Translate

Rabu, 27 Mei 2015

Reparasi Tulang dari Leneng




 Mereka bukan montir yang bisa mereparasi kendaraan bermotor. Tapi keahliannya menyembuhkan tulang retak, tulang patah, bahkan tulang bengkok menjadi pulih seperti sediakala, tak ubahnya seorang montir. Mulanya mereka menjadi tumpuan kalangan kelas bawah atau masyarakat miskin yang tak mampu ke dokter spesialis tulang. Belakangan, orang-orang kelas berduit juga meminta mereka mereparasi tulangnya. Uniknya, mereka tidak mematok bayaran..............


Lalu Erwan, 24, punya rekor panjang soal patah tulang. Baru berusia tiga tahun, tangan kanannya patah. Waktu itu ia jatuh terguling dari jalan yang agak curam. Menjelang usia tujuh tahun, giliran tangan kirinya patah karena terjatuh dari ayunan. Seakan belum cukup, saat usianya menginjak 12 tahun tulang engkel kaki kirinya kembali patah setelah jatuh dari pohon kenari. Terakhir, tulang paha kanannya patah karena jatuh dari pohon randu saat ia duduk di kelas 2 SMU.
“Tak heran, kawanku menduga badanku yang ringkih begini karena sering mengalami patah tulang,” kata Erwan.
Cerita masa kecil itu sempat membuat orangtuanya nyaris putus asa. Betapa tidak, akibat rekor panjang patah tulang itu, orangtuanya khawatir tubuhnya jadi tak sempurna. Sebab ayah pemuda lulusan FKIP Unram ini, Lalu Kahar, tak sekali pun membawa anaknya ke dokter spesialis patah tulang.
Lalu kemana?
Tiap kali anaknya mengalami patah tulang, ia tinggal membawanya ke dukun patah tulang di Leneng, desa kecil di Kecamatan Praya, Lombok Tengah yang hingga kini dikenal menjadi alternatif pengobatan penderita patah tulang.
Ada lagi cerita lainnya tentang patah tulang. Didi, sepupu Erwan, semasa kuliah di Surabaya mengalami kecelakaan dan kakinya patah. Orang tua Didi tak mau kaki anaknya di-gips. Karena itu, Didi lantas diboyong pulang dan dibawa ke Leneng. Tak urung, cerita Erwan, dokter sempat bersitegang dengan orang tua Didi.
“Tapi terbukti, tulang Didi kembali baik seperti sediakala,” kata Erwan. Masih banyak lagi cerita tentang ampuhnya (sebut saja) “dukun” patah tulang di Leneng. Banyak pula beredar cerita-cerita tentang “kesaktian” dukun itu.
Kapankah pengobatan tradisional patah tulang itu dimulai?
Ternyata tak banyak yang tahu. Yang terang sampai sekarang, di Leneng bahkan di tempat lain di Lombok, begitu akrab di telinga mereka yang pernah merasakan khasiat urutan dukun patah tulang. Soal berapa orang yang tahu barangkali susah untuk mendatanya, tapi kalau Anda sesekali melintas ke Lombok Tengah coba tanyakan dimana dukun patah tulang itu, jawabannya pasti satu : Leneng.
Ada beberapa nama yang cukup kesohor di desa itu, misalnya Haji Zainal Arifin, Haji Khaerudin dan Haji Rifai. Beberapa diantaranya malah mendapat simpati dari beberapa badan pengobatan patah tulang tingkat dunia. Mereka dianggap tidak saja mumpuni sebagai dukun patah tulang, lebih dari itu mereka semakin menancapkan Leneng sebagai pusat reparasi tulang di Lombok.
Mereka umumnya dikenal di kalangan masyarakat dari golongan yang tidak mampu berobat ke rumah sakit. Bayangkan kalau seorang buruh tani yang upahnya hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari tiba-tiba anaknya terjatuh dan tulangnya patah. Kalau harus ke rumah sakit, mulai uang administrasi, rontgen, gips, dan sebagainya  betapa susahnya. Kalau berobat ke Leneng, cepat, murah, kekeluargaan dan ... cespleng.
Tapi jangan dikira hanya orang miskin yang bertandang ke Leneng. Ternyata, tak terhitung sudah pejabat atau mantan pejabat yang ditolong dukun patah tulang di Leneng.
Haji Zainal, 56, yang mungkin paling berpengalaman berkisah, pada 1989 ia pernah diminta datang oleh Gubernur NTB (waktu itu) Gatot Suherman ke Pendopo. Tugasnya mengurut kaki istri Jenderal Anton Sujarwo, Kapolri waktu itu, yang mengalami patah tulang ketika turun dari pesawat. Setelah sret-sret-sret...  beberapa menit berselang, Nyonya Kapolri sudah bisa berdiri dan berjalan kembali seperti biasa.
Haji Zainal hanya tersenyum melihat muka Kapolri dan Gubernur yang terheran-heran. ”Sejak itu, Gatot Suherman rajin berkunjung ke Leneng, sekedar meminta  mengurut kakinya,” cerita Zainal. Uniknya, pasien Haji Zainal ada juga dari kalangan dokter, diantaranya Dokter Kurnia yang mengalami patah kaki.
Leneng sebagai pusat reparasi patah tulang tak hanya tenar di Lombok. Keahlian dan bukti yang diberikan sampai juga ke telinga masyarakat di Pulau Sumbawa, Bali dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Mereka bahkan sampai kenyang pergi keliling ke daerah-daerah tersebut untuk mengobati para pasien patah tulang.
Ada kisah lagi dari Haji Zainal Arifin tentang pasien dari manca negara. Pada 1984, ia praktek pertama kali di sebuah losmen di Senggigi. Tak dinyana ia mendapat pasien turis dari mancanegara, namanya Raymond. Orang Flipina itu menderita patah tulang kering sewaktu berlibur di Lombok. Tak dijelaskan apa penyebabnya.
Setelah diurut, seminggu kemudian turis itu mulai bisa berdiri walau ditopang dengan tongkat. Untuk lebih memastikan, Raymond meminta Haji Zainal melakukan rawat jalan. Haji Zainal  tak ubahnya seorang perawat yang mesti ikut pindah dari satu hotel ke hotel lain tempat Raymond menginap. Tentu saja, segala kebutuhannya ditanggung.
Kurang dari sebulan kemudian, Raymond begitu girang. Patah tulang kering yang selama ini memaksanya  duduk di kursi roda, dalam waktu tak lama pulih seperti sediakala.
Sebagai tanda terima kasih, ia memberi piagam penghargaan. Rupanya Raymond adalah pengurus sebuah asosiasi kesehatan di Filipina.
Karena begitu terkesan dengan kemampuan dukun Leneng itu, Raymond mengajak Haji Zainal untuk praktek keliling di berbagai hotel di Jakarta. Hampir sebulan lebih ia keluar-masuk berbagai hotel berbintang, keluar-masuk gang di beberapa wilayah di Jakarta. Setelah itu ia berkelana ke beberapa kota di Surabaya, Malang, Jember, dan Bali. Pekerjaannya mirip montir bengkel kendaraan bermotor: mereparasi berbagai keluhan tulang patah, tulang retak dan tulang bengkok. ”Spesialis tulang” itu saban hari menarik, memijat, mengurut bagian tubuh yang patah.
Rumah Haji Zainal selalu ramai dikunjungi pasien. Laki-laki yang telah menekuni profesinya sejak masih duduk di bangku SR (sekarang SD) itu harus mereparasi tak kurang dari sepuluh orang per hari. Selesai satu orang, datang lagi dua sampai tiga orang, bahkan tidak jarang rumahnya tak cukup untuk menampung mereka. Karena yang datang terus bertambah, kini Haji Zainal menyulap rumah peninggalan orangtuanya menjadi tempat praktek. Mirip sebuah puskesmas, rumah itu memiliki banyak ruangan tempat tidur pasien. Tentu saja, jangan bayangkan ada fasilitas puskesmas pada umumnya. Di rumah praktek Haji Zainal, pasien mesti tidur di lantai beralaskan tikar.
Bagi pasien yang tak ingin repot soal makan selama ”opname”, keluarga pasien bisa masak sendiri di ruang dapur yang sudah disediakan. Atau kalau tidak, menantu Zainal bisa membantu memasakkannya.
Hal yang sama juga sudah dilakukan Haji Khaeruddin. Malah, keluarga dukun patah tulang ini ikut membantu masak tanpa minta imbalan sedikit pun. Baik Haji Zainal maupun Haji Khaerudin selama mengobati pasien sama-sama tidak pernah mematok bayaran. ”Seikhlasnya saja,” kata keduanya.

***

Bagi yang pernah menyaksikan cara para dukun patah tulang itu bekerja, cara mengurut mereka gampang-gampang susah. Menurut penuturan mereka, selain harus tahu bagaimana tulang si pasien patah, yang paling penting, sudah berapa lama tulang itu patah.
”Lamanya pengobatan tergantung kondisi tulang dan usia pasien,” tutur Haji Zainal. Untuk anak-anak patah tulangnya bisa kembali normal paling lama dua minggu, sedang bagi orang dewasa bisa makan waktu sampai satu setengah bulan. Untuk orang tua, paling lama tiga sampai empat bulan.
Faktor cepat atau lambatnya pasien datang berobat juga ikut menentukan tingkat kesembuhan. Karena, jika patah tulangnya terlalu lama dibiarkan kemungkinan cukup sulit untuk  kembali seperti semula. Umumnya, yang seperti itu tulang pasien pernah di-gips  dalam waktu lama di rumah sakit.
”Tulang pasien akan lama kembali seperti semula dan ketika diurut pasien akan merasa sangat kesakitan. Bahkan ada yang sampai keluar kencingnya,” kisah Haji Zainal. Kalau Haji Zainal hanya mengandalkan insting yang dilatih sejak kecil, Haji Khaerudin beruntung pernah belajar tentang struktur tulang.
Walau demikian, dokter  tulang pun merasa harus belajar dan bertukar pikiran dengan mereka berdua. Pernah suatu ketika, Haji Zainal kedatangan enam orang dokter tulang dari Jerman, salah satunya menderita patah tulang. Ternyata dokter yang lain  ingin melihat langsung cara Haji Zainal mengurut sekaligus belajar teknik mengurut. Cuma, usaha itu akhirnya sia-sia. Sebab sebagai tukang urut patah tulang, Zainal memiliki mantera-mantera ajaran leluhur yang tak mungkin dimiliki dokter-dokter itu.
Memang, sulit diterima akal sehat. Tapi karena itulah para dukun patah tulang itu membuat Leneng semakin terkenal, sekaligus tumpuan harapan masyarakat kurang mampu yang menderita patah tulang.



Keluarga Reparasi Patah Tulang
Di Leneng, ada tiga nama pendekar urut patah tulang yang kesohor, yaitu Haji Zainal Arifin, Haji Khaerudin, dan Haji Rifai. Merekalah yang selama ini mewarisi keahlian nenek moyangnya di Leneng. Tak dinyana, ternyata mereka masih terhitung saudara sepupu satu sama lain. Tak heran, cara mereka mengurut, bahan-bahan yang digunakan pun mirip. Keahlian mereka itu merupakan warisan dari orangtua. Bahan-bahan yang digunakan juga sama. Beberapa minyak oles yang terbuat dari 44  macam akar pohon, sejumput daun polah yang ditumbuk, dicampur dengan isi biji kemiri dengan daun pace sebagai bungkusnya. Tapi yang paling penting, kata mereka, semua bahan itu harus diberi mantera-mantera.
Tak jelas, mantera-mantera yang diucapkan itu seragam atau tidak. Tapi cara memperoleh mantera itu ternyata sama, yaitu lewat mimpi. ”Mantera itu sangat khusus sekali. Tak sembarang orang bisa memperolehnya,” tutur Haji Zainal.
Lewat mimpi itu Haji Zainal bahkan praktek dengan seorang pasien. Keesokan harinya, ia langsung didatangi pasien pertamanya, yang ternyata sama persis dalam mimpinya.
Tetapi mantera yang diperoleh itu bukannya tak meminta tumbal. Menurut pengakuan Haji Khaerudin, ia sampai mengalami tulang patah pada paha kanannya. Kejadian itu pun dialami  anaknya yang mengalami patah tulang pada kaki kanannya sehari setelah menerima ilmu darinya.
Keduanya sadar, keahlian mereka harus diteruskan. Haji Zainal misalnya, sering mengajak dua orang puteranya melihat langsung caranya mengurut. Sedangkan Darmawan, putera Haji Khaerudin sudah mahir mengurut. Kini ia tinggal dan tidak diijinkan pulang oleh majikannya di Korea Selatan karena membantu menyembuhkan kaki anak majikannya yang patah.




Dari Leneng Sampai Mapak

Di Lingkungan Dasan Mapak, Kelurahan Pagutan, Kota Mataram dikenal Haji Syaiful Arifin, 47,  yang juga memiliki kemampuan mengurut  patah tulang. Memang, Haji Syaiful Arifin tak punya pertalian darah dengan dukun patah tulang yang ada di Leneng. Tetapi cerita mengenai awal mendapatkan ilmu mengurut, bahan yang digunakan, tak jauh berbeda dengan tukang patah tulang di Leneng. Lewat mimpi pula, ayah Haji Syaiful Arifin menurunkan ilmunya.
Ketika RAKYAT menemuinya di Mapak, ia sedang sibuk mengurut pasien-pasiennya. Sore itu, ia tampak kelabakan melayani sekitar 20 orang pasien yang harus antri di halaman rumahnya. Semakin sore kadang halaman rumahnya penuh. Pasiennya cukup sabar menanti. Ada dari golongan biasa sampai golongan bermobil.
”Saya sudah ke dokter, tetapi kaki saya tetap tak ada perubahan. Atas anjuran teman, saya kemudian mencoba kesini,” kata Anto, seorang pasien yang datang dengan Blazer.
Dengan cekatan, Haji Syaiful mengurut bagian tubuh pasien yang patah, mengoleskan ramuan dari 44 macam rempah-rempah, membalut tubuh pasien dengan perban dan kapas yang menumpuk di berugaq itu.
                Tak jarang, sejak pagi sampai petang ia tak beranjak dari berugaq, tempatnya mengurut. Bahkan, ia pun terpaksa membatasi waktu mengurut sampai pukul sembilan malam. Karena kalau dibiarkan, sampai pukul dua malam pun pasien ada saja yang datang.
Sesekali, Haji Syaiful sambil mengurut mengeluarkan guyonan segarnya. Rupanya itu berguna menghibur pasien yang nampak sangat kesakitan. ”Dua kali seminggu harus kontrol ya, Pak,” guraunya menirukan kata-kata yang sering diucapkan dokter kepada pasiennya.
Pasien itu kemudian memasukkan sejumlah uang ke kantong bajunya. Entah sudah berapa rupiah isi kantong itu. Seperti halnya dukun patah tulang dimana pun, Syaiful tidak pernah mematok harga. ”Seikhlas mereka saja,” katanya.
                Keahlian yang diperolehnya sejak usia 24 tahun itu telah membawanya keliling ke beberapa kota di Semarang, Bali dan Malang. Tapi setelah naik haji, ia berhenti keliling. Cukup menunggu pasien datang ke rumahnya.

Sama dengan dukun di Leneng, Haji Syaiful menganjurkan tulang yang patah hendaknya segera dibawa ke tukang urut secepatnya. Karena kalau di-rontgen dan di-gips tulang patah butuh waktu untuk kembali seperti semula. (Tim TABLOID RAKYAT)


Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 11/Tahun I/Agustus-September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar