Asem yang memerintah pada tahun 1692 -1839 ( sejarah daerah NTB , 1988  hal 51 ) . Secara keseluruhan pada waktu itu  Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda, maka peraturan yang berlaku adalah peraturan Pemerintah Hindia Belanda dan peraturan kerajaan.

Dalam naskah KOTARAGAMA disebutkan bahwa peraturan itu berlaku di Kerajaan Surya Alam. Sang raja adalah seorang ber-agama Islam.




  I.      PENDAHULUAN

Manusia Indonesia yang memiliki kepribadian yang mantap adalah sosok manusia yang telah memiliki konsep tentang bagimana manusia Indonesia menghadapi tantangan lingkungannya baik fisik(alam) maupun sosial agar dapat bertahan. Konsep-konsep ini tidak lain adalah wujud kebudayaan berupa nilai-nilai. Nenek moyang kita sebenarnya banyak memberikan ajaran tentang jati diri. Ajaran tersebut dapat digali dari naskah-naskah kuno yang jumlahnya sangat banyak tetapi dewasa ini belum banyak dikaji.

Naskah-naskah kuno pada dasarnya merupakan kebudayaan lama yang perlu dikaji dan dilestarikan , terutama yang masih memiliki relevansi dengan perkembangan zaman. Dapat memberikan kekuatan daya tangkal terhadap pengaruh budaya luar yang negatif. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam naskah kuno penting diketahui sehingga lebih memperkaya wawasan kebudayaan kita, yang selanjutnya dapat memperkuat jati diri bangsa Indonesia. Dengan pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai yang tertulis dalam naskah kuno dapat  menjalin saling pengertian di antara suku bangsa yang ada di Indonesia, sehingga dapat menghilangkan sifat etnosentris dan stereotype yang berlebihan dan menghindari prasangka sosial yang buruk.

Berdasarkan laporan hasil Pemetaan Naskah Lontar di Pulau Lombok, Februari s/d September 1993, atas bantuan Ford Foundation, Melalui Proyek Pelestarian Naskah Nusantara Perpustakaan Nasional pada tahun 1993, didapatkan jumlah naskah di Pulau Lombok cukup banyak. Di Museum NTB, terdapat 1250 lebih naskah, yang sempat didata oleh proyek tersebut sejumlah 228, kondisi naskah pada umumnya masih baik.

DATA SEBARAN NASKAH KUNO
YANG TERSEBAR DI MASYARAKAT LOMBOK THN. 1993
NO
LOKASI
JUMLAH
KETERANGAN
1
Mataram
227 buah

2
Gangga. Kec. Gangga Lombok Barat
85  buah

3
Desa Kuranji. Kecamatan Labuapi
28  buah

4
Kecamatan Pujut, Lombok Tengah
166 buah

5
Kecamatan Sakra Timur
126 buah


TOTAL
 632 buah


Masalah yang dihadapi adalah dikarenakan sebagian besar naskah-naskah tersebut merupakan milik perorangan sehingga sulit diakses oleh pihak lain. Anggapan tentang kekeramatan naskah peninggalan nenek moyang tersebut oleh masyarakat membuat sulitnya untuk mendapat keterangan. Umumnya mereka sangat tertutup bahkan untuk melihat naskah saja di syaratkan dilakukan pada hari tertentu dan menyediakan sesaji-sesaji tertentu.

Akibat perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi hubungan antar manusia menjadi meng-global seiring dengan merambahnya ideology kapitalisme dimana-mana. Kondisi kemiskinan menggiurkan beberapa dari masyarakat menjual naskah-naskah kuno sebagai barang antik kepada para wisatawan. Disisi lain peraturan  Undang-Undang No. 5 tahun 1992 , tentang Benda Cagar Budaya yang selanjutnya diturunkan dalam Peraturan Pelaksanaannya yaitu PP no. 10 tahun 1993 telah lahir, namun tidak berjalan dengan efektif.


    II.      KAJIAN ISI NASKAH

A. Isi naskah Lontar Kotaragama :
  1. Menjabarkan tentang sifat seorang Raja, tatalaksana, dan kebajikan nya dalam kepemimpinan serta mengatur kepemerintahan .
  2. Menjabarkan tentang sayarat-syarat dan tata cara raja mengangkat pejabat Kerajaan seperti : penghulu , jaksa, hakim, duta atau utusan.
  3. Menjabarkan tentang sikap dan tingkah laku rakyat terhadap raja, demikian juga sikap raja terhasdap rakyatnya, serta bagaimana seorang raja berlaku adil dan dermawan.
  4. Menjabarkan tentang hukum-hukum dan sangsi baik menyangkut perkara perdata maupun pidana seperti : pencurian, pemerkosaaan, pembunuhan , perjinahan,  perkelahian ,sengketa tanah waris, gadai-menggadai, utang-piutang dan lain sebagainya.

B. Diskripsi Naskah :
  1. Judul Naskah dan artinya : Kotaragama terdiri dari dua kata yaitu Kotara dan  gama. Kotara berarti wilayah dan gama berarti aturan atau hukum,. Jadi kotaragama berarti ; aturan atau hukum yang berlaku di suatu wilayah.
  2. Pemilik Naskah : Amaq Sembah, Mantang, Lombok Tengah
  3. Tempat Naskah : Museum NTB
  4. Nomor Naskah : Regester nomor 1050, inventaris nomor 07.294.
  5. Jenis Naskah : Gancaran (prosa)
  6. Tanggal Penulisan : Buda Kliwon, Wuku Matal, Bulan Sawal, tahun Jimawal, hari Rabu, tanggal 26 Tahun tidak tersebut.
  7. Tempat Penulisan : Tidak Ada
  8. Ukuran Naskah : Panjang ; 50,6 cm, Lebar: 3,2 Cm, Tebal, 4,5 Cm.
  9. Jumlah Lempir : 56 lempir
  10. Jumlah Baris : 4 baris pada setiap lempir
  11. Jenis Aksara: Hurup Jejawan
  12. Panjang Baris : 42 cm
  13. Alas Tulis : Daun lontar
  14. Warna Tinta : Hitam
  15. Cap kertas : Tidak ada, karena bahan yang dipakai adalah daun lontar.


Naskah kuno Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang berlaku di suatu wilayah. Jika benar penulisan terasebut dilakukan pada tahun 1600 Saka bertepatan dengan tahun 1674 masehi, atau tahun 1642 saka sama dengan tahun 1710 masehi. Pada saat yang sama Lombok berada di bawah Pemerintahan Raja Karang Asem yang memerintah pada tahun 1692 -1839 ( sejarah daerah NTB , 1988  hal 51 ) .
Secara keseluruhan pada waktu itu  Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda, maka peraturan yang berlaku adalah peraturan Pemerintah Hindia Belanda dan peraturan kerajaan.

Dalam naskah KOTARAGAMA disebutkan bahwa peraturan itu berlaku di Kerajaan Surya Alam.Sang raja adalah seorang ber-agama Islam. Pada awal tulisan naskah tersebut berbunyi :

“ puniki mawasta Kotaragama, dana puniki caritanira sang perabu hing surya alam, mamarning cinarita, dening sinungan kagungan dening Allah, pan tannana sasamaning ratu, dening hakeh hadillira hing bala, tannana kibirira hing Allah, nitya saha nora kena sariranira, yen rerenan nitya saha tillawatta Qur’an

Artinya : inilah bernama Kotaragama, dan ini cerita sang Raja di Surya Alam, adapun diceritakan , karena sang raja dianugrahkan keagungan oleh Allah . Karena tiada persamaannyan dengan raja-raja lain, sebab sangat adil kepada rakyat, tidak takabur kepada Allah. Senantiasa berdoa agar dirinya tidak terkena aib . Apabila istirahat beliau membaca Alqur’an.

Kerajaan Surya alam kemungkinan adalah kerajaan Selaparang Islam yang hidup pada abad 16 sampai dengan tahun 1740 [1]

Kotaragama ternyata mengandung nilai-nilai penting antara lain adalah nilai kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), berbagai segi kehidupan seperti, perkawinan, hutang piutang, pencurian, gadai , hak dan kewajiban rakyat , perpajakan  dan sebagainya, semua itu mengadung nilai moral dan sangsi hukum jika norma tersebut dilanggar. Hal-hal tersebut yang akan dibicarakan dalam pengkajian ini, karena hal tersebut  kini menjadi  issue pokok dalam pembangunan bangsa dan pembangunan dunia.  Kebijakan pemerintah dalam upaya menyejahterakan masyarakat seperti;  pengenatasan kemiskinan, issue keadilan, penghormatan terhadap hak azasi manusia, pendidikan dan kesehatan menjadi program pembangunan yang terus diupayakan.

 III.      BEBERAPA CONTOH ISI KOTARAGAMA


A. KEPEMIMPINAN

Sifat -sifat pemimpin dalam kotaragama diungkapkan dalam kata atau kalimat yang jelas. Seperti seorang Raja/pemimpin harus mengurus rakyatnya (bertanggung jawab) tidak boleh ingkar janji, harus adil, tidak putus menuntut ilmu, tidak suka kawin, bersifat sosial. Tetapi banyak juga yang diungkapkan dalam bentuk perumpamaan, yang dalam naskah tersebut disebut seloka. Beberapa contoh misalnya seperti  seorang raja bersifat ; danta danti kusuma warsa. [2]

Biasanya kepemimpinan digambarkan dengan perumpamaan dari benda yang ada pada alam semesta seperti gunung, laut, api, matahari, flora dan fauna. Hal ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita sangat memperhatikan alam sekitarnya. Pengamatan yang cermat terhadap sifat –sifat alam sekitarnya, mampu memberi inspirasi kepada mereka untuk menyerap dan menjadikan sifat-sifat alam itu sebagai simbul yang harus digunakan oleh manusia untuk mengadakan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam Kotaragama disebutkan sebagai berikut :

salokaning ratu hiku,giri suci, jaladri, bahnipawaka, surya , sasangka, nilatadu

artinya : bahwa raja harus memiliki sifat seperti gunung yang suci dan kokoh, mempunyai sifat sebagaimana laut dapat meredam bau amis dan busuk, bersifat seperti api maksudnya dapat menghapuskan kekotoran, bersifat matahari artinya menerangi seluruh jagad, bersifat bulan maksudnya menerangi dengan kesejukan, bersifat langit biru maksudnya luas pandangan dan teguh pendirian.

Yang paling penting dari seorang pemimpin adalah taat dalam menjalankan agama; ini tertulis dalam kalimat ;

dana punika tatanira sang prabu, karane kajrihana dening bala, harep manah hing wong senegara, puniku lwirepun, den nastiti sang prabu hing agama “,

Artinya :
Demikianlah perilaku sang raja, karena itulah ditakuti oleh rakyat, melayani kehendak rakyat seluruh negeri, itulah semuanya, serta raja berbakti pada agama.

Dalam Kotaragama selain disebutkan sifat-sifat yang harus dilakukan raja/pemimpin,disebutkan juga sifat-sifat  yang tidak boleh dilakukan,  hal tersebut di ungkapkan dalam kalimat :

kalanya wet saniwi muwah dohena denira sang prabu, lwirepun pancakrana, kang karihinhiku naya kestri, kaping kalih babunyaka, kaping tiga hiku hinabudi, kaping sakawan waraboga, kaping limakapingtabaksana.

Artinya : agar mendapat kehormatan hendaknya raja dijauhkan dari panca krana yaitu; Jangan  mempekerjakan wanita (karena setiap tingkahnya dapat merusak). Yang kedua jangan mempekerjakan orang kembar (satu tindakannya pasti akan merusak semua karena sama-sama diandalkan). Yang ketiga, jangan mempekerjakan orang bodoh (karena semua perintah tidak akan dipatuhi,hal ini akan mengacaukan Negara). Yang ke empat, jangan mempekerjakan orang-orang yang perutnya kenyang (karena setiap perintahnya tidak sungguh-sungguh , tidak sesui dengan ajaran agama menyebabkan lenyapnya aturan agama). Yang ke enam jangan mempekerjakan orang lapar (karena perbuatannya tertutup oleh perbuatan nista).


B. KESEJAHTERAAN

Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat tercermin dalam perlindungan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan yang bersifat  fisik matrial. Perlindungan  terhadap kesejahteraan rakyat tercermin  dalam peraturan yang ditetapkan terutama tentang hak-hak raja untuk memberikan bantuan matrial kepada rakyatnya yang berupa bantuan dana . Prabu Hagelar Dana, artinya; raja memberikan kebutuhan fisik/matrial kepada rakyatnya. Dalam hal itu antara lain tertulis sebagai berikut :

dana punika lwirepun, yen sang prabu hagelar dana. Kang dihin hing anak yatim. Ping kalih wong sugih kalungsur, ping tiga rangda wadon, nora derbe suta jangku. Ping sakawan, wong lagi teka mungguh haji. Kaping lima wong kamara desa. Kaping nem kang ngatetep  pangabektinipun. Kaping pitu kang ngatetep hasaba paseban. Kaping Wolu, wong nista kang tan kawawi pangane sedina”

Artinya : dana tersebut maksudnya apabila raja memberi dana (santunan). Pertama kepada anak yatim, kedua kepada orang kaya yang jatuh melarat, ketiga kepada janda (wanita) yang tidak punya anak laki-laki. Keempat kepada orang yang baru datang dari menunaikan haji. Kelima kepada musafir/pendatang, Ke enam kepada orang setia berbakti kepada raja. Ke tujuh kepada orang yang tetap datang menghadap raja. Kedelapan kepada orang melarat yang tidak mampu makan walau sehari.

Berdasarkan hal tersebut di atas secara tersirat  raja sangat memperhatikan kesejahteraan matrial bagi rakyatnya yang dalam keadaan layak untuk dibantu, sekaligus perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka-mereka itu. Selain itu masih banyak dana lain yang merupakan hak sang raja untuk diberikan kepada siapa saja, dalam rangka apa saja. Misal ada yang disebut dana warsa dana ini diberikan sebagai hadiah tahunan kepada pembawa pedang dan singgsana raja-raja, pembawa umbul-umbul, petinggi desa, orang kawin, juru kuda, dan penghibur.

Dalam pemberian dana tersebut pengibaratannya seperti Candra ,Baskara, Warsa ; artinya raja harus memiliki sifat Candra=bulan, menerangi tanpa panas, baskara (matahari) memberikan terang tanpa samar, warsa (hujan) bersifat merata.
Dana yang lain , misalnya dana yang diperuntukkan bagi raja untuk memberikan hadiah, disebut dana karana , dana untuk menjamu tamu disebut dana balaba. Dana untuk jamuan persidangan disebut dana sacaya.



C. HUKUM

Hal-hal yang berkaitan dengan keadilan dalam Kotaragama tercermin dalam pelaksanaan hukum mulai dari penentuan saksi dan  wujud hukuman.

C.1. Saksi

Agar dapat memberikan keputusan yang adil, terdapat ketentuan mengenai siapa yang patut/memenuhi syarat dan tidak, sebagai saksi.
1.      Saksi Kang Mulya ( saksi yang mulia) , danawanta (kyai dan modin), kulincah (penduduk asli yang patuh). Dyah paresi paranince ( saudagar kaya), dersa sulaksana ( orang yang tampan dan baik tutur katanya), caksyuh bujangjem ( pendeta penasehat raja), durnitam ( pendeta golongan guru), halembayan (penasehat raja).
2.      Saksi kang nista ( saksi yang nista ) : hacukirtya (penjual terasi), haduli (penjual kapur), hatumbah (penjual garam), hakaraka (jagal), hamantra (pedagang keliling), hagedig ( pande besi), hagender ( pande gamelan ), hamadu (pencari/penjual madu), dukun ( balian), hanelelih (penjual ayam) dll.
3.      Saksi tan kandel (saksi yang tidak dapat dipercaya) , Saksi Pramana bersaksi pada orang yang dahulunya diandalkan, Saksi Pramanalena yaitu bersaksi pada orang mati, Saksi Hakumbah bersaksi kepada hamba sahaya/ atau yang lebih rendah derajatnya.
4.      Yang tidak patut ditanyai untuk saksi karena cacat yang dimiliki yaitu Sirna Prayatna (orang bisu), Sirna Nircaya ( orang buta ) dan Sirna sambawa (orang tuli)
5.      Yang tidak bisa menjadi saksi ada tujuh jenis : rena (wanita), camet ( anak kecil ) wesa (penjahat), sudra kawinaya ( rakyat jelata  yang diperdaya ) tirta agung (kadi), ratu agung (Raja), rumpaka roro kedibing bima ( orang kembar )
6.      Yang kesaksiannya tidak sah : hakuta saksi ( bersaksi untuk saudaranya atau hamba saudaranya ) , hambuta saksi (orang mulia yang bersaksi untuk orang jahat), hambabu ( bersaksi untuk orang mati), hasaksi (saksi yang disogok)


Jika dibandingkan dengan kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang saksi, terdapat titik tolak konsepsi yang berbeda. Dalam Kotaragama titik tolak konsepsi pada akurasi kesaksian seorang saksi dengan maksud agar keputusan yang diambil memenuhi azas keadilan. Pada KUHAP titik tolak konsepsinya selain pada keadilan juga pada hak zasasi manusia, sebagai mana yang tercantum pada pasal 168 KUHAP yang berbunyi;

“ …. kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, maka tidak dapt didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi :
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah ……dst. “

Hak azasi pada saksi dapat terlihat pada kalimat “dapat mengundurkan diri sebagai saksi” sedangkan pada Kotaragama jelas tidak boleh menjadi saksi pada perkara yang melibatkan saudaranya, sedang dalam  KUHAP masih boleh menjadi saksi jika ditentukan lain dalam undang-undang.

C.2. Sangsi

Bentuk sangsi dalam KOTARAGAMA pada umumnya terdiri dari tiga jenis : 1. Membayar sejumlah uang
2. Diasingkan
3. Dibunuh

Dalam hal denda disebutkan jumlah, tetapi tidak disebutkan satuan mata uangnya. Sebagian wujud hukuman yang berhubungan dengan pengasingan hanya hal yang berhubungan dengan jaksa yang tidak dapat berlaku adil, disebutkan sebagai berikut :

“Yen malih tan bener den hamegat karya, tundungen setahun lawasnya tan mulating Negara, lan lelerongena hing gunung  giri wana, tan pantes yenna kukuda. Yen wus jangkep setahun, hundangan malih, jenengene kadi ruminihin, lamun patut pepegatane lan Kotaragama. Yen malih tan bener den hamrentah , maksih kadi rumuhun punika, wenang patyanana “

Artinya : apabila tidak benar ia memutuskan perkara, usirlah setahun lamanya, tidak boleh melihat Negara, kemudian buanglah ia ke gunung, bukit, hutan. Tidak pantas bila dibunuh. Apabila sudah genap setahun, panggil lagi dan jabatkan seperti dulu, kalau benar keputusannya dengan Kotaragama. Apabila lagi tidak benar memutuskan perkara masih seperti dahulu, pantas dibunuh.

Membunuh orang sebagai pemberian hukuman dikenakan juga bagi orang yang berzina atau menzinahi istri orang. Pemberian hukuman tersebut dalam Kotaragama disebutkan sebagai berikut :

“Muwah yenna nyekel rabining ngarabi, yen jajamahan, yenna nyekel wuwujang, rangda, yenning ngalas, hing lulurung,hing natar, hing ngumah, yogya pinaten denne kang ngadrebe rabi. Yen tan pejaha sajroning sadina lan sawengi, luput patina, jumeneng denda.. “

Artinya : Dan apabila memegang isteri orang, apabila menggrayangi, apabila ia memegang perawan, janda, apabila di hutan, di jalanan, di rumah, patut dibunuh oleh yang empunya isteri. Apabila tidak mati, dalam waktu sehari semalam, luput  ajalnya, maka jatuhlah denda.

Berdasarkan uraian tersebut, orang yang menzinahi istri orang lain, dia berhak dibunuh oleh suami wanita yang dizinahi tersebut dalam tempo sehari semalam, jika melebihi batas waktu hukuman mati tersebut batal dan hanya dikenakan denda.


C.3. Pengeterapan Hukuman

 Selanjutnya seorang jaksa harus berbuat adil terutama kepada orang yang bangga hing pala kerta (melawan hukum). Dalam kotaragama disebutkan antara lain sebagai berikut :

“ Yakti sang prabu hamiyosaken, karana haglis mawi pamicaran, hajanana binedakaken. Sentanaha, mantria, hagung alit, gustia, kawulaha, dateng trapena, haja  hara hiri, haja kemengan, haja hirihing ngagede, haja welas hing kasian, yen rauh trapena sahujaring Kotara”.

Artinya : Sungguh sang prabu akan memutuskan agar segera dibicarakan, jangan dibedakan, keluarga, pejabat, besar kecil, bangsawan, rakyat biasa, semua dikenakan hukum. Jangan pilih kasih, jangan bingung, jangan segan kepada yang besar, dan jangan kasihan kepada yang kecil. Bila datang laksanakan menurut patokan hukum.

Dengan ketentuan seperti itu menunjukkan bahwa  raja memberikan jaminan keadilan kepada rakyatnya, tidak saja kepada rakyat kecil, tetapi kepada siapa saja. Bahkan jaksa tidak boleh segan kepada para pembesar yang sedang dalam proses pengadilan. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut, maka persyaratan untuk menjadi jaksa dicantumkan tersendiri dalam Kotaragama sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab terdahulu, seorang jaksa harus cerdas, pandai dan cerdik karena ia harus menghadapi banyak musuh.
Dalam Kotaragama azas kebersamaan dalam memikul tanggung jawab disebutkan :

Jika terjadi pencurian di kampung dan korban berteriak akan tetapi tetangga yang mendengar teriakan tersebut tidak ada yang keluar karena takut, maka seluruh warga kampung tersebut akan kena denda. Bunyi hukumannya adalah sebagai berikut :



“Yen malih kadi punika sahuripun amiharsa manira hajrih hamiosena. Hatawa hujare kang sawiji, denne kaya-kaya paputungena, samulianing kang pejah, dan sang prabu, sami ka denda 3000 soang. Kaget kapepengan haran”.

Artinya : dan bila yang seperti itu mereka menjawab kami mendengar tetapi takut keluar, atau kata yang seorang lagi seperti tidak jelas pendengaranku, karena (sedang tidur) seperti orang mati, maka oleh sang raja semuanya di denda tiga ribu seorang. Kaget kapepengan namanya


Denda seperti itu diputuskan dalam satu sidang pengadilan dalam adanya satu pencurian disuatu kampung setelah yang kecurian melapor. Inilah yang kami sebutkan memikul tanggung jawab dalam kebersamaan. Hal ini menunjukkan adanya keadilan yang diterapkan kepada rakyat karena dianggap telah melalaikan tanggung jawab menjaga keamanan desa. Oleh karena itu mereka patut dihukum denda atas kelalaian tersebut.

Nilai kegotong royongan semacam itu dewasa ini sudah mengalami pergeseran, Tanggung jawab memikul hukuman dibebankan kepada si pelaku pencurian saja, sedang masyarakat tidak mendapat beban apapun. Dengan demikian tindakan pencurian sekarang ini lebih berani dilakuka. Lebih-lebih pada jaman moderen sekarang ini, peralatan semakin canggih sehingga rasa takut masyarakat semakin tebal. Akibatnya apabila terjadi suatu pencurian di kampung, penduduk kampung semakin tidak berani keluar apabila mendengar terikan “maling!”.


IV.      RELEVANSI DAN PERANAN NILAI-NILAI KOTARAGAMA DALAM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAERAH DAN NASIONAL

Dalam penjelasan pasal 32 UUD 45 tentang kebudayaan nasional disebutkan antara lain bahwa kebudayaan daerah terhitung sebagai kebudayaan nasional. Kotaragama sebagai salah satu karya nenek moyang kita dibidang hukum terhitung sebagai kebudayaan daerah, sangat relevan untuk digali dan dikaji nilainya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Lebih-lebih dalam era globalisasi dewasa ini, kita perlu memperkukuh jati diri untuk menjadi bangsa yang maju dengan kepribadian mantap.

Dalam rangka menerapkan kepribadian untuk mewujudkan jati diri yang kukuh agar tetap dapat mempertahankan diri sebagai bangsa yang maju kita perlu memiliki kemampuan menyerap nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dengan tetap berpijak pada nilai-nilai budaya yang kita miliki.

Nilai budaya yang kita miliki tidak semua sesuai dengan tuntutan pembangunan sekarang. Misalnya budaya “banyak anak, banyak rizki “perlu direinterpretasikan menjadi “banyak anak memerlukan banyak rizki” untuk menjadikan anak-anak kita menjadi generasi yang sehat, kuat dan cerdas yang pada akhirnya berguna bagi keluarga dan bangsa.

Dengan contoh interpretasi nilai buadaya seperti itu dalam kaitannya dengan hukum, Kotaragama mengandung nilai-nilai yang masih relevan dengan pembinaan dan  pengembangan kebudayaan nasional dewasa ini. Di dalamnya terdapat pesan-pesan moral yang perlu diserap seperti pesan moral yang terkandung dalam kepemimpinan, kesejahteraan dan keadilan yang menjadi topic kajian saat ini.


    1. Seorang Pemimpin Harus Taat Pada Agama

Kotaragama menjelaskan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang taat kepada Agama. Hal tersebut sangat relevan untuk jaman sekarang ini. Agama merupakan acuan moral yang utama dalam mengahadapi tantangan pembangunan sekarang ini. Pengaruh teknologi yang begitu pesat disuatu pihak mendatangkan manfaat dilain pihak mendatangkan mudharat. Budaya hidup konsumtif mendorong orang untuk melakukan tindakan korupsi, manipulasi, kolusi dll yang merugikan Negara. Hal tersebut hanya dapat dikendalikan dengan penghayatan agama yang mantap.

Dengan demikian seorang pemimpin yang dapat dijadikan panutan masyarakat sangat diperlukan. Pemimpin yang dapat ditauladani hanyalah pemimpin yang melaksanakan ajaran agama secara konsekwen.


    1. Mengenai Kesejahteraan Rakyat

Tujuan pembangunan pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara mendasar tujuan pembangunan di Indonesian adalah untuk menuju masyarakat adil dan makmur, matrial dan spiritual berdasarkan Pancasila. Tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia makin lama makin meningkat. Kadang-kadang kita lupa bahwa kesejahteraan rakyatlah yang di tuju. Sampai sekarang sebagian rakyat Indonesia masih miskin, sehingga belum bisa menikmati hasil pembangunan. Dalam Kotaragama raja  mempunyai berbagai macam dana yang penggunaannya merupakan hak prerogratif raja, yang dipergunakan untuk kesejahteraan rakyatnya.



    1. Mengenai Keadilan

Keadilan berkaitan dengan hak azasi, Isue-isue yang berkembang dewasa ini adalah issue tentang keadilan. Munculnya lembaga sosial Masyarakat yang bergerak dibidang hak azasi manusia di satu pihak menunjukkan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya.

Ketidak adilan yang kerap menimpa  rakyat kecil, karena pada umumnya karena rakyat kecil dianggap masih bodoh, sehingga mudah diperbodoh. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pembebasan tanah, terutama tanah yang ditempati rakyat kecil akhir-akhir ini, banyak menjadi topik yang berkaitan dengan hak azasi.

Nenek moyang kita telah mengantisipasi masalah keadilan ini, seperti yang terdapat dalam Kotaragama. Agar raja bertindak adil prosesnya dimulai dari ketetapan menentukan sangsi. Demikian juga dalam menjatuhkan hukuman denda biasanya dikenakan pada kedua belah pihak yang bersengketa.

Hal yang mungkin masih bias dianggap relevan adalah solidaritas dalam menanggulangi gangguan keamanan atau pencurian, kaitan dengan keadilan, seperti yang telah diuraikan terdahulu. Kalau saja ketentuan semacam di dapat diterapkan pada masa sekarang ini tentu gangguan Kamtibmas akan berkurang. Dengan mengeterapkan denda bagi seluruh warga yang tidak membantu warganya. Ketentuan ini sekaligus memupuk mental masyarakat menjadi   kesatria berani melawan rintangan. Sifat ini dahulu pernah kita miliki tatkala kita melawan penjajah , dengan hanya menggunakan bambu runcing, sementara musuh kita menggunakan persenjataan yang canggih.


    1. Mengenai Kedudukan Wanita

Hal yang kurang relevan dari Kotaragama untuk situasi sekarang ini adalah kedudukan wanita. Ada dua hal yang merugikan wanita yaitu hilangnya hak menjadi pejabat dan menjadi saksi. Hal tersenut selain bertentangan dengan UUD 45, juga tidak sesuai dengan perkembangan kesadaran masyarakat akan hak-hak azasi manusia.

Dewasa ini pemberian kesempatan yang sama baik kepada pria maupun wanita dalam memperoleh pendidikan, serta makin terbukannya dunia informasi, berpengaruh terhadap pola pikir keluarga. Pada masa lalu  (pola berpikir tradisional), kesempatan memperoleh pendidikan hanya diberikan kepada kaum pria sedang kaum perempuan cukup diberi bekal ketrampilan dalam mempersiapkan dirinya   sebagai istri yang akan melaksanakan fungsi kerumahtanggaan.




    V.      KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Naskah kuno sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa perlu dijaga dan di lestarikan karena mengandung nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan masa kini.
2.      Perlu dilakukan upaya pengkajian naskah kuno secara terus menerus dalam rangka mencari acuan pembangunan dan memperkuat jati diri.
3.      Kebanggaan terhadap kekayaan nilai budaya harus dipupuk, karena dengan itu kitan menemukan jati diri kebangsaan yang dapat menjadi modal pembangunan.

Demikian beberapa kajian tentang nilai-nilai yang terdapat dalam Kotaragama yang dianggap perlu untuk diuraikan. Diharapkan nilai-nilai tersebut kita petik , dikaji dan disebarkan agar menjadi acuan bagi kita saat ini dan generasi mendatang, demi mempertahankan keutuhan bangsa dan mendorong semua aspek pembangunan menuju kesejahteraan sosial yang adil dan merata.


Mataram , 22 Juli 2007


Penulis:  Dra. Hj. Sri Yaningsih . Dkk.

(Dibawakan dalam Seminar Masyarakat Manuskrip Indonesia di Bima - NTB)




[1]  Ibid, hlm 10
[2]  Danta = Gading Gajah  , jika telah copot  tidak bisa dipasang kembali, Danti = Ludah , jika telah di buang tidak dapat ditelan kembali , Kusuma=Bunga, jika telah gugur tidak bisa kembali ketangkainya, Warsi = Hujan, jika telah tercurah tidak akan kembali ke langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar