Mereka bukan montir yang bisa mereparasi kendaraan bermotor. Tapi keahliannya menyembuhkan tulang retak, tulang patah, bahkan tulang bengkok menjadi pulih seperti sediakala, tak ubahnya seorang montir. Mulanya mereka menjadi tumpuan kalangan kelas bawah atau masyarakat miskin yang tak mampu ke dokter spesialis tulang. Belakangan, orang-orang kelas berduit juga meminta mereka mereparasi tulangnya. Uniknya, mereka tidak mematok bayaran..............
Lalu Erwan, 24, punya rekor panjang soal patah
tulang. Baru berusia tiga tahun, tangan kanannya patah. Waktu itu ia jatuh
terguling dari jalan yang agak curam. Menjelang usia tujuh tahun, giliran
tangan kirinya patah karena terjatuh dari ayunan. Seakan belum cukup, saat
usianya menginjak 12 tahun tulang engkel kaki kirinya kembali patah setelah
jatuh dari pohon kenari. Terakhir, tulang paha kanannya patah karena jatuh dari pohon randu saat ia
duduk di kelas 2 SMU.
“Tak heran, kawanku menduga badanku yang ringkih
begini karena sering mengalami patah tulang,” kata Erwan.
Cerita masa kecil itu sempat membuat orangtuanya
nyaris putus asa. Betapa tidak, akibat rekor panjang patah tulang itu, orangtuanya
khawatir tubuhnya jadi tak sempurna. Sebab ayah pemuda lulusan FKIP Unram ini,
Lalu Kahar, tak sekali pun membawa anaknya ke dokter spesialis patah tulang.
Lalu kemana?
Tiap kali anaknya mengalami patah tulang, ia
tinggal membawanya ke dukun patah tulang di Leneng, desa kecil di Kecamatan
Praya, Lombok Tengah yang hingga kini dikenal menjadi alternatif pengobatan
penderita patah tulang.
Ada lagi cerita lainnya tentang patah tulang.
Didi, sepupu Erwan, semasa kuliah di Surabaya mengalami kecelakaan dan kakinya
patah. Orang tua Didi tak mau kaki anaknya di-gips. Karena itu, Didi
lantas diboyong pulang dan dibawa ke Leneng. Tak urung, cerita Erwan, dokter
sempat bersitegang dengan orang tua Didi.
“Tapi terbukti, tulang Didi kembali baik seperti
sediakala,” kata Erwan. Masih banyak lagi cerita tentang ampuhnya (sebut saja)
“dukun” patah tulang di Leneng. Banyak pula beredar cerita-cerita tentang
“kesaktian” dukun itu.
Kapankah pengobatan tradisional patah tulang itu
dimulai?
Ternyata tak banyak yang tahu. Yang terang sampai
sekarang, di Leneng bahkan di tempat lain di Lombok, begitu akrab di telinga
mereka yang pernah merasakan khasiat urutan dukun patah tulang. Soal berapa
orang yang tahu barangkali susah untuk mendatanya, tapi kalau Anda sesekali
melintas ke Lombok Tengah coba tanyakan dimana dukun patah tulang itu,
jawabannya pasti satu : Leneng.
Ada beberapa nama yang cukup kesohor di desa itu,
misalnya Haji Zainal Arifin, Haji Khaerudin dan Haji Rifai. Beberapa
diantaranya malah mendapat simpati dari beberapa badan pengobatan patah tulang
tingkat dunia. Mereka dianggap tidak saja mumpuni sebagai dukun patah tulang,
lebih dari itu mereka semakin menancapkan Leneng sebagai pusat reparasi tulang
di Lombok.
Mereka umumnya dikenal di kalangan masyarakat
dari golongan yang tidak mampu berobat ke rumah sakit. Bayangkan kalau seorang
buruh tani yang upahnya hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari tiba-tiba
anaknya terjatuh dan tulangnya patah. Kalau harus ke rumah sakit, mulai uang administrasi,
rontgen, gips, dan sebagainya betapa susahnya. Kalau berobat ke Leneng,
cepat, murah, kekeluargaan dan ... cespleng.
Tapi jangan dikira hanya orang miskin yang
bertandang ke Leneng. Ternyata, tak terhitung sudah pejabat atau mantan pejabat
yang ditolong dukun patah tulang di Leneng.
Haji Zainal, 56, yang mungkin paling
berpengalaman berkisah, pada 1989 ia pernah diminta datang oleh Gubernur NTB
(waktu itu) Gatot Suherman ke Pendopo. Tugasnya mengurut kaki istri Jenderal
Anton Sujarwo, Kapolri waktu itu, yang mengalami patah tulang ketika turun dari
pesawat. Setelah sret-sret-sret... beberapa menit berselang, Nyonya Kapolri sudah
bisa berdiri dan berjalan kembali seperti biasa.
Haji Zainal hanya tersenyum melihat muka Kapolri
dan Gubernur yang terheran-heran. ”Sejak itu, Gatot Suherman rajin berkunjung
ke Leneng, sekedar meminta mengurut
kakinya,” cerita Zainal. Uniknya, pasien Haji Zainal ada juga dari kalangan
dokter, diantaranya Dokter Kurnia yang mengalami patah kaki.
Leneng sebagai pusat reparasi patah tulang tak
hanya tenar di Lombok. Keahlian dan bukti yang diberikan sampai juga ke telinga
masyarakat di Pulau Sumbawa, Bali dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Mereka
bahkan sampai kenyang pergi keliling ke daerah-daerah tersebut untuk mengobati
para pasien patah tulang.
Ada kisah lagi dari Haji Zainal Arifin tentang
pasien dari manca negara. Pada 1984, ia praktek pertama kali di sebuah losmen
di Senggigi. Tak dinyana ia mendapat pasien turis dari mancanegara, namanya
Raymond. Orang Flipina itu menderita patah tulang kering sewaktu berlibur di
Lombok. Tak dijelaskan apa penyebabnya.
Setelah diurut, seminggu kemudian turis itu mulai
bisa berdiri walau ditopang dengan tongkat. Untuk lebih memastikan, Raymond meminta Haji
Zainal melakukan rawat jalan. Haji Zainal tak ubahnya seorang perawat yang mesti ikut
pindah dari satu hotel ke hotel lain tempat Raymond menginap. Tentu saja,
segala kebutuhannya ditanggung.
Kurang dari sebulan kemudian, Raymond begitu girang. Patah tulang
kering yang selama ini memaksanya duduk
di kursi roda, dalam waktu tak lama pulih seperti sediakala.
Sebagai tanda terima kasih, ia memberi piagam penghargaan. Rupanya
Raymond adalah pengurus sebuah asosiasi kesehatan di Filipina.
Karena begitu terkesan dengan kemampuan dukun Leneng itu, Raymond
mengajak Haji Zainal untuk praktek keliling di berbagai hotel di Jakarta.
Hampir sebulan lebih ia keluar-masuk berbagai hotel berbintang, keluar-masuk
gang di beberapa wilayah di Jakarta. Setelah itu ia berkelana ke beberapa kota
di Surabaya, Malang, Jember, dan Bali. Pekerjaannya mirip montir bengkel
kendaraan bermotor: mereparasi berbagai keluhan tulang patah, tulang retak dan
tulang bengkok. ”Spesialis tulang” itu saban hari menarik, memijat, mengurut
bagian tubuh yang patah.
Rumah Haji Zainal selalu ramai dikunjungi pasien. Laki-laki yang telah
menekuni profesinya sejak masih duduk di bangku SR (sekarang SD) itu harus
mereparasi tak kurang dari sepuluh orang per hari. Selesai satu orang, datang
lagi dua sampai tiga orang, bahkan tidak jarang rumahnya tak cukup untuk
menampung mereka. Karena yang datang terus bertambah, kini Haji Zainal menyulap
rumah peninggalan orangtuanya menjadi tempat praktek. Mirip sebuah puskesmas,
rumah itu memiliki banyak ruangan tempat tidur pasien. Tentu saja, jangan
bayangkan ada fasilitas puskesmas pada umumnya. Di rumah praktek Haji Zainal,
pasien mesti tidur di lantai beralaskan tikar.
Bagi pasien yang tak ingin repot soal makan selama ”opname”, keluarga
pasien bisa masak sendiri di ruang dapur yang sudah disediakan. Atau kalau
tidak, menantu Zainal bisa membantu memasakkannya.
Hal yang sama juga sudah dilakukan Haji Khaeruddin. Malah, keluarga
dukun patah tulang ini ikut membantu masak tanpa minta imbalan sedikit pun.
Baik Haji Zainal maupun Haji Khaerudin selama mengobati pasien sama-sama tidak
pernah mematok bayaran. ”Seikhlasnya saja,” kata keduanya.
***
Bagi yang pernah menyaksikan cara para dukun patah tulang itu bekerja,
cara mengurut mereka gampang-gampang susah. Menurut penuturan mereka, selain
harus tahu bagaimana tulang si pasien patah, yang paling penting, sudah berapa
lama tulang itu patah.
”Lamanya pengobatan tergantung kondisi tulang dan usia pasien,” tutur
Haji Zainal. Untuk anak-anak patah tulangnya bisa kembali normal paling lama
dua minggu, sedang bagi orang dewasa bisa makan waktu sampai satu setengah
bulan. Untuk orang tua, paling lama tiga sampai empat bulan.
Faktor cepat atau lambatnya pasien datang berobat juga ikut menentukan
tingkat kesembuhan. Karena, jika patah tulangnya terlalu lama dibiarkan
kemungkinan cukup sulit untuk kembali
seperti semula. Umumnya, yang seperti itu tulang pasien pernah di-gips dalam waktu lama di rumah sakit.
”Tulang pasien akan lama kembali seperti semula
dan ketika diurut pasien akan merasa sangat kesakitan. Bahkan ada yang sampai
keluar kencingnya,” kisah Haji Zainal. Kalau Haji Zainal hanya mengandalkan
insting yang dilatih sejak kecil, Haji Khaerudin beruntung pernah belajar
tentang struktur tulang.
Walau demikian, dokter tulang pun merasa harus belajar dan bertukar
pikiran dengan mereka berdua. Pernah suatu ketika, Haji Zainal kedatangan enam
orang dokter tulang dari Jerman, salah satunya menderita patah tulang. Ternyata
dokter yang lain ingin melihat langsung
cara Haji Zainal mengurut sekaligus belajar teknik mengurut. Cuma, usaha itu
akhirnya sia-sia. Sebab sebagai tukang urut patah tulang, Zainal memiliki
mantera-mantera ajaran leluhur yang tak mungkin dimiliki dokter-dokter itu.
Memang, sulit diterima akal sehat. Tapi karena
itulah para dukun patah tulang itu membuat Leneng semakin terkenal, sekaligus
tumpuan harapan masyarakat kurang mampu yang menderita patah tulang.
Di Leneng, ada tiga nama pendekar urut patah
tulang yang kesohor, yaitu Haji Zainal Arifin, Haji Khaerudin, dan Haji Rifai.
Merekalah yang selama ini mewarisi keahlian nenek moyangnya di Leneng. Tak dinyana, ternyata mereka masih terhitung
saudara sepupu satu sama lain. Tak heran, cara mereka mengurut, bahan-bahan yang digunakan pun mirip.
Keahlian mereka itu merupakan warisan dari orangtua. Bahan-bahan yang digunakan
juga sama. Beberapa minyak oles yang terbuat dari 44 macam akar pohon, sejumput daun polah yang
ditumbuk, dicampur dengan isi biji kemiri dengan daun pace sebagai bungkusnya. Tapi
yang paling penting, kata mereka, semua bahan itu harus diberi mantera-mantera.
Tak jelas, mantera-mantera yang diucapkan itu
seragam atau tidak. Tapi cara memperoleh mantera itu ternyata sama, yaitu lewat
mimpi. ”Mantera itu sangat khusus sekali. Tak sembarang orang bisa
memperolehnya,” tutur Haji Zainal.
Lewat mimpi itu Haji Zainal bahkan praktek dengan
seorang pasien. Keesokan harinya, ia langsung didatangi pasien pertamanya, yang
ternyata sama persis dalam mimpinya.
Tetapi mantera yang diperoleh itu bukannya tak
meminta tumbal. Menurut pengakuan Haji
Khaerudin, ia sampai mengalami tulang patah pada paha kanannya. Kejadian itu
pun dialami anaknya yang mengalami patah
tulang pada kaki kanannya sehari setelah menerima ilmu darinya.
Keduanya sadar, keahlian mereka harus diteruskan.
Haji Zainal misalnya, sering mengajak dua orang puteranya melihat langsung
caranya mengurut. Sedangkan Darmawan, putera Haji Khaerudin sudah mahir
mengurut. Kini ia tinggal dan tidak diijinkan pulang oleh majikannya di Korea
Selatan karena membantu menyembuhkan kaki anak majikannya yang patah.

Ketika RAKYAT menemuinya di Mapak, ia
sedang sibuk mengurut pasien-pasiennya. Sore itu, ia tampak kelabakan melayani
sekitar 20 orang pasien yang harus antri di halaman rumahnya. Semakin sore
kadang halaman rumahnya penuh. Pasiennya cukup sabar menanti. Ada dari golongan
biasa sampai golongan bermobil.
”Saya sudah ke dokter, tetapi kaki saya tetap tak
ada perubahan. Atas anjuran teman, saya kemudian mencoba kesini,” kata Anto,
seorang pasien yang datang dengan Blazer.
Dengan cekatan, Haji Syaiful mengurut bagian
tubuh pasien yang patah, mengoleskan ramuan dari 44 macam rempah-rempah,
membalut tubuh pasien dengan perban dan kapas yang menumpuk di berugaq
itu.
Tak
jarang, sejak pagi sampai petang ia tak beranjak dari berugaq, tempatnya
mengurut. Bahkan, ia pun terpaksa
membatasi waktu mengurut sampai pukul sembilan malam. Karena kalau dibiarkan,
sampai pukul dua malam pun pasien ada saja yang datang.
Sesekali, Haji Syaiful sambil mengurut
mengeluarkan guyonan segarnya. Rupanya itu berguna menghibur pasien yang nampak
sangat kesakitan. ”Dua kali seminggu harus kontrol ya, Pak,” guraunya menirukan
kata-kata yang sering diucapkan dokter kepada pasiennya.
Pasien itu kemudian memasukkan sejumlah uang ke
kantong bajunya. Entah sudah berapa rupiah isi kantong itu. Seperti halnya
dukun patah tulang dimana pun, Syaiful tidak pernah mematok harga. ”Seikhlas
mereka saja,” katanya.
Keahlian
yang diperolehnya sejak usia 24 tahun itu telah membawanya keliling ke beberapa
kota di Semarang, Bali dan Malang. Tapi setelah naik haji, ia berhenti
keliling. Cukup menunggu pasien datang ke rumahnya.
Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 11/Tahun I/Agustus-September 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar