Translate

Rabu, 27 Mei 2015

Buang Au, Dimensi Sakralitas Tradisi Orang Sasak

Tradisi Buang Au atau membuang abu merupakan salah satu khazanah kebudayaan lokal turun temurun khas orang Sasak, etnis mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Buang Au adalah istilah yang digunakan oleh orang Sasak untuk menyebut upacara kelahiran bayi, seminggu setelah selesainya proses persalinan oleh seorang dukun beranak (balian). Upacara yang secara harfiah berarti membuang abu ini dilakukan setelah seorang balian yang menurut tradisinya selalu membakar arang yang kemudian ditaruhnya dibawah ranjang bayi. Tradisi membakar arang pasca persalinan ini dimaksudkan agar tubuh si jabang bayi merasakan kehangatan. Dalam upacara itu, seminggu setelah arang dibakar dan diletakkan, arang yang telah menjadi abu kemudian diambil dan dibuang. Proses upacara pembuangan abu inilah yang kemudian dikenal dengan tradisi upacara Buang Au.


Tidak ada yang tahu pasti kapan kesenian ini terlahir. Namun, yang perlu diketahui adalah bahwa tradisi Buang Au merupakan tradisi turun temurun yang konon telah lama dilakukan oleh masyarakat suku Sasak. Tak ayal, tradisi ini menjadi ritual yang tetap bertahan sampai sekarang, meskipun budaya modern telah merasuk pada kehidupan sebagian masyarakat Sasak. Disamping itu, barangkali yang menjadikan tradisi ini awet dan bertahan lama dikarenakan telah terlembagakannya pelaksanaan tradisi ini. Sebagaimana kita ketahui, prosesi pelaksanaan upacara Buang Au telah terlembagakan sedemikian rupa. Rangkaian acara yang ada telah lengkap dengan tatacaranya. Hal ini membuktikan bahwa tradisi ini memang selalu diwariskan dan dilembagakan oleh masyarakat Sasak. Meskipun pergantian pada setiap generasi tak dapat terhindarkan, prosesi acara dalam upacara Buang Au tetap berjalan tanpa ada perubahan yang signifikan di setiap generasinya.

Dalam pelaksanaannya, prosesi upacara Buang Au selain melibatkan banyak orang, prosesi ini juga selalu melibatkan seorang pemangku atau kiai. Dalam hal ini, seorang tuan rumah yang mengadakan rangkaian acara Buang Au, mempercayakan seluruh jalannya prosesi acara pada kiai ini. Sebelumnya, mereka juga melakukan konsultasi pada kiai/pemangku terkait dengan pemberian nama pada si jabang bayi. Menurut keyakinan orang Sasak, pemberian nama terhadap bayi tidak boleh dilakukan dengan cara sembarangan.
Bagi mereka, nama seorang bayi akan turut mempengaruhi masa depan dan nasib si jabang bayi dan keluarganya kelak. Jika nama yang diberikan tidak sesuai dengan diri sang bayi, maka nasibnya akan buruk, demikian juga sebaliknya, nama yang baik akan membuat masa depan si bayi cerah. Oleh karenanya, pemilihan nama biasanya dilakukan dengan cara berkonsultasi pada seorang pemangku. Bagaimanapun, seorang pemangku dipercaya memiliki kekuatan gaib dan ahli dalam ilmu perhitungan bulan sebagaimana para orang pintar di Jawa. Meskipun demikian, orang Sasak juga sering menggunakan nama kakek atau kakek buyutnya yang telah meninggal sebagai nama si bayi dalam rangka untuk menghormati dan mengenang mereka.

Adapun jalannya pelaksanaan prosesi upacara Buang Au, biasanya, diadakan di Berugak atau bale-bale, tempat untuk duduk-duduk khas masyarakat Sasak di Lombok saat berkumpul dan bersantai dengan sanak keluarganya. Karena upacara Buang Au ini dipimpin oleh seorang tokoh spiritual dan ritual, yakni Kiai, maka si tuan rumah atau dalam bahasa suku Sasak disebut dengan epen gawe mempercayakan sepenuhnya jalannya prosesi pada si Kiai ini. Si Kiai inilah yang menjadi tokoh sentral pada seluruh rangkaian upacara itu. Dari awal prosesi acara yang dilakukan seperti upacara pembersihan (Bedak keramas) terhadap si bayi, yakni pengolesan ramuan tertentu pada kening si bayi, disusul dengan rangkaian acara makan-makan dan berdoa bersama dengan para tamu, seorang Kiai-lah yang memimpin rangkaian prosesi itu.

Sementara itu, adapun beberapa alat yang digunakan dalam prosesi upacara Buang Au juga merupakan alat-alat khusus. Alat-alat seperti bedak keramas, lekesan dan sampak adalah alat-alat yang tidak pernah ketinggalan ketika upacara ini dilakukan. Bedak keramas merupakan campuran santan kelapa, sembek dan darah ayam yang ditaruh di tempurung kelapa. Sebagaimana yang telah disinggung, ramuan dari ketiga unsur inilah yang kemudian dioleskan di kening bayi dengan harapan agar ia mendapatkan berkah. 
Lekesan adalah hidangan tertentu yang dipersiapkan untuk sesajen sebagaimana yang ada pada suku-suku lain, seperti Jawa dan Madura. Adapun sampak merupakan alat yang terbuat dari tanah yang fungsinya hampir sama dengan nampan. Selain alat-alat itu, biasanya tuan rumah telah menyiapkan berbagai hidangan sebagai jamuan khusus yang dipersembahkan bagi para tamu undangan. Sajian menu utama dari hidangan para tamu undangan biasanya tak terlepas dari bahan-bahan daging sapi, kerbau, kambing ataupun ayam. Hidangan tersebut disesuaikan dengan kapasitas upacara yang ada.

Nilai-nilai Sakral dan Sosial-Kultural
Tradisi Buang Au, disamping menyimpan nilai-nilai keagamaan (sakral) orang Sasak, juga menjadi medium dan simbol bersosialisasi bagi mereka. Di sinilah tradisi Buang Au menjadi sebuah tradisi yang bermakna ganda, yakni tradisi yang memiliki dimensi sakralitas dan dimensi sosial-kultural. Dimensi sakralitas dari tradisi ini misalnya terletak pada salah satu bagian dari upacara tersebut, yakni peletakan lekesan (sesajen) di pojok atas rumah si tuan rumah. Peletakan lekesan menjadi sebuah simbol yang menunjukkan bahwa orang Sasak percaya akan adanya roh-roh leluhur yang dapat mendatangkan berkah ataupun bala’ bagi keturunan yang masih hidup. Oleh karenanya, dengan adanya lekesan, orang Sasak berharap agar keberkahanlah yang akan mereka dapatkan.

Sementara itu, dimensi sosial-kulturalnya dapat dilihat dari jalannya prosesi makan dan doa bersama dengan para tamu yang dipimpin langsung oleh seorang kiai/pemimpin ritual orang Sasak. Prosesi makan dan doa bersama ini juga menjadi salah satu bagian terpenting dari seluruh rangkaian acara dalam upacara Buang Au. Dalam konteks inilah, tradisi Buang Au sejalan dengan pemikiran Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa kesenian ataupun tradisi masyarakat juga berfungsi sebagai sebagai struktur sosial yang membangkitkan kesadaran kolektif manusia. Artinya, kita dapat mengatakan bahwa tradisi yang ditampilkan masyarakat Sasak bukanlah tradisi yang hanya berdasarkan aspek mitologis dan magis semata, sebagai ciri khas budaya tradisional-primitif dari suatu masyarakat. Lebih dari itu, tradisi kesenian yang ada dalam suatu masyarakat bagi orang Sasak merupakan kesenian yang menghubungkan pada kesadaran akan lingkungan sosial masyarakat. Maka, tidaklah salah jika pribadi orang Sasak dikenal dengan kesadarannya akan lingkungan ekologis dan sosial yang tinggi.

Berangkat dari kesadaran yang demikian, orang Sasak yang memiliki kekayaan khazanah budaya yang adiluhung selalu menempatkan dimensi sakralitas dan sosial-kulturalnya pada posisi yang tinggi di setiap praktek tradisi kebudayaan yang mereka ciptakan. Selain itu, orang Sasak juga memiliki penghayatan terhadap budaya, nilai-nilai, pandangan-pandangan hidup yang sangat kuat pada akar tradisinya. Menurut interpretasi penulis, penghayatan yang kuat ini dapat dikatakan turut melanggengkan tradisi di kalangan mereka. Disamping itu pelanggengan tradisi itu juga ditopang dengan adanya transmisi dan pelestarian budaya yang berjalan secara baik dan terus-menerus.

Dan apabila kita cermati, proses pelestarian budaya pada masyarakat Sasak memang telah dimulai semenjak dilahirkannya generasi baru. Dalam konteks inilah, tradisi Buang Au menjadi sebuah langkah awal dari usaha pentransmisian dan pelestarian budaya Sasak. Tradisi Buang Au seolah melukiskan bahwa ketika seorang manusia mulai terlahir dan berada dalam sebuah komunitas masyarakat, maka ia telah berada pada lingkaran budaya masyarakat itu. Agar seorang bayi itu kelak dapat mewarisi budaya nenek moyangnya dengan baik, maka ia harus benar-benar diikat dengan tali tradisi yang kuat semenjak ia masih kecil. Dengan demikian, kehadiran seorang bayi di tengah masyarakat Sasak menjadi sesuatu yang sungguh istimewa. Maka, untuk menyambut datangnya sesuatu yang teristimewa itu juga diperlukan sebuah ritual acara yang istimewa. Akhirnya, tradisi Buang Au memang dapat dipahami sebagai sebuah ritual yang kaya akan dimensi sakralitas dan sosial-kulturalnya. Ritual tradisi ini semakin mengokohkan bahwa bangsa Indonesia, umumnya dan suku bangsa Sasak khususnya memiliki tradisi adiluhung yang sangat perlu untuk terus dijaga dan dilestarikan sebagai ciri khas kebudayaan tanah air.

*Penulis:  Yanuar Arifin

1 komentar: