Kerja
fisik tak sepenuhnya monopoli laki-laki.
Tengoklah keseharian buruh pengangkut
bahan material bangunan yang biasa terlihat di Lombok Barat. Dibalik
penampilannya sebagai perempuan lugu –umumnya perempuan desa—mereka adalah
perempuan dengan kekuatan ekstra. Mengangkut pasir di tengah terik atau hujan,
bukan soal. Diantara mereka termasuk adalah ibu rumah tangga dengan segudang
anak. Pasir, kerikil, batu bata, adalah teman keseharian mereka. Seperti
tentara, perempuan-perempuan itu berdiri di atas truk-truk yang melaju kencang
membawa mereka ke lokasi proyek..................................
AZAN MAGRIB sudah lama selesai menggema. Matahari merah
mulai berganti gelap. Lampu-lampu di sepanjang jalan sekitar kawasan Rembiga, Mataram, satu per satu
menyala. Orang-orang yang sejak sore ramai lalu-lalang di jalan itu
perlahan-lahan berkurang. Rumah-rumah di pinggirnya sudah mulai menutup pintu.
Kota seperti bergegas beranjak istirahat. Tapi
tidak bagi perempuan-perempuan pengangkut kerikil dan pasir di salah satu sudut
jalan, yang masih saja sibuk bekerja. Malam makin merambat, seorang perempuan
sibuk mengisi bakul-bakul itu dengan pasir. Keringatnya terus menetes padahal
udara malam mulai dingin.
Salimah, 26, salah seorang dari mereka mengaku sudah
bekerja sejak dua jam lalu. Ia bersama sebelas orang temannya diminta mengangkut pasir sebanyak tiga
dam. Ongkos untuk tenaganya dan sebelas perempuan lainnya cukup dibayar Rp 25
ribu.
Mereka juga sepenuhnya sadar upahnya memang tak
seberapa dengan mengangkut pasir di satu proyek saja. Makanya sekelompok
perempuan yang berasal dari kampung Rerot, Kelurahan Bagek Polaq, Kecamatan
Gunung Sari itu harus berpindah dari proyek satu ke proyek lain, sejak pagi.
Hari Jumat itu adalah hari yang mujur bagi
Salimah dan teman-temannya. Mereka sedang kebanjiran order, apalagi pasir yang
harus diangkut tak pernah kurang dari tiga dam. ”Padahal sebelumnya kami dapat
dua proyek sehari saja sudah syukur,” kata Salimah.
Melakoni pekerjaan sebagai buruh pengangkut
material bangunan, berpindah dari proyek satu ke proyek lain, bagi
perempuan-perempuan itu seperti satu-satunya pilihan yang harus dijalani. ”Yang
penting halal, Mas,” timpal seorang perempuan yang sedang mengangkut pasir.
Mereka tampak bersemangat dan wajah-wajah itu selalu gembira.
Magrib sudah berganti azan isya’. Salimah dan
kelompoknya masih juga menyelesaikan tumpukan pasir yang seperti tak
habis-habis itu. Peluh yang sejak tadi sore mengering sedikit demi sedikit kembali
membasahi baju kumalnya.
Menjalani pekerjaan sebagai perempuan pengangkut
bahan bangunan bukanlah monopoli Salimah dan kelompoknya semata. Masih ada
beberapa kelompok perempuan lainnya. Di beberapa proyek sekitar Mataram, ada
belasan kelompok perempuan yang saban hari mengangkut pasir, kerikil dari jalan
besar ke tempat proyek.
Mereka selalu bersama kelompok ’abadi’-nya. Tidak
jarang perempuan-perempuan itu bekerja sampai larut malam. Apa boleh buat, hal
itu menjadi tuntutan pemilik proyek agar pasir atau kerikil mereka cepat habis
terangkat. Dan upahnya? Tentu saja
mereka tak punya kekuatan untuk menawar. Berapa pun ongkos mengisi Dam, mereka
membagi rata ke sejumlah kelompoknya.
Ada lagi potret buruh perempuan pengangkut
material bangunan dari desa Ranjok, Gunung Sari. Inaq Maisah, 32, harus lebih
pagi berangkat dari rumahnya. Karena jarak dari rumahnya ke jalan besar lumayan
jauh. Di sebuah jalan besar sudah menunggu delapan orang anggota kelompoknya.
Sebetulnya, diantara kelompoknya, hanya Inaq
Maisah yang rumahnya paling jauh. Makanya, walau sudah beberapa truk Dam datang
menjemput, mereka tetap saja tidak mau meninggalkan Inaq Maisah. Mungkin itu
bagian dari solidaritas. ”Kita ini sama-sama hidup susah, jadi kalau berangkat
ya sama-sama, pulangnya juga sama-sama,” tutur Ani, salah seorang anggota
kelompok yang usianya lebih muda.
Sambil menunggu jemputan truk Dam, waktu mereka
habiskan dengan bercengkerama, saling bertukar cerita soal suami dan anak-anak
mereka. Tak jarang, tutur Inaq Maisah, bila salah seorang anggota kelompok
mendapat masalah keluarga atau apa saja, selalu menjadi bahan ”curhat” diantara
mereka.
”Pernah, lewat curhat masalah diantara kami bisa
dicari jalan keluarnya,” ucap Inaq Maisah dalam Bahasa Sasak yang sekali waktu
bercampur Bahasa Indonesia. Ia sudah delapan tahun bergelut sebagai buruh.
Tentu saja tak jarang curhat itu berlanjut di atas truk Dam yang melaju.
Tidak jelas, apakah kebiasaan itu benar-benar
dapat meringankan beban hidup yang mereka alami. Bagaimanapun, terkadang sehari
penuh perempuan-perempuan itu meninggalkan rumah, suami dan anaknya. Hanya
berbekal sebotol air minum, beberapa takilan (bungkus) nasi, Maisah dan perempuan-perempuan lainnya
mencoba membantu meringankan beban kebutuhan keluarga. Tentu saja, jangan
ditanya apakah upah yang mereka terima sebanding dengan tenaga yang
dikeluarkan.
Anehnya, tak jelas mengapa yang bergelut di
pekerjaan ini semuanya perempuan?
Ketika ditanya, perempuan-peremppuan itu sendiri
malah tidak tahu. Padahal, mengangkut material bangunan seperti pasir, kerikil
dan batu bata dari satu proyek pindah ke proyek lain selama ini dianggap
wilayah laki-laki.
Hanya satu hal yang mudah ditebak. Perempuan-perempuan perkasa itu semuanya berasal
dari pinggiran kota. Keberadaan mereka rata-rata dekat dengan lokasi galian C,
tak asing dengan lalu-lalang truk Dam pengangkut galian C tersebut. Karena itu
juga mudah ditebak, upah mereka lebih murah dari umumnya buruh laki-laki.
”Memangnya mau kerja apalagi,” kata Ani.
Tak heran, beberapa sopir truk Dam yang ditanya
cukup akrab dengan wajah dan pekerjaan mereka. Bagaimana pun kalau ketiban
proyek, sopir-sopir itu selalu membutuhkan tenaga buruh perempuan untuk
mengangkut muatan bahan material bangunan itu.
Menurut pengakuan beberapa diantara mereka,
sopir-sopir itu sering mengambil untung sebagai makelar. Jika memerlukan tenaga
buruh pengangkut, pemilik proyek gampangnya mengontak sopir, lalu sopir yang
mencari buruh perempuan. Tentu saja para sopir itu dapat komisi. Jadi gampang
saja, untuk mengontak order buruh perempuan itu tergantung kedekatan dengan
sopir Dam.
Tapi sopir yang makelar itu terkadang tak punya
rasa simpati pada buruh-buruh perempuan itu. Setelah selesai, perempuan-perempuan
itu akan diantar pulang ke tempat
tinggal asal membayar ongkos angkut. ”Kalau lagi apes, upah angkut pasir
separuhnya habis untuk ongkos truk,” kata Inaq Maisah.
Apa boleh buat, tak ada pilihan lain kecuali
harus tetap dekat dengan para sopir itu. Sebab kerja sebagai pengangkut
material bangunan, seperti cerita ibu dua anak itu, tak bisa diharapkan selalu
ada. ”Kadang ada, kadang tidak ada,” kenang Maisah. Disinilah peran penting seorang
makelar yang kebanyakan sopir-sopir truk Dam. Tinggal bagaimana
perempuan-perempuan itu membina hubungan dengan sopir.
Lain lagi cerita Inaq Hasanah, 45, buruh
pengangkut yang berasal dari Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari. Ketika
ditemui, ibu enam orang anak itu sedang menunggu truk jemputan bersama kelompoknya.
”Dari jam tujuh pagi tadi saya meninggalkan suami dan anak,” tuturnya.
Soal meninggalkan suami dan anak itu pula, Inaq
Hasanah musti pintar-pintar memahami perasaan suaminya. Penghasilan suaminya
yang seorang tukang bangunan terkadang tak selalu mengepulkan asap dapur. Inaq
Hasanah mengaku selama ini suaminya tak melarang ia bekerja dari pagi hingga
malam.
Di perempatan jalan Sayang-sayang, sebuah truk
Dam berhenti. Tanpa banyak bicara, belasan perempuan perkasa berloncatan ke
atas truk. Akhirnya mereka pulang. Tak terlihat sedikit pun raut lelah di wajah
mereka. Yang ada hanya gembira. (Tim TABLOID RAKYAT)
Demi Sekolah Dua Anak
Tak disangka rata-rata buruh pengangkut bahan
material bangunan di Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, mampu menyekolahkan
anak-anaknya dari upah mengangkut material bangunan. Hanya sebatas SMP memang.
Salah satunya yang berhasil ditemui adalah Inaq Maerah.
Ditemui di rumahnya yang bangunannya sudah
permanen, Maerah tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Kebetulan hari itu ia
tidak pergi bekerja mengangkut. ”Lagi ndak enak badan,” katanya membuka
percakapan.
Untuk bisa menyekolahkan ketiga anaknya,
perempuan berusia 42 tahun ini sudah berkeringat sebagai pengangkut material bangunan
selama lima belas tahun. Hebatnya lagi, ia berjuang seorang diri, karena
suaminya sudah meninggal sejak ketiga anaknya masih kecil.
Anak perempuan pertamanya sudah menamatkan SMP.
Beban Inaq Maerah sedikit ringan, karena anaknya itu sudah menikah. Ia tinggal
berkeringat untuk dua anaknya yang masih duduk di kelas 3 SMP dan kelas 5 SD.
Inaq Maerah mungkin mewakili potret kehidupan buruh
perempuan di Kekeri. Bersama 15 orang rekan kelompoknya, setiap hari ia harus
bangun lebih pagi lalu pulang setelah hari sudah gelap. ”Sejak usia belasan
tahun, saya sudah ikut orang tua jadi buruh pengangkut material bangunan,”
tuturnya. Sesekali matanya menerawang, mengingat masa kecil yang dipaksa hidup
di panas terik matahari, pindah dari satu proyek ke proyek lain.
Kalau lagi mujur, katanya, kelompoknya bisa
mendapat order mengangkut material bangunan 30 dam. Satu dam ia diberi upah Rp
10 ribu. Setelah dibagi rata ke kelompoknya, Inaq Maerah harus puas membawa
pulang Rp 20 ribu. ”Tapi jumlah itu belum dipotong ongkos angkutan untuk
pulang,” katanya.
Matanya menerawang, kulitnya yang hitam legam
seolah menjadi saksi perjuangan hidupnya. Sepeninggal suaminya, Inaq Maerah tak
mau menikah lagi. ”Saya ingin membesarkan ketiga anak saya sendiri,” ungkapnya.
Ia berharap kehidupan anaknya berubah lebih baik
dari nasibnya. Selagi kedua anaknya masih sekolah, ia bertekad untuk tetap bekerja
sebagai buruh pengangkut material bangunan.
Matahari belum sempat muncul. Minggu pagi itu,
udara sebenarnya cukup dingin. Sebagian besar warga Desa Kekeri, Kecamatan
Gunung Sari, masih enggan beranjak dari tempat tidur mereka. Maklum dingin
rasanya masih menusuk hingga ke tulang. Desa mereka masih tidur.
Namun di salah satu pertigaan jalan desa,
sejumlah mata sebenarnya telah terjaga lebih dahulu. Suara mereka bahkan
terdengar bersahut-sahutan. Mereka duduk berderet di pinggiran sepanjang jalan
pertigaan. Wajah mereka terlihat kuyu. Untuk menghilangkan udara pagi yang
masih terasa dingin, tangan mereka memeluk bakul. Mereka sisi lain dari ratusan
warga Kekeri yang harus bangun sejak dini hari, lalu segera memulai aktivitas
sebagai buruh pengangkut material bangunan. Mereka semuanya perempuan.
Suara deru mesin truk yang mendekati mereka,
seperti menjadi aba-aba keseharian bahwa waktu bekerja telah tiba. Tanpa
dikomando, perempuan-perempuan ini langsung berloncatan ke atas truk setelah
bakul, sekop, dan perlengkapan lain dilempar sekenanya. Sejuruh kemudian, truk
itu berlalu membawa mereka entah kemana.
Kejadian itu hampir tiap hari terjadi di desa Kekeri.
Kebanyakan sopir-sopir truk Dam yang punya proyek bangunan, mengenal Kekeri
sebagai kantong buruh perempuan pengangkut bahan material bangunan.
Seperti dituturkan Sukri, seorang sopir kepada RAKYAT,
selain jumlahnya banyak, buruh perempuan di Kekeri lebih gampang untuk
dihubungi. ”Kita cukup menghubungi satu orang saja, nanti dia sendiri yang
mencari anggota kelompoknya,” katanya.
Hal serupa juga dituturkan sopir lainnya.
Karenanya, desa itu sering disebut sebagai kantong buruh perempuan pengangkut
material. Tak semua desa bisa
menyediakan tenaga buruh perempuan pengangkut material bangunan seperti Kekeri.
Dan tentu saja, tak semua desa bisa memahami perempuan yang bekerja sebagai
buruh.
Sejak kapan Kekeri dikenal sebagai kantong buruh
perempuan, sampai sekarang masih belum jelas. Namun, beberapa warga yang
ditanya mengatakan sejak tahun 60-an di
desa Kekeri sudah dibuka lahan galian C seperti pasir, kerikil, kadang-kadang
batu kali. Tenaga buruh perempuan sudah mulai muncul.
Sepanjang jalan menuju lokasi galian C itu, truk-truk berjejer antri untuk melakukan
pengisian material. Jika sudah terisi, biasanya sopir memanggil beberapa buruh
perempuan untuk ikut ke tempat dimana galian C itu akan diantar.
Mustakim, seorang tukang ojek yang kerap mangkal
di pertigaan Kekeri menuturkan, ayahnya pernah bercerita sejak pertama kali Bandara
Selaparang dibangun, buruh-buruhnya berasal dari Kekeri. Banyak yang perempuan
pula.
Maka, kalau melintas di jalan-jalan desa Kekeri
waktu siang hari, jangan kaget kalau mata Anda jarang melihat perempuan. ”Siang
hari, umumnya perempuan-perempuan desa bekerja sebagai buruh ke berbagai
proyek,” tutur Mustakim. Kalau sudah begitu, terkadang sopir kalau membutuhkan
tenaga buruh perempuan harus memesan satu hari sebelumnya kepada salah seorang
anggota kelompok.
Saat senja mulai tiba, pemandangan khas mulai
terlihat. Satu persatu truk datang mengantar perempuan-perempuan Desa Kekeri.
Seperti tentara selesai berperang, perempuan-perempuan itu melompat dari truk
dengan gagah. Kadang-kadang mereka tampak lelah, mukanya terlihat kusam. Ketika
seorang perempuan muda menyibak kain bajunya, debu-debu beterbangan. Meski
begitu, mereka selalu tersenyum. Bedanya, bakul dan sekop mereka terlihat masih
ada sisa-sisa pasir, debu kerikil yang melekat.
”Tidak perlu dibersihkan. Toh besok juga
juga bakul dan sekop ini akan saya pakai lagi,” tukas Inaq Hasanah, seorang
buruh, sambil membalikkan badannya. (Tim TABLOID RAKYAT)
sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 12/Tahun I/September-Oktober 2003
sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 12/Tahun I/September-Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar