Translate

Rabu, 27 Mei 2015

Menu Ramadhan a la Dayen Peken

Bulan Ramadhan tiba, menahan haus dan lapar di siang hari. Hanya yang berpuasa akan menikmati lezatnya saat-saat berbuka. Berbuka puasa, akan lebih nikmat bila tersedia kue-kue asli Sasak. Siapa pernah menyantap sarimuka, laman, lapis bendera, susun ijo, wajik, kue lobak, klepon, talam nangka, cendul, putu mayang, abuk, putri mandi, poteng dan jaje tujak, dan masih banyak yang lain, akan tahu kayanya seni memasak orang Sasak. Apalagi juga mencicipi  masakan pelecing urap, pelecing ayam, olah-olah, ebatan, sate pusut, opor, rawon gedang, ares, gulai lemak atau reraon. Di halaman pusat perbelanjaan Ampenan Cerah Ceria atau ACC (sekarang Barata) atau di Pasar Kebon Roek di Ampenan, setiap bulan puasa puluhan pedagang menggelar makanan tradisional itu. Pedagang makanan itu, sebagian besar berasal dari kampung Dayen Peken, Ampenan Utara. Hanya sebagian kecil berasal dari kampung Telaga Emas yang lebih dikenal dengan nama Karang Kerem.----------



Jajan dan masakan Sasak pernah berjasa bagi pelukis kondang Lombok, I Wayan Pengsong. Ceritanya, waktu pelukis yang pandai memasarkan karyanya itu kedatangan kolektor lukisan dari Jakarta. Lepas magrib, Pengsong menerima telpon dari Hotel Sheraton Senggigi agar menjemput. ”Saya diajak makan malam dulu,” kisahnya.
Kolektor yang banyak menginvestasi benda-benda seni itu sudah bosan makan dengan menu di hotel. Tapi mau ngajak makan di restoran yang menyuguhkan fast food seperti KFC atau Mc Donald, tentu ditolak. Mau ngajak ke rumah makan yang menyuguhkan ayam taliwang, jangan-jangan nggak cocok. Akhirnya Pengsong berpikir gampang, lebih baik diajak makan di rumahnya.
Setelah berunding dengan istrinya, berangkatlah ia menjemput sang kolektor. Sementara itu, istrinya juga berangkat mengendarai mobil yang dikemudikan anaknya. Tujuannya ke Jalan Saleh Sungkar, Ampenan. Di pinggir Jalan Saleh Sungkar, istrinya memesan sayur ares, ebatan, olah-olah, sate pusut dan tai lale serta beberapa bungkus pepes ikan laut. Selain itu juga membeli penganan seperti putu mayang, putri mandi, susun ijo, dan laman serta poteng dan jaje tujak.
Pendek cerita, menu itu diatur apik di ruang makan yang langsung bisa melihat lukisan-lukisan Pengsong dalam berbagai ukuran. Tak dinyana, kolektor itu sangat lahap menyantap menu dari pinggir jalan di Ampenan itu. Rupanya tamunya itu juga punya apresiasi soal makanan tradisional. Tamu itu menyesalkan, kenapa hotel-hotel berbintang tak memodifikasi makanan setempat untuk hidangan tamunya.
”Jajan Sasak dinilai cukup lezat, meski kadang terlalu manis. Sedang masakannya, tak terlalu banyak bumbu sehingga dapat dinikmati rasa bahan aslinya. Menu Sasak itu dianggap sebagai menu sehat,” ujar Pengsong menceritakan komentar tamunya.
Tentu saja, bagi Pengsong, yang penting bukan pujian itu. Tapi kolektor itu jadi membeli lukisannya. Tak jelas, apa karena puas disuguhi menu Sasak, kolektor itu membeli dua lukisan ukuran besar dengan harga yang tertera tanpa menawar. Tanpa berdebat ini-itu tentang gaya lukisan  Pengsong  dalam ”mengimitasi” suasana kelokalan Lombok. Yang jelas, harganya mencapai puluhan juta. ”Padahal belanja istri saya cuma habis 14 ribu rupiah,” tuturnya sambil tertawa.

***

     



                Sampai sekarang, masakan Sasak sering diidentikkan dengan ayam taliwang. Seolah-olah hanya itu, seolah-olah masakan Sasak hanya berhubungan dengan sambal beberuk atau sejenisnya. Padahal jenisnya lebih beragam dari sekedar yang berbau sambal-sambalan itu.

                Memangnya dimana dapat ditemukan makanan khas Sasak? Ada yang memberi penjelasan yang berbeda. Misalnya soal kue atau jaje, di beberapa desa di Lombok Timur ada jajan renggi dan opak-opak, yang terbuat dari beras ketan  berbentuk bundar seperti kipas dan diberi gula merah. Sedang masakan, ada yang menyebut bebalung, yang bahannya banyak dari tulang iga sapi. Di beberapa tempat di Mataram, ada rumah makan yang ramai pengunjung dengan menu khusus ini.

                Tapi masakan dan jajan khas Sasak di Ampenan paling bervariasi. Hingga sekarang pun, Ampenan seolah-olah menjadi standar. Kalau daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Makassar, Palembang, atau Padang punya makanan khas tertentu, sebenarnya Ampenan pun tak kalah. Memang harus diakui, yang dimiliki orang Ampenan kurang terkenal karena memang tak ada upaya-upaya menjadikannya menasional.
Kalau ayam taliwang bisa dikatakan lebih dikenal di tingkat nasional. Bukan saja di beberapa tempat di Mataram terdapat restoran dengan menu itu, dan di kampung Taliwang, Cakra sendiri usaha itu juga berkembang pesat. Di Bali dan Jakarta pun ayam taliwang diminati konsumen. Sedang masakan yang ada di Ampenan itu, belum menjadi usaha dalam skala besar. Kalau toh sudah dijual di tempat permanen, paling-paling masakan Sukaraja.
Di bulan puasa, datangilah puluhan penjual makanan yang berderet di ACC atau di Pasar Kebon Roek. Hanya di Ampenan ternyata makanan khas Sasak demikian lezat dan bervariasi. ”Sayur olah-olah yang bersantan itu mirip masakan Jawa Timur, tapi rasanya lebih lezat,” ujar Riyanto Rabbah, wartawan  yang pada bulan puasa ini sering terlihat membeli makanan di Pasar Kebon Roek.
Memang tiap hari, khususnya sore hingga malam, di sepanjang Jalan Yos Sudarso atau Jalan Saleh Sungkar Ampenan, pada bulan-bulan selain Ramadhan deretan pedagang menjual makanan-makanan itu. Namun di bulan Ramadhan, khususnya beberapa waktu menjelang berbuka, jumlahnya berlipat, dan jenisnya pun bervariasi.
Baik di ACC maupun di Kebon Roek, puluhan pedagang itu seperti berlomba membuat makanan yang paling enak. ”Kalau bulan biasa saya cuma jual sayur, tapi bulan puasa ini saya juga buat jajan,” kata Inaq Rukiyah, dari Dayen Peken.
Di beberapa tempat di Mataram, seperti di Jalan Airlangga-Gomong atau di depan Mesjid Raya, ada satu-dua pedagang makanan itu. Demikian juga di beberapa tempat di Cakra. Namun orang lebih sreg kalau sudah berangkat ke Ampenan. Kabarnya, yang lebih terasa selera Sasaknya memang yang ada di Ampenan.

                 Kenapa demikian? Tak lain, karena tukang masak yang handal itu berasal dari Ampenan. Tak mengherankan kalau yang berbelanja di Ampenan jumlahnya juga berlipat. Tentu saja bukan hanya warga Ampenan, tapi konsumennya juga dari Mataram dan Cakranegara. Memang tidak sedikit juru masak, tapi tukang masak dari Ampenan punya riwayat lebih panjang. Dan yang punya riwayat panjang itu adalah orang-orang dari kampung Dayen Peken.  (Tim TABLOID RAKYAT)


 
Warung Jaman Pelabuhan


Pasar Ampenan bisa dikatakan paling ramai di Lombok pada zamannya. Tentu saja, karena saat itu Ampenan menjadi pusat dagang. Sebelum orang mengenal Mataram atau lainnya, orang luar sudah mengenal Pelabuhan Ampenan. Sebagai daerah pelabuhan dan pusat dagang, tentu diikuti gairah kegiatan ekonomi masyarakat sekitarnya. Termasuk pertumbuhan pasar, tempat bertemunya produsen barang dan konsumennya.

Dayen Peken maksudnya adalah kampung yang terletak di utara pasar. Pasar di Ampenan itu dulu hanya ada di pinggir Kali Jangkok yang memisahkannya dari Kampung Banjar, atau di ujung timur Kampung  Melayu. Lokasinya pas di depan sekolah Cina milik Tjong Hwa- Tjong Hwi (sejak Orde Baru sudah ditutup).

Waktu jaya-jayanya Pelabuhan Ampenan, sekitar tahun 1960, warga kampung Dayen Peken-lah yang banyak membuka warung-warung makanan sepanjang pelabuhan hingga perempatan (atau perlimaan) Ampenan. Tapi diantara banyak yang berjualan itu, hanya beberapa warung makan yang dikenal. Seperti Warung Varia (Inaq Ipuq yang dilanjutkan Inaq Nurseah), Warung Setia (Inaq Selehe), Warung Mulia (Inaq Jisah) dan Warung Kita (Wak Nik yang berasal dari Jawa). Semua pemilik warung itu berasal dari kampung Dayen Peken dan semuanya kini sudah meninggal.

Karena itu kebanyakan generasi ”cewek-cewek” Dayen Peken zaman itu lebih banyak ketemu orang luar. Misalnya, salah seorang anak pemilik Warung Varia kawin dengan seorang nakhoda kapal dari Semarang. Sedang saudara lainnya kawin dengan awak kapal yang berasal dari Menado. Mungkin juga pertemuan dengan orang dari luar itu, membuat makanan buatan orang Dayen Peken lebih bervariasi. Karena seleranya sudah mendapat pengaruh dari luar.
Orang-orang dari Dayen Peken juga berjualan kue-kue di sekitar Bioskop Ramayana sejak tahun 50-an (ada yang bercerita, kalau soal kue-kue itu biasanya dibuat orang Karang Kerem atau Sukaraja). Gedung bioskop itu merupakan hiburan utama dan satu-satunya tempat keramaian paling diminati di Ampenan. Konon, tokoh pergerakan Saleh Sungkar sering duduk di sebuah kedai es di belakang bioskop, diskusi politik dengan sejawatnya sambil menikmati kue laman dan minum es kelapa muda.
Ampenan bukan saja tempat berlabuhnya kapal dagang besar. Tapi juga satu-satunya tempat pemberangkatan seluruh penduduk NTB yang akan bepergian ke luar daerah. Termasuk yang akan berangkat ke Tanah Suci. Khusus yang akan berangkat haji, sedikitnya selama seminggu jemaah pengantarnya akan menginap di Ampenan. Tentu saja, betapa sibuknya penjual makanan yang melayani mereka.
”Sejak jaman itu, orang Dayen Peken sudah dikenal pandai memasak,” cerita Haji Mahfud yang tinggal di Ampenan Utara.
Seorang budayawan pernah bicara tentang makanan. Menurutnya, makanan merupakan wujud selera dan daya hidup masyarakat. Rasa makanan mencerminkan pergaulan, termasuk harapan akan pengakuan. Kue-kue berarti juga menjadi simbol kebanggaan akan hangatnya pergaulan. Demikian juga lauk-pauk tentu saja bukan sekedar teman melahap nasi, tapi juga sekaligus perwujudan hausnya pujian. Orang Dayen Peken memiliki ”selera” pergaulan seperti kue-kue dan masakannya.(Tim TABLOID RAKYAT)



Berkah Bulan Suci

Belanjalah lauk-pauk untuk buka puasa yang banyak dijual di pinggir jalan di Barata atau di Kebon Roek Ampenan. Dapat dipastikan para penjualnya adalah orang Dayen Peken. Tak satu pun dari kampung luar. Coba saja kalau berani.
”Pernah dari kampung lain jualan, lama-lama tidak ada yang beli,” kata Inaq Juariyah atau biasa dipanggil Inaq Jo sungguh-sungguh. Alasannya tak lain, hanya orang Dayen Peken yang masakannya memenuhi selera pembeli. Dan racikan ragi (bumbu) masakan itu hanya ”orang dalam” yang boleh tahu.
Kalau sekarang ada puluhan pedagang makanan yang berderet sepanjang Jalan Niaga, Yos Sudarso, Saleh Sungkar atau di Kebon Roek, juga punya riwayat masa lalu. Ternyata mereka adalah generasi penerus dari Warung Mulia dan Warung Setia. Hanya Warung Kita yang anak-anaknya atau keluarganya tak lagi melanjutkan tradisi keluarga berjualan makanan. Mungkin saja karena pemiliknya berasal dari Jawa. Sedang Warung Varia, meski anak-anaknya tak ada yang berjualan, tapi banyak keluarganya yang merasa punya ”garis keturunan” penjual makanan. Sebagian besar dari mereka sekarang banyak berjualan di halaman parkir Barata (jalan Niaga) dan di Pasar Kebon Roek.
Inaq Rusmini adalah anak Inaq Jisah (pemilik Warung Mulia) yang saat ini juga berjualan makanan di kampungnya. Salah seorang yang pernah kerja di Warung Mulia adalah Inaq Rukiyah yang kini berjualan di Pasar Kebon Roek. Sebelumnya, selama sekitar dua tahun Inaq Ruk kerja di Warung Madya (Cakranegara) yang sempat terkenal tahun 90-an. ”Kalau punya modal, saya ingin buka warung sendiri,” katanya.
Wajar kalau Inaq Ruk punya obsesi itu. Tapi di bulan puasa ini, penghasilannya pun boleh dibilang lumayan. Inaq Ruk yang  berjualan mulai jam dua siang sampai magrib, omzetnya bisa mencapai Rp 300 ribu. Itu pun termasuk sepi. Ia tak mau menyebut berapa untungnya.
Sedang Juariyah (Inaq Jo), Misnah atau Atik (ketiganya masih ada hubungan keluarga), yang berjualan di areal Barata mengaku, dalam sehari berjualan omzetnya bisa sampai Rp 400 ribu. Itu pun tidak termasuk ramai. Biasanya kalau tengah bulan, waktu ibu-ibu mulai membuat kue (berarti tak sempat masak) omzetnya terus meningkat. Jadi kalau dihitung, tidak sedikit uang yang berputar di Dayen Peken selama bulan Ramadhan ini.
”Kami ini pahlawan keluarga,” kata Misnah sambil tertawa, waktu dipotret.
Soal penghasilan itu memang tergantung banyaknya jumlah makanan yang dijual. Dan soal jumlah itu juga tergantung modal yang dimiliki masing-masing pedagang. Belum diketahui, apakah pemerintah kota bisa melihat bulan puasa ini sebagai momentum memberdayakan ”ekonomi kerakyatan” seperti sering disuarakan Walikota Ruslan.
Tapi bagi para pedagang itu, mereka mengaku sudah terbiasa hidup tanpa perhatian pemerintah. Berjualan makanan di bulan Ramadhan seperti halnya menjalani kewajiban tradisi. Tradisi yang menjadikan suasana kotanya berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Sudah sejak lama, bulan Ramadhan berarti maraknya kue-kue dan masakan di sudut-sudut Ampenan.
             Kalau mereka mendapat untung, merupakan berkah bulan suci yang jarang bisa didapat seperti bulan-bulan lainnya. ”Memang rejekinya di bulan ramadhan,” kata Rukiyah. (Tim TABLOID RAKYAT) 



Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 13/Tahun II/Oktober-November 2003 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar