Bulan Ramadhan tiba, menahan haus dan lapar di
siang hari. Hanya yang berpuasa akan menikmati lezatnya saat-saat berbuka.
Berbuka puasa, akan lebih nikmat bila tersedia kue-kue asli Sasak. Siapa pernah
menyantap sarimuka, laman, lapis bendera, susun ijo, wajik, kue lobak,
klepon, talam nangka, cendul, putu mayang, abuk, putri mandi, poteng dan jaje
tujak, dan masih banyak yang lain, akan tahu kayanya seni memasak orang
Sasak. Apalagi juga mencicipi masakan pelecing
urap, pelecing ayam, olah-olah, ebatan, sate pusut, opor, rawon gedang, ares,
gulai lemak atau reraon. Di halaman pusat perbelanjaan Ampenan
Cerah Ceria atau ACC (sekarang Barata) atau di Pasar Kebon Roek di Ampenan,
setiap bulan puasa puluhan pedagang menggelar makanan tradisional itu. Pedagang
makanan itu, sebagian besar berasal dari kampung Dayen Peken, Ampenan Utara. Hanya
sebagian kecil berasal dari kampung Telaga Emas yang lebih dikenal dengan nama
Karang Kerem.----------
Jajan dan masakan Sasak pernah berjasa bagi
pelukis kondang Lombok, I Wayan Pengsong. Ceritanya, waktu pelukis yang pandai
memasarkan karyanya itu kedatangan kolektor lukisan dari Jakarta. Lepas magrib,
Pengsong menerima telpon dari Hotel Sheraton Senggigi agar menjemput. ”Saya
diajak makan malam dulu,” kisahnya.
Kolektor yang banyak menginvestasi benda-benda
seni itu sudah bosan makan dengan menu di hotel. Tapi mau ngajak makan
di restoran yang menyuguhkan fast food seperti KFC atau Mc
Donald, tentu ditolak. Mau ngajak ke rumah makan yang menyuguhkan ayam
taliwang, jangan-jangan nggak cocok. Akhirnya Pengsong berpikir
gampang, lebih baik diajak makan di rumahnya.
Setelah berunding dengan istrinya, berangkatlah
ia menjemput sang kolektor. Sementara itu, istrinya juga berangkat mengendarai
mobil yang dikemudikan anaknya. Tujuannya ke Jalan Saleh Sungkar, Ampenan. Di
pinggir Jalan Saleh Sungkar, istrinya memesan sayur ares, ebatan, olah-olah,
sate pusut dan tai lale serta beberapa bungkus pepes ikan
laut. Selain itu juga membeli penganan seperti putu mayang, putri mandi,
susun ijo, dan laman serta poteng dan jaje tujak.
Pendek cerita, menu itu diatur apik di ruang
makan yang langsung bisa melihat lukisan-lukisan Pengsong dalam berbagai
ukuran. Tak dinyana, kolektor itu sangat lahap menyantap menu dari pinggir
jalan di Ampenan itu. Rupanya tamunya itu juga punya apresiasi soal makanan
tradisional. Tamu itu menyesalkan, kenapa hotel-hotel berbintang tak
memodifikasi makanan setempat untuk hidangan tamunya.
”Jajan Sasak dinilai cukup lezat, meski kadang
terlalu manis. Sedang masakannya, tak terlalu banyak bumbu sehingga dapat
dinikmati rasa bahan aslinya. Menu Sasak itu dianggap sebagai menu sehat,” ujar
Pengsong menceritakan komentar tamunya.
Tentu saja, bagi Pengsong, yang penting bukan
pujian itu. Tapi kolektor itu jadi membeli lukisannya. Tak jelas, apa karena
puas disuguhi menu Sasak, kolektor itu membeli dua lukisan ukuran besar dengan
harga yang tertera tanpa menawar. Tanpa berdebat ini-itu tentang gaya
lukisan Pengsong dalam ”mengimitasi” suasana kelokalan Lombok.
Yang jelas, harganya mencapai puluhan juta. ”Padahal belanja istri saya cuma
habis 14 ribu rupiah,” tuturnya sambil tertawa.
***
Sampai
sekarang, masakan Sasak sering diidentikkan dengan ayam taliwang.
Seolah-olah hanya itu, seolah-olah masakan Sasak hanya berhubungan dengan sambal
beberuk atau sejenisnya. Padahal jenisnya lebih beragam dari sekedar
yang berbau sambal-sambalan itu.
Memangnya
dimana dapat ditemukan makanan khas Sasak? Ada yang memberi penjelasan yang
berbeda. Misalnya soal kue atau jaje, di beberapa desa di Lombok Timur
ada jajan renggi dan opak-opak, yang terbuat dari beras ketan berbentuk bundar seperti kipas dan diberi gula
merah. Sedang masakan, ada yang menyebut bebalung, yang bahannya banyak
dari tulang iga sapi. Di beberapa tempat di Mataram, ada rumah makan yang ramai
pengunjung dengan menu khusus ini.
Tapi
masakan dan jajan khas Sasak di Ampenan paling bervariasi. Hingga sekarang pun,
Ampenan seolah-olah menjadi standar. Kalau daerah seperti Jawa Barat, Jawa
Tengah, Makassar, Palembang, atau Padang punya makanan khas tertentu,
sebenarnya Ampenan pun tak kalah. Memang harus diakui, yang dimiliki orang
Ampenan kurang terkenal karena memang tak ada upaya-upaya menjadikannya
menasional.
Kalau ayam taliwang bisa dikatakan lebih
dikenal di tingkat nasional. Bukan saja di beberapa tempat di Mataram terdapat
restoran dengan menu itu, dan di kampung Taliwang, Cakra sendiri usaha itu juga
berkembang pesat. Di Bali dan Jakarta pun ayam taliwang diminati konsumen.
Sedang masakan yang ada di Ampenan itu, belum menjadi usaha dalam skala besar.
Kalau toh sudah dijual di tempat permanen, paling-paling masakan
Sukaraja.
Di bulan puasa, datangilah puluhan penjual
makanan yang berderet di ACC atau di Pasar Kebon Roek. Hanya di Ampenan
ternyata makanan khas Sasak demikian lezat dan bervariasi. ”Sayur olah-olah
yang bersantan itu mirip masakan Jawa Timur, tapi rasanya lebih lezat,” ujar
Riyanto Rabbah, wartawan yang pada bulan
puasa ini sering terlihat membeli makanan di Pasar Kebon Roek.
Memang tiap hari, khususnya sore hingga malam, di
sepanjang Jalan Yos Sudarso atau Jalan Saleh Sungkar Ampenan, pada bulan-bulan
selain Ramadhan deretan pedagang menjual makanan-makanan itu. Namun di bulan
Ramadhan, khususnya beberapa waktu menjelang berbuka, jumlahnya berlipat, dan jenisnya
pun bervariasi.
Baik di ACC maupun di Kebon Roek, puluhan
pedagang itu seperti berlomba membuat makanan yang paling enak. ”Kalau bulan
biasa saya cuma jual sayur, tapi bulan puasa ini saya juga buat jajan,” kata
Inaq Rukiyah, dari Dayen Peken.
Di beberapa tempat di Mataram, seperti di Jalan
Airlangga-Gomong atau di depan Mesjid Raya, ada satu-dua pedagang makanan itu.
Demikian juga di beberapa tempat di Cakra. Namun orang lebih sreg kalau sudah
berangkat ke Ampenan. Kabarnya, yang lebih terasa selera Sasaknya memang yang
ada di Ampenan.
Warung Jaman Pelabuhan
Pasar Ampenan bisa dikatakan paling ramai di
Lombok pada zamannya. Tentu saja, karena saat itu Ampenan menjadi pusat dagang.
Sebelum orang mengenal Mataram atau lainnya, orang luar sudah mengenal Pelabuhan
Ampenan. Sebagai daerah pelabuhan dan pusat dagang, tentu diikuti gairah
kegiatan ekonomi masyarakat sekitarnya. Termasuk pertumbuhan pasar, tempat
bertemunya produsen barang dan konsumennya.
Dayen Peken maksudnya adalah kampung yang
terletak di utara pasar. Pasar di Ampenan itu dulu hanya ada di pinggir Kali
Jangkok yang memisahkannya dari Kampung Banjar, atau di ujung timur
Kampung Melayu. Lokasinya pas di depan
sekolah Cina milik Tjong Hwa- Tjong Hwi (sejak Orde Baru sudah ditutup).
Waktu jaya-jayanya Pelabuhan Ampenan, sekitar
tahun 1960, warga kampung Dayen Peken-lah yang banyak membuka warung-warung
makanan sepanjang pelabuhan hingga perempatan (atau perlimaan) Ampenan. Tapi
diantara banyak yang berjualan itu, hanya beberapa warung makan yang dikenal.
Seperti Warung Varia (Inaq Ipuq yang dilanjutkan Inaq Nurseah), Warung Setia
(Inaq Selehe), Warung Mulia (Inaq Jisah) dan Warung Kita (Wak Nik yang berasal
dari Jawa). Semua pemilik warung itu berasal dari kampung Dayen Peken dan
semuanya kini sudah meninggal.
Karena itu kebanyakan generasi ”cewek-cewek”
Dayen Peken zaman itu lebih banyak ketemu orang luar. Misalnya, salah seorang
anak pemilik Warung Varia kawin dengan seorang nakhoda kapal dari Semarang.
Sedang saudara lainnya kawin dengan awak kapal yang berasal dari Menado.
Mungkin juga pertemuan dengan orang dari luar itu, membuat makanan buatan orang
Dayen Peken lebih bervariasi. Karena seleranya sudah mendapat pengaruh dari
luar.
Orang-orang dari Dayen Peken juga berjualan
kue-kue di sekitar Bioskop Ramayana sejak tahun 50-an (ada yang bercerita,
kalau soal kue-kue itu biasanya dibuat orang Karang Kerem atau Sukaraja).
Gedung bioskop itu merupakan hiburan utama dan satu-satunya tempat keramaian
paling diminati di Ampenan. Konon, tokoh pergerakan Saleh Sungkar sering duduk
di sebuah kedai es di belakang bioskop, diskusi politik dengan sejawatnya
sambil menikmati kue laman dan minum es kelapa muda.
Ampenan bukan saja tempat berlabuhnya kapal
dagang besar. Tapi juga satu-satunya tempat pemberangkatan seluruh penduduk NTB
yang akan bepergian ke luar daerah. Termasuk yang akan berangkat ke Tanah Suci.
Khusus yang akan berangkat haji, sedikitnya selama seminggu jemaah pengantarnya
akan menginap di Ampenan. Tentu saja, betapa sibuknya penjual makanan yang
melayani mereka.
”Sejak jaman itu, orang Dayen Peken sudah dikenal
pandai memasak,” cerita Haji Mahfud yang tinggal di Ampenan Utara.
Seorang budayawan pernah bicara tentang makanan.
Menurutnya, makanan merupakan wujud selera dan daya hidup masyarakat. Rasa
makanan mencerminkan pergaulan, termasuk harapan akan pengakuan. Kue-kue
berarti juga menjadi simbol kebanggaan akan hangatnya pergaulan. Demikian juga
lauk-pauk tentu saja bukan sekedar teman melahap nasi, tapi juga sekaligus
perwujudan hausnya pujian. Orang Dayen Peken memiliki ”selera” pergaulan
seperti kue-kue dan masakannya.(Tim TABLOID RAKYAT)
Belanjalah lauk-pauk untuk buka puasa yang banyak
dijual di pinggir jalan di Barata atau di Kebon Roek Ampenan. Dapat dipastikan
para penjualnya adalah orang Dayen Peken. Tak satu pun dari kampung luar. Coba
saja kalau berani.
”Pernah dari kampung lain jualan, lama-lama tidak
ada yang beli,” kata Inaq Juariyah atau biasa dipanggil Inaq Jo
sungguh-sungguh. Alasannya tak lain, hanya orang Dayen Peken yang masakannya
memenuhi selera pembeli. Dan racikan ragi (bumbu) masakan itu hanya
”orang dalam” yang boleh tahu.
Kalau sekarang ada puluhan pedagang makanan yang
berderet sepanjang Jalan Niaga, Yos Sudarso, Saleh Sungkar atau di Kebon Roek,
juga punya riwayat masa lalu. Ternyata mereka adalah generasi penerus dari
Warung Mulia dan Warung Setia. Hanya Warung Kita yang anak-anaknya atau
keluarganya tak lagi melanjutkan tradisi keluarga berjualan makanan. Mungkin
saja karena pemiliknya berasal dari Jawa. Sedang Warung Varia, meski
anak-anaknya tak ada yang berjualan, tapi banyak keluarganya yang merasa punya
”garis keturunan” penjual makanan. Sebagian besar dari mereka sekarang banyak
berjualan di halaman parkir Barata (jalan Niaga) dan di Pasar Kebon Roek.
Inaq Rusmini adalah anak Inaq Jisah (pemilik
Warung Mulia) yang saat ini juga berjualan makanan di kampungnya. Salah seorang
yang pernah kerja di Warung Mulia adalah Inaq Rukiyah yang kini berjualan di
Pasar Kebon Roek. Sebelumnya, selama sekitar dua tahun Inaq Ruk kerja di Warung
Madya (Cakranegara) yang sempat terkenal tahun 90-an. ”Kalau punya modal, saya
ingin buka warung sendiri,” katanya.
Wajar kalau Inaq Ruk punya obsesi itu. Tapi di
bulan puasa ini, penghasilannya pun boleh dibilang lumayan. Inaq Ruk yang berjualan mulai jam dua siang sampai magrib,
omzetnya bisa mencapai Rp 300 ribu. Itu pun termasuk sepi. Ia tak mau menyebut
berapa untungnya.
Sedang Juariyah (Inaq Jo), Misnah atau Atik
(ketiganya masih ada hubungan keluarga), yang berjualan di areal Barata
mengaku, dalam sehari berjualan omzetnya bisa sampai Rp 400 ribu. Itu pun tidak
termasuk ramai. Biasanya kalau tengah bulan, waktu ibu-ibu mulai membuat kue
(berarti tak sempat masak) omzetnya terus meningkat. Jadi kalau dihitung, tidak
sedikit uang yang berputar di Dayen Peken selama bulan Ramadhan ini.
”Kami ini pahlawan keluarga,” kata Misnah sambil
tertawa, waktu dipotret.
Soal penghasilan itu memang tergantung banyaknya
jumlah makanan yang dijual. Dan soal jumlah itu juga tergantung modal yang
dimiliki masing-masing pedagang. Belum diketahui, apakah pemerintah kota bisa
melihat bulan puasa ini sebagai momentum memberdayakan ”ekonomi kerakyatan”
seperti sering disuarakan Walikota Ruslan.
Tapi bagi para pedagang itu, mereka mengaku sudah
terbiasa hidup tanpa perhatian pemerintah. Berjualan makanan di bulan Ramadhan
seperti halnya menjalani kewajiban tradisi. Tradisi yang menjadikan suasana
kotanya berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Sudah sejak lama, bulan Ramadhan
berarti maraknya kue-kue dan masakan di sudut-sudut Ampenan.
Kalau
mereka mendapat untung, merupakan berkah bulan suci yang jarang bisa didapat
seperti bulan-bulan lainnya. ”Memang rejekinya di bulan ramadhan,” kata
Rukiyah. (Tim TABLOID RAKYAT) Sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 13/Tahun II/Oktober-November 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar