Naskah kuno Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang
berlaku di suatu wilayah. Jika benar penulisan tersebut dilakukan pada tahun
1600 Saka bertepatan dengan tahun 1674 masehi, atau tahun 1642 saka sama dengan tahun 1710 masehi.
Pada saat yang sama Lombok
berada di bawah Pemerintahan Raja Karang Asem yang memerintah pada tahun 1692
-1839 ( sejarah daerah NTB , 1988 hal 51
) . Secara keseluruhan pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan
Belanda, maka peraturan yang berlaku adalah peraturan Pemerintah Hindia Belanda dan peraturan kerajaan.
Dalam naskah KOTARAGAMA disebutkan bahwa peraturan itu
berlaku di Kerajaan Surya Alam. Sang raja adalah seorang ber-agama Islam.
I. PENDAHULUAN
Manusia Indonesia yang memiliki kepribadian
yang mantap adalah sosok manusia yang telah memiliki konsep tentang bagimana
manusia Indonesia
menghadapi tantangan lingkungannya baik fisik(alam) maupun sosial agar dapat
bertahan. Konsep-konsep ini tidak lain adalah wujud kebudayaan berupa
nilai-nilai. Nenek moyang kita sebenarnya banyak memberikan ajaran tentang jati
diri. Ajaran tersebut dapat digali dari naskah-naskah kuno yang jumlahnya
sangat banyak tetapi dewasa ini belum banyak dikaji.
Naskah-naskah kuno pada dasarnya
merupakan kebudayaan lama yang perlu dikaji dan dilestarikan , terutama yang
masih memiliki relevansi dengan perkembangan zaman. Dapat memberikan kekuatan
daya tangkal terhadap pengaruh budaya luar yang negatif. Nilai-nilai budaya
yang terkandung dalam naskah kuno penting diketahui sehingga lebih memperkaya
wawasan kebudayaan kita, yang selanjutnya dapat memperkuat jati diri bangsa Indonesia.
Dengan pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai yang tertulis dalam naskah kuno
dapat menjalin saling pengertian di
antara suku bangsa yang ada di Indonesia,
sehingga dapat menghilangkan sifat etnosentris dan stereotype yang berlebihan
dan menghindari prasangka sosial yang buruk.
Berdasarkan laporan hasil Pemetaan
Naskah Lontar di Pulau Lombok, Februari s/d September 1993, atas bantuan Ford
Foundation, Melalui Proyek Pelestarian Naskah Nusantara Perpustakaan Nasional
pada tahun 1993, didapatkan jumlah naskah di Pulau Lombok cukup banyak. Di
Museum NTB, terdapat 1250 lebih naskah, yang sempat didata oleh proyek tersebut
sejumlah 228, kondisi naskah pada umumnya masih baik.
DATA SEBARAN NASKAH KUNO
YANG TERSEBAR DI MASYARAKAT LOMBOK THN. 1993
NO
|
LOKASI
|
JUMLAH
|
KETERANGAN
|
1
|
Mataram
|
227 buah
|
|
2
|
Gangga. Kec. Gangga Lombok Barat
|
85 buah
|
|
3
|
Desa Kuranji. Kecamatan Labuapi
|
28 buah
|
|
4
|
Kecamatan Pujut, Lombok
Tengah
|
166 buah
|
|
5
|
Kecamatan Sakra Timur
|
126 buah
|
|
TOTAL
|
632 buah
|
Masalah yang dihadapi adalah
dikarenakan sebagian besar naskah-naskah tersebut merupakan milik perorangan
sehingga sulit diakses oleh pihak lain. Anggapan tentang kekeramatan naskah
peninggalan nenek moyang tersebut oleh masyarakat membuat sulitnya untuk
mendapat keterangan. Umumnya mereka sangat tertutup bahkan untuk melihat naskah
saja di syaratkan dilakukan pada hari tertentu dan menyediakan sesaji-sesaji
tertentu.
Akibat perkembangan teknologi
transportasi dan komunikasi hubungan antar manusia menjadi meng-global seiring
dengan merambahnya ideology kapitalisme dimana-mana. Kondisi kemiskinan
menggiurkan beberapa dari masyarakat menjual naskah-naskah kuno sebagai barang
antik kepada para wisatawan. Disisi lain peraturan Undang-Undang No. 5 tahun 1992 , tentang
Benda Cagar Budaya yang selanjutnya diturunkan dalam Peraturan Pelaksanaannya
yaitu PP no. 10 tahun 1993 telah lahir, namun tidak berjalan dengan efektif.
II.
KAJIAN ISI NASKAH
A. Isi naskah Lontar Kotaragama :
- Menjabarkan tentang sifat seorang Raja, tatalaksana, dan kebajikan nya dalam kepemimpinan serta mengatur kepemerintahan .
- Menjabarkan tentang sayarat-syarat dan tata cara raja mengangkat pejabat Kerajaan seperti : penghulu , jaksa, hakim, duta atau utusan.
- Menjabarkan tentang sikap dan tingkah laku rakyat terhadap raja, demikian juga sikap raja terhasdap rakyatnya, serta bagaimana seorang raja berlaku adil dan dermawan.
- Menjabarkan tentang hukum-hukum dan sangsi baik menyangkut perkara perdata maupun pidana seperti : pencurian, pemerkosaaan, pembunuhan , perjinahan, perkelahian ,sengketa tanah waris, gadai-menggadai, utang-piutang dan lain sebagainya.
B. Diskripsi Naskah :
- Judul Naskah dan artinya : Kotaragama terdiri dari dua kata yaitu Kotara dan gama. Kotara berarti wilayah dan gama berarti aturan atau hukum,. Jadi kotaragama berarti ; aturan atau hukum yang berlaku di suatu wilayah.
- Pemilik Naskah : Amaq Sembah, Mantang, Lombok Tengah
- Tempat Naskah : Museum NTB
- Nomor Naskah : Regester nomor 1050, inventaris nomor 07.294.
- Jenis Naskah : Gancaran (prosa)
- Tanggal Penulisan : Buda Kliwon, Wuku Matal, Bulan Sawal, tahun Jimawal, hari Rabu, tanggal 26 Tahun tidak tersebut.
- Tempat Penulisan : Tidak Ada
- Ukuran Naskah : Panjang ; 50,6 cm, Lebar: 3,2 Cm, Tebal, 4,5 Cm.
- Jumlah Lempir : 56 lempir
- Jumlah Baris : 4 baris pada setiap lempir
- Jenis Aksara: Hurup Jejawan
- Panjang Baris : 42 cm
- Alas Tulis : Daun lontar
- Warna Tinta : Hitam
- Cap kertas : Tidak ada, karena bahan yang dipakai adalah daun lontar.
Naskah kuno Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang
berlaku di suatu wilayah. Jika benar penulisan terasebut dilakukan pada tahun
1600 Saka bertepatan dengan tahun 1674 masehi, atau tahun 1642 saka sama dengan
tahun 1710 masehi. Pada saat yang sama Lombok
berada di bawah Pemerintahan Raja Karang Asem yang memerintah pada tahun 1692
-1839 ( sejarah daerah NTB , 1988 hal 51
) .
Secara keseluruhan pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan
Belanda, maka peraturan yang berlaku adalah peraturan Pemerintah Hindia Belanda
dan peraturan kerajaan.
Dalam naskah KOTARAGAMA disebutkan bahwa peraturan itu
berlaku di Kerajaan Surya Alam.Sang raja adalah seorang ber-agama Islam. Pada
awal tulisan naskah tersebut berbunyi :
“ puniki mawasta Kotaragama, dana puniki caritanira sang perabu hing
surya alam, mamarning cinarita, dening sinungan kagungan dening Allah, pan
tannana sasamaning ratu, dening hakeh hadillira hing bala, tannana kibirira
hing Allah, nitya saha nora kena sariranira, yen rerenan nitya saha tillawatta
Qur’an
Artinya : inilah bernama Kotaragama, dan ini cerita sang
Raja di Surya Alam, adapun diceritakan , karena sang raja dianugrahkan
keagungan oleh Allah . Karena tiada persamaannyan dengan raja-raja lain, sebab
sangat adil kepada rakyat, tidak takabur kepada Allah. Senantiasa berdoa agar
dirinya tidak terkena aib . Apabila istirahat beliau membaca Alqur’an.
Kerajaan Surya alam kemungkinan adalah kerajaan Selaparang
Islam yang hidup pada abad 16 sampai dengan tahun 1740 [1]
Kotaragama ternyata mengandung nilai-nilai penting antara
lain adalah nilai kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum),
berbagai segi kehidupan seperti, perkawinan, hutang piutang, pencurian, gadai ,
hak dan kewajiban rakyat , perpajakan
dan sebagainya, semua itu mengadung nilai moral dan sangsi hukum jika norma
tersebut dilanggar. Hal-hal tersebut yang akan dibicarakan dalam pengkajian
ini, karena hal tersebut kini menjadi issue pokok dalam pembangunan bangsa dan
pembangunan dunia. Kebijakan pemerintah
dalam upaya menyejahterakan masyarakat seperti;
pengenatasan kemiskinan, issue keadilan, penghormatan terhadap hak azasi
manusia, pendidikan dan kesehatan menjadi program pembangunan yang terus
diupayakan.
III.
BEBERAPA CONTOH
ISI KOTARAGAMA
A. KEPEMIMPINAN
Sifat -sifat
pemimpin dalam kotaragama diungkapkan dalam kata atau kalimat yang jelas.
Seperti seorang Raja/pemimpin harus mengurus rakyatnya (bertanggung jawab)
tidak boleh ingkar janji, harus adil, tidak putus menuntut ilmu, tidak suka
kawin, bersifat sosial. Tetapi banyak juga yang diungkapkan dalam bentuk
perumpamaan, yang dalam naskah tersebut disebut seloka. Beberapa contoh
misalnya seperti seorang raja bersifat ;
danta
danti kusuma warsa. [2]
Biasanya kepemimpinan digambarkan dengan perumpamaan dari
benda yang ada pada alam semesta seperti gunung, laut, api, matahari, flora dan
fauna. Hal ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita sangat memperhatikan alam
sekitarnya. Pengamatan yang cermat terhadap sifat –sifat alam sekitarnya, mampu
memberi inspirasi kepada mereka untuk menyerap dan menjadikan sifat-sifat alam
itu sebagai simbul yang harus digunakan oleh manusia untuk mengadakan hubungan
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam Kotaragama disebutkan
sebagai berikut :
“salokaning ratu hiku,giri suci, jaladri, bahnipawaka, surya , sasangka,
nilatadu “
artinya : bahwa raja harus memiliki sifat seperti gunung
yang suci dan kokoh, mempunyai sifat sebagaimana laut dapat meredam bau amis
dan busuk, bersifat seperti api maksudnya dapat menghapuskan kekotoran,
bersifat matahari artinya menerangi seluruh jagad, bersifat bulan maksudnya
menerangi dengan kesejukan, bersifat langit biru maksudnya luas pandangan dan
teguh pendirian.
Yang paling
penting dari seorang pemimpin adalah taat dalam menjalankan agama; ini tertulis
dalam kalimat ;
“dana punika tatanira sang prabu, karane kajrihana dening bala, harep
manah hing wong senegara, puniku lwirepun, den nastiti sang prabu hing agama “,
Artinya :
Demikianlah perilaku sang raja, karena itulah ditakuti oleh
rakyat, melayani kehendak rakyat seluruh negeri, itulah semuanya, serta raja
berbakti pada agama.
Dalam Kotaragama selain disebutkan sifat-sifat yang harus
dilakukan raja/pemimpin,disebutkan juga sifat-sifat yang tidak boleh dilakukan, hal tersebut di ungkapkan dalam kalimat :
kalanya wet saniwi muwah dohena denira sang prabu, lwirepun pancakrana,
kang karihinhiku naya kestri, kaping kalih babunyaka, kaping tiga hiku
hinabudi, kaping sakawan waraboga, kaping limakapingtabaksana.
Artinya : agar mendapat kehormatan hendaknya raja dijauhkan
dari panca krana yaitu; Jangan mempekerjakan
wanita (karena setiap tingkahnya dapat
merusak). Yang kedua jangan mempekerjakan orang kembar (satu tindakannya pasti akan merusak semua
karena sama-sama diandalkan). Yang ketiga, jangan mempekerjakan orang bodoh
(karena semua perintah tidak akan
dipatuhi,hal ini akan mengacaukan Negara). Yang ke empat, jangan mempekerjakan
orang-orang yang perutnya kenyang (karena
setiap perintahnya tidak sungguh-sungguh , tidak sesui dengan ajaran agama
menyebabkan lenyapnya aturan agama). Yang ke enam jangan mempekerjakan
orang lapar (karena perbuatannya tertutup
oleh perbuatan nista).
B. KESEJAHTERAAN
Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat tercermin
dalam perlindungan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan
yang bersifat fisik matrial. Perlindungan terhadap kesejahteraan rakyat tercermin dalam peraturan yang ditetapkan terutama
tentang hak-hak raja untuk memberikan bantuan matrial kepada rakyatnya yang
berupa bantuan dana . Prabu Hagelar Dana, artinya; raja
memberikan kebutuhan fisik/matrial kepada rakyatnya. Dalam hal itu antara lain
tertulis sebagai berikut :
“dana punika lwirepun, yen sang prabu hagelar dana. Kang dihin hing anak
yatim. Ping kalih wong sugih kalungsur, ping tiga rangda wadon, nora derbe suta
jangku. Ping sakawan, wong lagi teka mungguh haji. Kaping lima wong kamara desa. Kaping nem kang
ngatetep pangabektinipun. Kaping pitu
kang ngatetep hasaba paseban. Kaping Wolu, wong nista kang tan kawawi pangane
sedina”
Artinya : dana tersebut maksudnya apabila raja memberi dana
(santunan). Pertama kepada anak yatim, kedua kepada orang kaya yang jatuh
melarat, ketiga kepada janda (wanita) yang tidak punya anak laki-laki. Keempat
kepada orang yang baru datang dari menunaikan haji. Kelima kepada
musafir/pendatang, Ke enam kepada orang setia berbakti kepada raja. Ke tujuh
kepada orang yang tetap datang menghadap raja. Kedelapan kepada orang melarat
yang tidak mampu makan walau sehari.
Berdasarkan hal tersebut di atas secara tersirat raja sangat memperhatikan kesejahteraan matrial
bagi rakyatnya yang dalam keadaan layak untuk dibantu, sekaligus perlindungan
terhadap rasa aman bagi mereka-mereka itu. Selain itu masih banyak dana lain
yang merupakan hak sang raja untuk diberikan kepada siapa saja, dalam rangka
apa saja. Misal ada yang disebut dana warsa dana ini diberikan
sebagai hadiah tahunan kepada pembawa pedang dan singgsana raja-raja, pembawa
umbul-umbul, petinggi desa, orang kawin, juru kuda, dan penghibur.
Dalam pemberian dana tersebut pengibaratannya seperti Candra
,Baskara, Warsa ; artinya raja harus memiliki sifat Candra=bulan, menerangi
tanpa panas, baskara (matahari) memberikan terang tanpa samar, warsa (hujan)
bersifat merata.
Dana yang lain , misalnya dana yang diperuntukkan bagi raja
untuk memberikan hadiah, disebut dana karana , dana untuk menjamu
tamu disebut dana balaba. Dana untuk jamuan persidangan disebut dana
sacaya.
C. HUKUM
Hal-hal yang berkaitan dengan keadilan dalam Kotaragama
tercermin dalam pelaksanaan hukum mulai dari penentuan saksi dan wujud hukuman.
C.1. Saksi
Agar dapat memberikan keputusan
yang adil, terdapat ketentuan mengenai siapa yang patut/memenuhi syarat dan
tidak, sebagai saksi.
1. Saksi
Kang Mulya ( saksi yang mulia) , danawanta (kyai dan modin), kulincah (penduduk
asli yang patuh). Dyah paresi paranince ( saudagar kaya), dersa sulaksana (
orang yang tampan dan baik tutur katanya), caksyuh bujangjem ( pendeta
penasehat raja), durnitam ( pendeta golongan guru), halembayan (penasehat
raja).
2. Saksi
kang nista ( saksi yang nista ) : hacukirtya (penjual terasi), haduli (penjual
kapur), hatumbah (penjual garam), hakaraka (jagal), hamantra (pedagang
keliling), hagedig ( pande besi), hagender ( pande gamelan ), hamadu
(pencari/penjual madu), dukun ( balian), hanelelih (penjual ayam) dll.
3. Saksi
tan kandel (saksi yang tidak dapat dipercaya) , Saksi Pramana bersaksi pada
orang yang dahulunya diandalkan, Saksi Pramanalena yaitu bersaksi pada orang
mati, Saksi Hakumbah bersaksi kepada hamba sahaya/ atau yang lebih rendah
derajatnya.
4. Yang
tidak patut ditanyai untuk saksi karena cacat yang dimiliki yaitu Sirna
Prayatna (orang bisu), Sirna Nircaya ( orang buta ) dan Sirna sambawa (orang
tuli)
5. Yang
tidak bisa menjadi saksi ada tujuh jenis : rena (wanita), camet ( anak kecil )
wesa (penjahat), sudra kawinaya ( rakyat jelata
yang diperdaya ) tirta agung (kadi), ratu agung (Raja), rumpaka roro kedibing
bima ( orang kembar )
6. Yang
kesaksiannya tidak sah : hakuta saksi ( bersaksi untuk saudaranya atau hamba
saudaranya ) , hambuta saksi (orang mulia yang bersaksi untuk orang jahat),
hambabu ( bersaksi untuk orang mati), hasaksi (saksi yang disogok)
Jika dibandingkan dengan kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang saksi, terdapat titik tolak
konsepsi yang berbeda. Dalam Kotaragama titik tolak konsepsi pada akurasi
kesaksian seorang saksi dengan maksud agar keputusan yang diambil memenuhi azas
keadilan. Pada KUHAP titik tolak konsepsinya selain pada keadilan juga pada hak
zasasi manusia, sebagai mana yang tercantum pada pasal 168 KUHAP yang berbunyi;
“ …. kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang, maka tidak dapt didengar keterangannya dan
dapat mengundurkan diri sebagai saksi :
a.
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah ……dst.
“
Hak azasi pada saksi dapat
terlihat pada kalimat “dapat mengundurkan diri sebagai saksi” sedangkan pada
Kotaragama jelas tidak boleh menjadi saksi pada perkara yang melibatkan
saudaranya, sedang dalam KUHAP masih
boleh menjadi saksi jika ditentukan lain dalam undang-undang.
C.2. Sangsi
Bentuk sangsi dalam KOTARAGAMA
pada umumnya terdiri dari tiga jenis : 1. Membayar sejumlah uang
2. Diasingkan
3. Dibunuh
Dalam hal denda disebutkan jumlah,
tetapi tidak disebutkan satuan mata uangnya. Sebagian wujud hukuman yang
berhubungan dengan pengasingan hanya hal yang berhubungan dengan jaksa yang
tidak dapat berlaku adil, disebutkan sebagai berikut :
“Yen malih tan bener den hamegat
karya, tundungen setahun lawasnya tan mulating Negara, lan lelerongena hing
gunung giri wana, tan pantes yenna
kukuda. Yen wus jangkep setahun, hundangan malih, jenengene kadi ruminihin,
lamun patut pepegatane lan Kotaragama. Yen malih tan bener den hamrentah ,
maksih kadi rumuhun punika, wenang patyanana “
Artinya : apabila tidak benar ia
memutuskan perkara, usirlah setahun lamanya, tidak boleh melihat Negara,
kemudian buanglah ia ke gunung, bukit, hutan. Tidak pantas bila dibunuh.
Apabila sudah genap setahun, panggil lagi dan jabatkan seperti dulu, kalau
benar keputusannya dengan Kotaragama. Apabila lagi tidak benar memutuskan perkara
masih seperti dahulu, pantas dibunuh.
Membunuh orang sebagai pemberian
hukuman dikenakan juga bagi orang yang berzina atau menzinahi istri orang.
Pemberian hukuman tersebut dalam Kotaragama disebutkan sebagai berikut :
“Muwah yenna nyekel rabining
ngarabi, yen jajamahan, yenna nyekel wuwujang, rangda, yenning ngalas, hing
lulurung,hing natar, hing ngumah, yogya pinaten denne kang ngadrebe rabi. Yen
tan pejaha sajroning sadina lan sawengi, luput patina, jumeneng denda.. “
Artinya : Dan
apabila memegang isteri orang, apabila menggrayangi, apabila ia memegang
perawan, janda, apabila di hutan, di jalanan, di rumah, patut dibunuh oleh yang
empunya isteri. Apabila tidak mati, dalam waktu sehari semalam, luput ajalnya, maka jatuhlah denda.
Berdasarkan uraian tersebut, orang
yang menzinahi istri orang lain, dia berhak dibunuh oleh suami wanita yang
dizinahi tersebut dalam tempo sehari semalam, jika melebihi batas waktu hukuman
mati tersebut batal dan hanya dikenakan denda.
C.3. Pengeterapan Hukuman
Selanjutnya seorang jaksa harus berbuat adil
terutama kepada orang yang bangga hing pala kerta (melawan
hukum). Dalam kotaragama disebutkan antara lain sebagai berikut :
“ Yakti sang prabu hamiyosaken,
karana haglis mawi pamicaran, hajanana binedakaken. Sentanaha, mantria, hagung
alit, gustia, kawulaha, dateng trapena, haja
hara hiri, haja kemengan, haja hirihing ngagede, haja welas hing kasian,
yen rauh trapena sahujaring Kotara”.
Artinya : Sungguh sang prabu akan
memutuskan agar segera dibicarakan, jangan dibedakan, keluarga, pejabat, besar
kecil, bangsawan, rakyat biasa, semua dikenakan hukum. Jangan pilih kasih,
jangan bingung, jangan segan kepada yang besar, dan jangan kasihan kepada yang
kecil. Bila datang laksanakan menurut patokan hukum.
Dengan ketentuan seperti itu
menunjukkan bahwa raja memberikan
jaminan keadilan kepada rakyatnya, tidak saja kepada rakyat kecil, tetapi
kepada siapa saja. Bahkan jaksa tidak boleh segan kepada para pembesar yang
sedang dalam proses pengadilan. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut, maka
persyaratan untuk menjadi jaksa dicantumkan tersendiri dalam Kotaragama
sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab terdahulu, seorang jaksa harus
cerdas, pandai dan cerdik karena ia harus menghadapi banyak musuh.
Dalam Kotaragama azas kebersamaan
dalam memikul tanggung jawab disebutkan :
Jika terjadi pencurian di kampung
dan korban berteriak akan tetapi tetangga yang mendengar teriakan tersebut
tidak ada yang keluar karena takut, maka seluruh warga kampung tersebut akan
kena denda. Bunyi hukumannya adalah sebagai berikut :
“Yen malih kadi punika sahuripun
amiharsa manira hajrih hamiosena. Hatawa hujare kang sawiji, denne kaya-kaya
paputungena, samulianing kang pejah, dan sang prabu, sami ka denda 3000 soang.
Kaget kapepengan haran”.
Artinya : dan bila yang seperti
itu mereka menjawab kami mendengar tetapi takut keluar, atau kata yang seorang
lagi seperti tidak jelas pendengaranku, karena (sedang tidur) seperti orang
mati, maka oleh sang raja semuanya di denda tiga ribu seorang. Kaget
kapepengan namanya
Denda seperti itu diputuskan dalam satu sidang pengadilan
dalam adanya satu pencurian disuatu kampung setelah yang kecurian melapor.
Inilah yang kami sebutkan memikul tanggung jawab dalam kebersamaan. Hal ini
menunjukkan adanya keadilan yang diterapkan kepada rakyat karena dianggap telah
melalaikan tanggung jawab menjaga keamanan desa. Oleh karena itu mereka patut
dihukum denda atas kelalaian tersebut.
Nilai kegotong royongan semacam itu dewasa ini sudah
mengalami pergeseran, Tanggung jawab memikul hukuman dibebankan kepada si
pelaku pencurian saja, sedang masyarakat tidak mendapat beban apapun. Dengan
demikian tindakan pencurian sekarang ini lebih berani dilakuka. Lebih-lebih
pada jaman moderen sekarang ini, peralatan semakin canggih sehingga rasa takut
masyarakat semakin tebal. Akibatnya apabila terjadi suatu pencurian di kampung,
penduduk kampung semakin tidak berani keluar apabila mendengar terikan “maling!”.
IV. RELEVANSI DAN PERANAN NILAI-NILAI KOTARAGAMA DALAM
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAERAH DAN NASIONAL
Dalam penjelasan pasal 32 UUD 45
tentang kebudayaan nasional disebutkan antara lain bahwa kebudayaan daerah
terhitung sebagai kebudayaan nasional. Kotaragama sebagai salah satu karya
nenek moyang kita dibidang hukum terhitung sebagai kebudayaan daerah, sangat
relevan untuk digali dan dikaji nilainya dalam rangka pembinaan dan
pengembangan kebudayaan nasional. Lebih-lebih dalam era globalisasi dewasa ini,
kita perlu memperkukuh jati diri untuk menjadi bangsa yang maju dengan
kepribadian mantap.
Dalam rangka menerapkan
kepribadian untuk mewujudkan jati diri yang kukuh agar tetap dapat
mempertahankan diri sebagai bangsa yang maju kita perlu memiliki kemampuan
menyerap nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dengan tetap
berpijak pada nilai-nilai budaya yang kita miliki.
Nilai budaya yang kita miliki
tidak semua sesuai dengan tuntutan pembangunan sekarang. Misalnya budaya
“banyak anak, banyak rizki “perlu direinterpretasikan menjadi “banyak anak
memerlukan banyak rizki” untuk menjadikan anak-anak kita menjadi generasi yang
sehat, kuat dan cerdas yang pada akhirnya berguna bagi keluarga dan bangsa.
Dengan contoh interpretasi nilai
buadaya seperti itu dalam kaitannya dengan hukum, Kotaragama mengandung nilai-nilai
yang masih relevan dengan pembinaan dan
pengembangan kebudayaan nasional dewasa ini. Di dalamnya terdapat
pesan-pesan moral yang perlu diserap seperti pesan moral yang terkandung dalam
kepemimpinan, kesejahteraan dan keadilan yang menjadi topic kajian saat ini.
- Seorang Pemimpin Harus Taat Pada Agama
Kotaragama menjelaskan bahwa
seorang pemimpin haruslah orang yang taat kepada Agama. Hal tersebut sangat
relevan untuk jaman sekarang ini. Agama merupakan acuan moral yang utama dalam mengahadapi
tantangan pembangunan sekarang ini. Pengaruh teknologi yang begitu pesat
disuatu pihak mendatangkan manfaat dilain pihak mendatangkan mudharat. Budaya
hidup konsumtif mendorong orang untuk melakukan tindakan korupsi, manipulasi,
kolusi dll yang merugikan Negara. Hal tersebut hanya dapat dikendalikan dengan
penghayatan agama yang mantap.
Dengan demikian seorang pemimpin
yang dapat dijadikan panutan masyarakat sangat diperlukan. Pemimpin yang dapat
ditauladani hanyalah pemimpin yang melaksanakan ajaran agama secara konsekwen.
- Mengenai Kesejahteraan Rakyat
Tujuan pembangunan pada akhirnya
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara mendasar tujuan
pembangunan di Indonesian adalah untuk menuju masyarakat adil dan makmur,
matrial dan spiritual berdasarkan Pancasila. Tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia makin
lama makin meningkat. Kadang-kadang kita lupa bahwa kesejahteraan rakyatlah
yang di tuju. Sampai sekarang sebagian rakyat Indonesia masih miskin, sehingga
belum bisa menikmati hasil pembangunan. Dalam Kotaragama raja mempunyai berbagai macam dana yang
penggunaannya merupakan hak prerogratif raja, yang dipergunakan untuk
kesejahteraan rakyatnya.
- Mengenai Keadilan
Keadilan berkaitan dengan hak
azasi, Isue-isue yang berkembang dewasa ini adalah issue tentang keadilan.
Munculnya lembaga sosial Masyarakat yang bergerak dibidang hak azasi manusia di
satu pihak menunjukkan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya.
Ketidak adilan yang kerap
menimpa rakyat kecil, karena pada
umumnya karena rakyat kecil dianggap masih bodoh, sehingga mudah diperbodoh.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pembebasan tanah, terutama tanah yang
ditempati rakyat kecil akhir-akhir ini, banyak menjadi topik yang berkaitan
dengan hak azasi.
Nenek moyang kita telah
mengantisipasi masalah keadilan ini, seperti yang terdapat dalam Kotaragama.
Agar raja bertindak adil prosesnya dimulai dari ketetapan menentukan sangsi.
Demikian juga dalam menjatuhkan hukuman denda biasanya dikenakan pada kedua
belah pihak yang bersengketa.
Hal yang mungkin masih bias
dianggap relevan adalah solidaritas dalam menanggulangi gangguan keamanan atau
pencurian, kaitan dengan keadilan, seperti yang telah diuraikan terdahulu.
Kalau saja ketentuan semacam di dapat diterapkan pada masa sekarang ini tentu
gangguan Kamtibmas akan berkurang. Dengan mengeterapkan denda bagi seluruh
warga yang tidak membantu warganya. Ketentuan ini sekaligus memupuk mental
masyarakat menjadi kesatria berani
melawan rintangan. Sifat ini dahulu pernah kita miliki tatkala kita melawan
penjajah , dengan hanya menggunakan bambu runcing, sementara musuh kita
menggunakan persenjataan yang canggih.
- Mengenai Kedudukan Wanita
Hal yang kurang relevan dari
Kotaragama untuk situasi sekarang ini adalah kedudukan wanita. Ada dua hal yang merugikan wanita yaitu
hilangnya hak menjadi pejabat dan menjadi saksi. Hal tersenut selain
bertentangan dengan UUD 45, juga tidak sesuai dengan perkembangan kesadaran
masyarakat akan hak-hak azasi manusia.
Dewasa ini pemberian kesempatan
yang sama baik kepada pria maupun wanita dalam memperoleh pendidikan, serta makin
terbukannya dunia informasi, berpengaruh terhadap pola pikir keluarga. Pada
masa lalu (pola berpikir tradisional),
kesempatan memperoleh pendidikan hanya diberikan kepada kaum pria sedang kaum
perempuan cukup diberi bekal ketrampilan dalam mempersiapkan dirinya sebagai istri yang akan melaksanakan fungsi
kerumahtanggaan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian terdahulu
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Naskah
kuno sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa perlu dijaga dan di lestarikan
karena mengandung nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan masa kini.
2. Perlu
dilakukan upaya pengkajian naskah kuno secara terus menerus dalam rangka
mencari acuan pembangunan dan memperkuat jati diri.
3. Kebanggaan
terhadap kekayaan nilai budaya harus dipupuk, karena dengan itu kitan menemukan
jati diri kebangsaan yang dapat menjadi modal pembangunan.
Demikian beberapa kajian tentang
nilai-nilai yang terdapat dalam Kotaragama yang dianggap perlu untuk diuraikan.
Diharapkan nilai-nilai tersebut kita petik , dikaji dan disebarkan agar menjadi
acuan bagi kita saat ini dan generasi mendatang, demi mempertahankan keutuhan
bangsa dan mendorong semua aspek pembangunan menuju kesejahteraan sosial yang
adil dan merata.
Penulis: Dra. Hj. Sri Yaningsih . Dkk.
(Dibawakan dalam Seminar Masyarakat Manuskrip Indonesia di Bima - NTB)
[1] Ibid, hlm 10
[2] Danta = Gading Gajah , jika telah copot tidak bisa dipasang kembali, Danti = Ludah ,
jika telah di buang tidak dapat ditelan kembali , Kusuma=Bunga, jika telah
gugur tidak bisa kembali ketangkainya, Warsi = Hujan, jika telah tercurah tidak
akan kembali ke langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar