Translate

Jumat, 29 Mei 2015

Lombok Khas: Bukan Perempuan Biasa


Kerja fisik tak sepenuhnya monopoli laki-laki. 
Tengoklah keseharian buruh pengangkut bahan material bangunan yang biasa terlihat di Lombok Barat. Dibalik penampilannya sebagai perempuan lugu –umumnya perempuan desa—mereka adalah perempuan dengan kekuatan ekstra. Mengangkut pasir di tengah terik atau hujan, bukan soal. Diantara mereka termasuk adalah ibu rumah tangga dengan segudang anak.  Pasir, kerikil, batu bata,  adalah teman keseharian mereka. Seperti tentara, perempuan-perempuan itu berdiri di atas truk-truk yang melaju kencang membawa mereka ke lokasi proyek..................................


AZAN MAGRIB sudah lama selesai menggema. Matahari merah mulai berganti gelap. Lampu-lampu di sepanjang jalan  sekitar kawasan Rembiga, Mataram, satu per satu menyala. Orang-orang yang sejak sore ramai lalu-lalang di jalan itu perlahan-lahan berkurang. Rumah-rumah di pinggirnya sudah mulai menutup pintu.
Kota seperti bergegas beranjak istirahat. Tapi tidak bagi perempuan-perempuan pengangkut kerikil dan pasir di salah satu sudut jalan, yang masih saja sibuk bekerja. Malam makin merambat, seorang perempuan sibuk mengisi bakul-bakul itu dengan pasir. Keringatnya terus menetes padahal udara malam mulai dingin.
Salimah, 26,  salah seorang dari mereka mengaku sudah bekerja sejak dua jam lalu. Ia bersama sebelas orang temannya diminta mengangkut pasir sebanyak tiga dam. Ongkos untuk tenaganya dan sebelas perempuan lainnya cukup dibayar Rp 25 ribu.
Mereka juga sepenuhnya sadar upahnya memang tak seberapa dengan mengangkut pasir di satu proyek saja. Makanya sekelompok perempuan yang berasal dari kampung Rerot, Kelurahan Bagek Polaq, Kecamatan Gunung Sari itu harus berpindah dari proyek satu ke proyek lain, sejak pagi.
Hari Jumat itu adalah hari yang mujur bagi Salimah dan teman-temannya. Mereka sedang kebanjiran order, apalagi pasir yang harus diangkut tak pernah kurang dari tiga dam. ”Padahal sebelumnya kami dapat dua proyek sehari saja sudah syukur,” kata Salimah.
Melakoni pekerjaan sebagai buruh pengangkut material bangunan, berpindah dari proyek satu ke proyek lain, bagi perempuan-perempuan itu seperti satu-satunya pilihan yang harus dijalani. ”Yang penting halal, Mas,” timpal seorang perempuan yang sedang mengangkut pasir. Mereka tampak bersemangat dan wajah-wajah itu selalu gembira.
Magrib sudah berganti azan isya’. Salimah dan kelompoknya masih juga menyelesaikan tumpukan pasir yang seperti tak habis-habis itu. Peluh yang sejak tadi sore mengering sedikit demi sedikit kembali membasahi baju kumalnya.
Menjalani pekerjaan sebagai perempuan pengangkut bahan bangunan bukanlah monopoli Salimah dan kelompoknya semata. Masih ada beberapa kelompok perempuan lainnya. Di beberapa proyek sekitar Mataram, ada belasan kelompok perempuan yang saban hari mengangkut pasir, kerikil dari jalan besar ke tempat proyek.
Mereka selalu bersama kelompok ’abadi’-nya. Tidak jarang perempuan-perempuan itu bekerja sampai larut malam. Apa boleh buat, hal itu menjadi tuntutan pemilik proyek agar pasir atau kerikil mereka cepat habis terangkat. Dan upahnya? Tentu saja mereka tak punya kekuatan untuk menawar. Berapa pun ongkos mengisi Dam, mereka membagi rata ke sejumlah kelompoknya.
Ada lagi potret buruh perempuan pengangkut material bangunan dari desa Ranjok, Gunung Sari. Inaq Maisah, 32, harus lebih pagi berangkat dari rumahnya. Karena jarak dari rumahnya ke jalan besar lumayan jauh. Di sebuah jalan besar sudah menunggu delapan orang anggota kelompoknya.
Sebetulnya, diantara kelompoknya, hanya Inaq Maisah yang rumahnya paling jauh. Makanya, walau sudah beberapa truk Dam datang menjemput, mereka tetap saja tidak mau meninggalkan Inaq Maisah. Mungkin itu bagian dari solidaritas. ”Kita ini sama-sama hidup susah, jadi kalau berangkat ya sama-sama, pulangnya juga sama-sama,” tutur Ani, salah seorang anggota kelompok yang usianya lebih muda.
Sambil menunggu jemputan truk Dam, waktu mereka habiskan dengan bercengkerama, saling bertukar cerita soal suami dan anak-anak mereka. Tak jarang, tutur Inaq Maisah, bila salah seorang anggota kelompok mendapat masalah keluarga atau apa saja, selalu menjadi bahan ”curhat” diantara mereka.
”Pernah, lewat curhat masalah diantara kami bisa dicari jalan keluarnya,” ucap Inaq Maisah dalam Bahasa Sasak yang sekali waktu bercampur Bahasa Indonesia. Ia sudah delapan tahun bergelut sebagai buruh. Tentu saja tak jarang curhat itu berlanjut di atas truk Dam yang melaju.
Tidak jelas, apakah kebiasaan itu benar-benar dapat meringankan beban hidup yang mereka alami. Bagaimanapun, terkadang sehari penuh perempuan-perempuan itu meninggalkan rumah, suami dan anaknya. Hanya berbekal sebotol air minum, beberapa takilan (bungkus) nasi,  Maisah dan perempuan-perempuan lainnya mencoba membantu meringankan beban kebutuhan keluarga. Tentu saja, jangan ditanya apakah upah yang mereka terima sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
Anehnya, tak jelas mengapa yang bergelut di pekerjaan ini semuanya perempuan?
Ketika ditanya, perempuan-peremppuan itu sendiri malah tidak tahu. Padahal, mengangkut material bangunan seperti pasir, kerikil dan batu bata dari satu proyek pindah ke proyek lain selama ini dianggap wilayah laki-laki.
Hanya satu hal yang mudah ditebak. Perempuan-perempuan perkasa itu semuanya berasal dari pinggiran kota. Keberadaan mereka rata-rata dekat dengan lokasi galian C, tak asing dengan lalu-lalang truk Dam pengangkut galian C tersebut. Karena itu juga mudah ditebak, upah mereka lebih murah dari umumnya buruh laki-laki. ”Memangnya mau kerja apalagi,” kata Ani.
Tak heran, beberapa sopir truk Dam yang ditanya cukup akrab dengan wajah dan pekerjaan mereka. Bagaimana pun kalau ketiban proyek, sopir-sopir itu selalu membutuhkan tenaga buruh perempuan untuk mengangkut muatan bahan material bangunan itu.
Menurut pengakuan beberapa diantara mereka, sopir-sopir itu sering mengambil untung sebagai makelar. Jika memerlukan tenaga buruh pengangkut, pemilik proyek gampangnya mengontak sopir, lalu sopir yang mencari buruh perempuan. Tentu saja para sopir itu dapat komisi. Jadi gampang saja, untuk mengontak order buruh perempuan itu tergantung kedekatan dengan sopir Dam.
Tapi sopir yang makelar itu terkadang tak punya rasa simpati pada buruh-buruh perempuan itu. Setelah selesai, perempuan-perempuan itu akan diantar  pulang ke tempat tinggal asal membayar ongkos angkut. ”Kalau lagi apes, upah angkut pasir separuhnya habis untuk ongkos truk,” kata Inaq Maisah.
Apa boleh buat, tak ada pilihan lain kecuali harus tetap dekat dengan para sopir itu. Sebab kerja sebagai pengangkut material bangunan, seperti cerita ibu dua anak itu, tak bisa diharapkan selalu ada. ”Kadang ada, kadang tidak ada,” kenang Maisah. Disinilah peran penting seorang makelar yang kebanyakan sopir-sopir truk Dam. Tinggal bagaimana perempuan-perempuan itu membina hubungan dengan sopir.
Lain lagi cerita Inaq Hasanah, 45, buruh pengangkut yang berasal dari Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari. Ketika ditemui, ibu enam orang anak itu sedang menunggu truk jemputan bersama kelompoknya. ”Dari jam tujuh pagi tadi saya meninggalkan suami dan anak,” tuturnya.
Soal meninggalkan suami dan anak itu pula, Inaq Hasanah musti pintar-pintar memahami perasaan suaminya. Penghasilan suaminya yang seorang tukang bangunan terkadang tak selalu mengepulkan asap dapur. Inaq Hasanah mengaku selama ini suaminya tak melarang ia bekerja dari pagi hingga malam.
Di perempatan jalan Sayang-sayang, sebuah truk Dam berhenti. Tanpa banyak bicara, belasan perempuan perkasa berloncatan ke atas truk. Akhirnya mereka pulang. Tak terlihat sedikit pun raut lelah di wajah mereka. Yang ada hanya gembira. (Tim TABLOID RAKYAT)




Demi Sekolah Dua Anak
Tak disangka rata-rata buruh pengangkut bahan material bangunan di Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, mampu menyekolahkan anak-anaknya dari upah mengangkut material bangunan. Hanya sebatas SMP memang. Salah satunya yang berhasil ditemui adalah Inaq Maerah.
Ditemui di rumahnya yang bangunannya sudah permanen, Maerah tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Kebetulan hari itu ia tidak pergi bekerja mengangkut. ”Lagi ndak enak badan,” katanya membuka percakapan.
Untuk bisa menyekolahkan ketiga anaknya, perempuan berusia 42 tahun ini sudah berkeringat sebagai pengangkut material bangunan selama lima belas tahun. Hebatnya lagi, ia berjuang seorang diri, karena suaminya sudah meninggal sejak ketiga anaknya masih kecil.
Anak perempuan pertamanya sudah menamatkan SMP. Beban Inaq Maerah sedikit ringan, karena anaknya itu sudah menikah. Ia tinggal berkeringat untuk dua anaknya yang masih duduk di kelas 3 SMP dan kelas 5 SD.
Inaq Maerah mungkin mewakili potret kehidupan buruh perempuan di Kekeri. Bersama 15 orang rekan kelompoknya, setiap hari ia harus bangun lebih pagi lalu pulang setelah hari sudah gelap. ”Sejak usia belasan tahun, saya sudah ikut orang tua jadi buruh pengangkut material bangunan,” tuturnya. Sesekali matanya menerawang, mengingat masa kecil yang dipaksa hidup di panas terik matahari, pindah dari satu proyek ke proyek lain.
Kalau lagi mujur, katanya, kelompoknya bisa mendapat order mengangkut material bangunan 30 dam. Satu dam ia diberi upah Rp 10 ribu. Setelah dibagi rata ke kelompoknya, Inaq Maerah harus puas membawa pulang Rp 20 ribu. ”Tapi jumlah itu belum dipotong ongkos angkutan untuk pulang,” katanya.
Matanya menerawang, kulitnya yang hitam legam seolah menjadi saksi perjuangan hidupnya. Sepeninggal suaminya, Inaq Maerah tak mau menikah lagi. ”Saya ingin membesarkan ketiga anak saya sendiri,” ungkapnya.
Ia berharap kehidupan anaknya berubah lebih baik dari nasibnya. Selagi kedua anaknya masih sekolah, ia bertekad untuk tetap bekerja sebagai buruh pengangkut material bangunan. 


Sejak Dulu dari Kekeri


Matahari belum sempat muncul. Minggu pagi itu, udara sebenarnya cukup dingin. Sebagian besar warga Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, masih enggan beranjak dari tempat tidur mereka. Maklum dingin rasanya masih menusuk hingga ke tulang. Desa mereka masih tidur.

Namun di salah satu pertigaan jalan desa, sejumlah mata sebenarnya telah terjaga lebih dahulu. Suara mereka bahkan terdengar bersahut-sahutan. Mereka duduk berderet di pinggiran sepanjang jalan pertigaan. Wajah mereka terlihat kuyu. Untuk menghilangkan udara pagi yang masih terasa dingin, tangan mereka memeluk bakul. Mereka sisi lain dari ratusan warga Kekeri yang harus bangun sejak dini hari, lalu segera memulai aktivitas sebagai buruh pengangkut material bangunan. Mereka semuanya perempuan.

Suara deru mesin truk yang mendekati mereka, seperti menjadi aba-aba keseharian bahwa waktu bekerja telah tiba. Tanpa dikomando, perempuan-perempuan ini langsung berloncatan ke atas truk setelah bakul, sekop, dan perlengkapan lain dilempar sekenanya. Sejuruh kemudian, truk itu berlalu membawa mereka entah kemana.
Kejadian itu hampir tiap hari terjadi di desa Kekeri. Kebanyakan sopir-sopir truk Dam yang punya proyek bangunan, mengenal Kekeri sebagai kantong buruh perempuan pengangkut bahan material bangunan.
Seperti dituturkan Sukri, seorang sopir kepada RAKYAT, selain jumlahnya banyak, buruh perempuan di Kekeri lebih gampang untuk dihubungi. ”Kita cukup menghubungi satu orang saja, nanti dia sendiri yang mencari anggota kelompoknya,” katanya.
Hal serupa juga dituturkan sopir lainnya. Karenanya, desa itu sering disebut sebagai kantong buruh perempuan pengangkut material. Tak semua desa  bisa menyediakan tenaga buruh perempuan pengangkut material bangunan seperti Kekeri. Dan tentu saja, tak semua desa bisa memahami perempuan yang bekerja sebagai buruh.
Sejak kapan  Kekeri dikenal sebagai kantong buruh perempuan, sampai sekarang masih belum jelas. Namun, beberapa warga yang ditanya  mengatakan sejak tahun 60-an di desa Kekeri sudah dibuka lahan galian C seperti pasir, kerikil, kadang-kadang batu kali. Tenaga buruh perempuan sudah mulai muncul.
Sepanjang jalan menuju lokasi galian C  itu, truk-truk berjejer antri untuk melakukan pengisian material. Jika sudah terisi, biasanya sopir memanggil beberapa buruh perempuan untuk ikut ke tempat dimana galian C itu akan diantar.
Mustakim, seorang tukang ojek yang kerap mangkal di pertigaan Kekeri menuturkan, ayahnya pernah bercerita sejak pertama kali Bandara Selaparang dibangun, buruh-buruhnya berasal dari Kekeri. Banyak yang perempuan pula.
Maka, kalau melintas di jalan-jalan desa Kekeri waktu siang hari, jangan kaget kalau mata Anda jarang melihat perempuan. ”Siang hari, umumnya perempuan-perempuan desa bekerja sebagai buruh ke berbagai proyek,” tutur Mustakim. Kalau sudah begitu, terkadang sopir kalau membutuhkan tenaga buruh perempuan harus memesan satu hari sebelumnya kepada salah seorang anggota kelompok.
Saat senja mulai tiba, pemandangan khas mulai terlihat. Satu persatu truk datang mengantar perempuan-perempuan Desa Kekeri. Seperti tentara selesai berperang, perempuan-perempuan itu melompat dari truk dengan gagah. Kadang-kadang mereka tampak lelah, mukanya terlihat kusam. Ketika seorang perempuan muda menyibak kain bajunya, debu-debu beterbangan. Meski begitu, mereka selalu tersenyum. Bedanya, bakul dan sekop mereka terlihat masih ada sisa-sisa pasir, debu kerikil yang melekat.
”Tidak perlu dibersihkan. Toh besok juga juga bakul dan sekop ini akan saya pakai lagi,” tukas Inaq Hasanah, seorang buruh, sambil membalikkan badannya. (Tim TABLOID RAKYAT)

sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 12/Tahun I/September-Oktober 2003



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar