Translate

Sabtu, 06 Juni 2015

Klas Menengah dan Politik Lombok Paska-Orde Baru



..........
Klas-Klas Sosial dan Politik Dominan Lama. Menurut kategori sosial tradisional, penduduk Pulau Lombok terbagi menjadi dua kelompok penting: di satu pihak, mereka yang merupakan elite, yaitu (1) lalu (raden/bangsawan)/tuan guru (kyai) dan, di lain pihak, mereka yang, karena kehadiran yang pertama, dinamakan massa, yaitu {1) jejer karang (orang biasa) dan (2) jamaah (komunitas-komunitas pengajian dengan mesjid dan pondok pesantren sebagai pusatnya). Terutama adalah mereka yang termasuk dalam kategori massa ini yang merupakan pembentuk klsifikasi penduduk termiskin Lombok yang pada tingkat provinsi berjumlah 1,031 juta atau 25,38 persen dari keseluruhan jumlah penduduk.



Klas-Klas Sosial dan Politik Baru. Bagaimanapun juga, bukan hanya kelompok-kelompok social di atas yang mengisi panggung ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan Lombok. Beriringan dengan penyebaran pendidikan –berdirinya perguruan-perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta), dan proses industrialisasi yang dilancarkan berdasarkan politik "pembangunanisme" rezim Orde Baru sejak 1967, kelompok-kelompok social barupun terbentuk. Dalam kaitannya dengan proses industrialisasi, dua industry berkembang di NTB..............



1. Pengantar
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan satu di antara tiga provinsi yang dibentak berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1958. Dua provinsi lainnya adalah Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Apa yang seringkali dicatat dari ketiga provinsi tersebut adalah demikian. Jika Provinsi agama Bali identik dengan Hindu, dan NTT dengan agama Kristen Katholik, maka NTB dengan agama Islam. Dengan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa sebagai pulau-pulau utamanya, Provinsi NTB mempunyai luas 20.153,15 Km2. Dengan luas sepertiga dari luas keseluruhan provinsi, Pulau Lombok menjadi tempat kediaman bagi dua pertiga penduduk provinsi.

2. Nusa Tenggara Dalam Angka Tahun 2004
Menurut Nusa Tenggara Dalam Angka Tahun 2004. Tercatat sebanyak 4.070.040 menjadi penduduk NTB di tahun 2004. Jumlah ini lebih besar 237 ribuan dibanding tahun 2000. Karena menurut Hasil Sensus Penduduk 2000. tercatat antara 3.829.905-3.830.597 mendiami provinsi tersebut. Jika pada tahun 2000 terdapat enam kabupaten dan sebuah kota, maka pada tahun 2004 jumlah kabupaten telah menjadi tujuh, sedangkan kota menjadi dua. Dalam kaitannya dengan angka-angka statistik di atas, beberapa hal dapat dicatat.

Pertama, dari 3.829.905, 2.594.629 bersuku bangsa Sasak, 513.055 bersuku bangsa Bima (atau disebut juga [MjBojo), 319.423bersuku bangsa Sumbawa (atau disebut juga Semawa), 99.321bersuku bangsa Bali, 90.635 bersuku bangsa Dompu, 56.340 bersuku bangsa Jawa, 38.050 bersuku bangsa Donggo, 19.450 bersuku bangsa Bugis (atau secara lokal disebut Ugi), dan 99.002 untuk suku-suku bangsa lainnya (di antara dan terutama Arab dan Tionghoa). Jika suku bangsa Sasak merupakan suku bangsa yang terutama mendiami Pulau Lombok - yang secara adiminstratif terbagi ke dalam tiga kabupaten (Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, KabupatenLombok Timur) dan sebuah kota (Kota Mataram), maka suku-suku bangsa Bima (Bojo), Sumbawa (Semawa;, Dompu dan Donggomerupakan suku-suku bangsa Pulau Sumbawa, yang secaraadministratif terbagi ke dalam Kabupaten Sumbawa (yang kemudian dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat), Kabupaten Dompu, dan Kabupaten Bima (yang kemudian dimekarkan menjadi dua wilayah administratif, yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima).

Kedua, dari 3.830.597, 3.699.018 merupakan pemeluk agama Islam, 101.898 pemeluk agama Hindu, 13.658 pemeluk agama Budha, 8.394 pemeluk agama Katolik, 7.405 pemeluk Protestan, dan 224 pemeluk agama lainnya. Dari jumlah pemeluk agama Islam tersebut, lebih dari dua setengah juta berada di Pulau Lombok. Kabupaten Lombok Timur tercatat sebagai kabupaten pemeluk agama Islam terbesar selain karena tercatat jumlah 971.854 juga karena hanya menyisakan 1.442 untuk agama-agama Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan lainnya. Selain itu, hampir tidak suku bangsa Tionghoa menjadi penduduk kabupaten Lombok Timur, kecuali satu kepala keluarga (KK) yang sudah sejak lama memeluk agama Islam. Kenyataan ini, sebagaimana diterangkan beberapa responden, merupakan hasil proses "pembersihan" yang berlangsung beriringan dengan pecahnya persitiwa Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta, 1 Oktober 1965. Sementara agama Hindu merupakan agama terbesar kedua dengan jumlah pemeluk sebanyak 101.898, dan Lombok Barat serta Mataram merupakan kabupaten/kota pentingnya - masing-masing dengan jumlah 33.674 dan 48.821. Di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur, penduduk yang beragama Hindu, dan karena itu dapat diidentifikasikan mempunyai latar belakang suku bangsa Bali, tercatat hanya berjumlah - masing-masing - 3.005 dan 1.100.


3. Lombok {1}:

Klas-Klas Sosial dan Politik Dominan Lama
Menurut kategori sosial tradisional, penduduk Pulau Lombok terbagi menjadi dua kelompok penting: di satu pihak, mereka yang merupakan elite, yaitu (1) lalu (raden/bangsawan)/tuan guru (kyai) dan, di lain pihak, mereka yang, karena kehadiran yang pertama, dinamakan massa, yaitu {1) jejer karang (orang biasa) dan (2) jamaah (komunitas-komunitas pengajian dengan mesjid dan pondok pesantren sebagai pusatnya). Terutama adalah mereka yang termasuk dalam kategori massa ini yang merupakan pembentuk klsifikasi penduduk termiskin Lombok yang pada tingkat provinsi berjumlah 1,031 juta atau 25,38 persen dari keseluruhan jumlah penduduk.

Lalu merupakan sebuah status yang biasanya dihubungkan dengan keberadaan kerajaan-kerajaan masa lalu di Lombok, baik di Lombok Timur, yaitu Kerajaan Selaparang, Lombok Tengah, yaitu Kerajaan Pejanggik, maupun Lombok Barat/Mataram, seperti Kerajaan Mentraman dan Kerajaan Aria Banjar Getas. Seorang yang menyandang gelar lalu biasanya dapat menggambarkan sebuah kinship (secara fiktif maupun tidak) dengan figur-figur tertentu dalam kerajaan tertentu.

Terdapat 105 pondok pesantren di seluruh Lombok. Dua nama dikenal sebagai tuan guru kharismatik: (1) Tuan Guru H. Zainuddin Abdulmajid, pendiri lembaga pendidikan Islam  Nahdhathul Wathan (NW) - lembaga yang didirikan tahun 1937, atau lebih popular dikenal dengan nama Mauiana Syech atau Tuan Guru Pancor, dan (2) Tuan Guru Mutawally di Jerowaru. Keberadaan kedua tuan guru "kharismatik" terus bertahan beriringan dengan munculnya pewaris-pewaris mereka. Sebuah perbedaan menarik untuk dicatat dalam kaitan ini. Meskipun beristri banyak - 9 istri dan tersebar baik Lombok maupun Sumbawa, Tuan Guru Mutawally hanya melahirkan seorang pewaris: Tuan Guru Sibawaihi Mutawally. Sementara dari Tuan Guru Mauiana Syech atau Tuan Guru Pancor - yang beristri 3 - muncul dua pewaris – keduanya anak dari istri pertama: (1) Raehanun (kakak) dan (2) Raehan (adik).

Dua cabang NW-pun muncul: (1) NW Anjani di bawah Raehanun, tetapi karena tidak memiliki keturunan laki-laki pengelolaan diserahkan kepada suaminya; dan (2) NW Pancor di bawah Raehan yang pengelolaannya dilakukan oleh anak laki-lakinya, yang dikenal sebagai Tuan Guru Bajang.


4. Lombok {2}:

Klas-Klas Sosial dan Politik Baru
Bagaimanapun juga, bukan hanya kelompok-kelompok social di atas yang mengisi panggung ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan Lombok. Beriringan dengan penyebaran pendidikan –berdirinya perguruan-perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta), dan proses industrialisasi yang dilancarkan berdasarkan politik "pembangunanisme" rezim Orde Baru sejak 1967, kelompok-kelompok social barupun terbentuk. Dalam kaitannya dengan proses industrialisasi, dua industry berkembang di NTB.[1] Pertama, industri pariwisata yang berpusat di Pulau Lombok. Industrialisasi pariwisata ini berlangsung beriringan dengan munculnya, sejak tahun 1989, sebuah "master plan" yang berusaha mengembangkan 15 tujuan wisata di NTB. Sebelas di antaranya berlokasi di Pulau Lomobok, seperti Sire, Gili Meno, Gili Trawangan, Gili Air, Gili Indah, Suranadi, Senggigi, Kuta, Gunung Rinjani, Selong Belanak dan Desa Sade, dan yang lainnya di Pilau Sumbawa, yaitu Pulau Moyo, Pantai Maluk, Sape, dan Selat Bima dan Gunung Tambora. Pembanguan sebuah bandara internasional seluas 538 hektar di Penunjak, Kabupaten Lombok Tengah, merupakan sebuah sarana penunjang. Bagaimanapun juga seluruh proses industialisasi pariwisata tersebut mengalami ketersendatan beriringan dengan terjadinya krisis ekonomi yang memukul Indonesia Orde Baru akibat terjadinya krisis moneter (mata uang) Juli 1997.

Kedua, industri pertambangan yang kebanyakan berlokasi di Pulau Sumbawa. Meskipun di bagian utara dan selatan Pulau Lombok terdapat banyak sumber-sumber minyak dan gas bumi, industry pertambangan lebih signifikan di Pulau Sumbawa. Selain sumber- sumber minyak dan gas bumi yang terdapat di selatan dan energy geothermal di Sembalun dan Nanga Doru Dompu, Pulau Sumbawa - tepatnya di pedalaman Sumbawa Barat - merupakan tempat diketemukannya deposit 7,2 juta ons emas dan 6,3 juta pons tembaga yang bernilai milyaran dolar Amerika. Sebuah perusahaan telah mengekplorasi dan mengekspolitasi baik emas maupun tembaga  tersebut: PT Newmont Nusa Tenggara.

Dari tahun 1962 hingga tahun 1999, tercatat telah berdiri 33 perguruan tinggi di NTB. Empat merupakan perguruan tinggi negeri dengan 1.313 dosen dan 11.939 mahasiswa. Keempatnya adalah: Universitas Negeri Mataram (1962), Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Mataram (1965), Institut Agama Islam Cabang Sunan Ampel (1966) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram (1968). Sisanya, yaitu 29, merupakan perguruan tinggi swasta dengan 2.083 dosen dan 17.245 mahasiswa. Lebih dari setengahnya, atau 21 perguruan tinggi swasta, berada di kota Mataram, di antaranya Universitas Al-Azhar (Unizar) Mataram (1981) dan Universitas 45 Mataram (1983). Di Kabupaten Lombok Timur tercatat ada 4 perguruan tinggi swasta, di antaranya Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) (1977). Jika di Kabupaten Lombok Tengah mempunyai satu perguruan tinggi swasta, maka tak terdapat satupun di Kabupaten Lombok Barat.[2]

Adalah tiga puluh tiga perguruan tinggi tersebut yang bukan hanya melahirkan kelompok akademisi tetapi juga berperan sebagai pengisi kebutuhan tenga birokrasi di pemerintahan daerah, penyedia kebutuhan akan tenaga-tenaga terlatih dunia usaha dan tempat prekrutan kader-kader partai-partai politik yang menjamur sejak 1998, serta dari mana lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan mendapatkan para aktivisnya.

Seorang akademisi yang direkut partai politik dapat dilihat pada sosok, misalnya, Abdurrahim, Rektor Unizar: dia seorang anggota Partai Amanat Nasional (PAN) dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB 1999-2004. Sementara itu, sejak tahun 1980-an, muncul berbagai LSM di Lombok. Beberapa merupakan, dalam istilah seorang responden, "papan atas:" LBH-APIK, Somasi (Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi), Koslata, PPK, YKCSI, Annisa, PSP, Konsepsi (LP3ES-NTB), dan Mitra Samya. 


5. Sasak dan Islam:

Identitas-identitas dalam Kehidupan Politik NTB Paska Orde Baru?
Beriringan dengan keputusan Jenderal Besar Orde Baru Soeharto untuk melakukan tinggal glanggang colong playu (tidak bertanggung jawab) karena ketidakberdayaannya mengatasi proses kebangkrutan sistem ekonomi Orde Baru-nya/ muncul dua fenomena politik.[3] Kebijaksanaan rejim-rejim politik nasional - yang terbentuk baik hasil pemilu "demokratis" tahun 1999 maupun 2004 – untuk mendorong politik otonomi daerah (baca: provinsi maupun
kabupaten/kota) - telah melahirkan sebuah fenomena politik baru di daerah: daerah (baca: provinsi maupun kabupaten/kota) merupakanarena-arena politik independen yang akan lebih banyak dikaitkan dengan "realitas" atau "warna" daerah. Meskipun begitu, kemunculan identitas Sasak dalam politik tidaklah ditandai dengan terpilihnya alumnus Universitas 45 Mataram, Lalu Baiq Muliati, sebagai Kepala Desa Saba, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah - sebuah "desa miskin" yang"penduduknya kebanyakan buruh tani dari sawah tadah hujan," pada 25 Oktober 1999, dan, karena prestasinya menjadikan "desanya menjadi desa yang berpredikat Desa Sadar Hukum," mendapatkan "penghargaan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).[4]  

Awal adalah dipilihnya oleh para anggota DPRD hasil pemilihan 1999 seorang Sasak Lombok Timur, Lalu Serinata, menjadi gubernur NTB, menggantikan Harun Arrasyid, seorang Bima, pada 1 September 2003. Sementara pada ketika Soeharto berkuasa nama-nama yang menduduki posisi gubernur adalah H.R Wasita Kusumah (1966-1978), H. Gatot Suherman (1978-1988) dan H. Warsito (1988-1998), maka, mengutip H. Lalu Lukman - seorang intelektual Sasak – dalam karyanya yang telah disebutkan, Sejarah, Masyarakat, Budaya Lombok:

"Sesudah Soeharto tidak lagi menjadi Prsiden, maka untukpertama kali Gubernur di NTB dijabat oleh putra daerah Nusa Tenggara Barat ialah Harun Arrasyid dengan wakilnya Drs. Moh. L. Azhar dari tahun 1998-2003. Berdasar pemilihan Gubernur terakhir pada tanggal 1 September2003, baru kali ini dari tahun 1958 sampai 2003, terpilihseorang putra Lombok menjadi Gubernur yaitu Drs. H. Lalu Serinata dan wakilnya Drs. H.B. Tamrin Rayes, seorang
putra Sumbawa."[5]

Tetapi bersamaan dengan kenyataan tersebut, implicit dikatakan bahwa pengertian "putra daerah" hanya mengacu pada "putra Lombok" dan "putra Sumbawa." Sehingga jika Ditempatkan dalam suku-suku bangsa yang tercatat pada Hasil Sensus Penduduk 2000  "putra daerah" adalah mereka yang mempunyai latar belakang Sasak, Birria (Bojo), Sumbawa (Semawa), Dompu, dan Donggo. Bali,Bugis, Jawa, dan "lainnya," sebagai akibatnya, tidaklah termasuk dalam pengertian "putra daerah," meskipun mereka mungkin telah lama tinggal atau bertahun-tahun menjadi penduduk NTB.
Konsep "putra daerah" yang demikian, karena itu, merupakan sebuah penafsiran kembali dari konsep yang pertama kali muncul di akhir tahun 1950-an dan lahir untuk menjawab tuntutan daerah (regionalisme).[6] Pada gilirannya, penafsiran baru ini hampir dapat dipastikan mendapatkan konteksnya pada semangat me-"reformasi" Orde Baru yang, seperti seringkah dikatakan, bersifat sentralistik melalui penerapan otonomi daerah sejak tahun 1999. Soalnya adalah, sementara seorang yang dianggap sebagai "putra Lombok" telah muncul dalam panggung politik NTB, adakah sesuatu yang sungguh-sungguh dapat disebut sebagai orang Sasak?

Dalam kaitannya dengan pertanyaan tersebut, beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama, diajukannya gagasan bahwa: "nama Sasak dan Lombok mempunyai kaitan yang erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ia terjalin menjadi satu, yang berasal dari kata 'Sa'sa' Lombo' (dari bahasa Sasak) yang berarti sa'=satu, dan Lombo'=lurus." Ingin dikatakan bahwa Lombok bukanlah "Cabe Rawit (Jawa) yang rasanya pedas" dan Sasak bukanlah sebuah "rakit" yang ditumpangi "orang yang pertama datang sebagai penghuni Pulau Lombok."[7] Sasak adalah "orang asli." Kedua, munculnya "Sasak reramputan," sebuah "bahasa" atau language yang mulai diajarkan pada murid-murid sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di lombok sejak awal-awal tahun 2000-an. Penciptaan bahasa Sasak "raremputan" ini merupakan sebuah upaya untuk mengatasi kenyataan bahwa berbagai vernacular yang berbeda hidup di antara mereka yang mendiami Pulau Lombok.

Dalam kaitan ini, sebuah catatan mengenai Islam di Pulau Lombok, sebagai catatan ketiga, menarik untuk diperhatikan. Berbagai Islam dikenal di Pulau Lombok, meskipun awalnya dua: (1) "Islam Waktu Telu" (IWT) dan (2) "Islam Waktu Lima" atau "Islam Murni sesuai Syari'at" (IWL/IMSS).[8] IWT merupakan campuran dari Islam yang dibawa "Sunan Prapen, putera Sunan Giri salah satu dari Wali Sanga di Jawa" ke Lombok pada abad ke 16, dengan elemen-elemen '"animisme,"' "'dinamisme,'" dan "agama Hindu'" yang telah ada  sebelumnya. Sementara munculnya IWL/IMSS, yang merupakan Islam-nya para tuan guru dan pondok-pondok pesantrennya, berawal dari "makin banyaknya orang Sasak yang naik Haji" ke dan "belajar agama Islam" di "Makkah." Tuan Guru H. Zainuddin Abdulmajid atau Maulana Syech atau Tuan Guru Pancor maupun Tuan Guru Mutawali di Jerowaru berlatar belakang demikian.

Terdapat lima varian di dalamnya, IWT tersebar di berbagai tempat di Lombok, seperti daerah Pujut, desa Rambitan (Lombok Tengah bagian selatan), Bayan (Lombok bagian Utara), Narmada,Gerung, daerah Sembalun, Sapit (Lombok Timur). Menurut seorang responden, komunitas-komunitas IWT ini mempunyai "Mekah"-nya sendiri: untuk mereka yang berada di utara adalah Gunung Rinjani, sedangkan yang di selatan Gunung Pucat. Sebuah gerakan
(organisasi) para penganut IWL terbentuk tahun 1935: Gerakan Dewi Anjani. Gerakan bertujuan mempertahankan "Agama Islam Waktu Telu Majapahit Lombok Selaparang." Jumlah penganut IWT menyusut secara signifikan "sesudah Indonesia merdeka" dan adalah para tuan guru dan dan para "muballighin" yang berperan penting dalam proses pengecilan tersebut. Mengacu pada IWT di Bayan - yang disebutnya "agama Bayan," seorang penulis mengatakan: "Keyakinan terhadap berbagai macam roh setempat telah menggugah komunitas Muslim Sasak lainnya di luar Bayan untuk memurnikan Islam. Gerakan ini dipelopori oleh para Tuan Guru - yang mengawali karir spiritualnya dengan belajar di Mekah untuk beberapa tahun lamanya seusai menunaikan ibadah haji. Misi penyebaran Islam yang dirintis oleh Wali Jawa diteruskan oleh Tuan Guru yang mengarahkan perjuangannya membersihkan Islam dari elemen-elemen kepercayaan lain, dengan anjuran kuat untuk kembali pada Al-Qur'an dan hadist."[9]  Selain IWL/IMSS dan IWT, belakangan ini muncul dua kelompok Islam lain di Lombok: Ahmadiyah dan, dalam istilah seorang responden, "Jamaah Kompor" (Salafi). Baik Ahmadiyah maupun "jamaah kompor" sama-sama menawarkan sebuah Islam berbeda dan masing-masing berasal dari India (Ahmadiyah) dan Pakistan ("Jamaah Kompor" atau Salafi).

Secara ringkas dalam konteks Islam terdapat suatu pembagian pemeluk agama Islam di Lombok: mereka yang merupakan mayoritas, yaitu IWL/IMSS, dan mereka yang merupakan minoritas, yaitu IWT, Ahmadiyah, dan "Jamaah Kompor" atau Salafi.


6. Good Governance dan Realitas Politik NTB:

Sebuah Ilustrasi
Dua istilah, yang merupakan kata dan frase kias menengah, menjadi penting pada kehidupan sosial dan Indonesia masa-masa "reformasi:" "demokratisasi" dan "good governance." Frase-frase ini merupakan. Sementara "demokratisasi" telah menjadi kenyataan sejak dilangsungkannya pemilihan umum tahun 1999 yang diikuti oleh banyak partai, "good governance" merupakan frase yang kemudian akan dihubungkan dengan hasil dari proses "demokratisasi" dalam pemilu: munculnya pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif,
baik di pusat maupun di daerah). "Good governance" merupakanB sebuah kriteria yang harus tampak pada pemerintahan yang muncul secara "demokratis."

DI NTB, pemilu 1999 telah menghasilkan 55 anggota DPRD (dalam DPRD NTB periode 1999 2004) yang terbagi ke dalam tujuh fraksi. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi Partai Golongan Karya- dengan 21 anggota; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) dengan 7 anggota; (3) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 6 anggota; (4) Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/Polri) dengan 6
anggota; dengan tiga lainnya adalah: (5) Fraksi Nasionalis Religius;
(6) Fraksi al Islam; dan (7) Fraksi Ukhuwah.

Tiga pasangan "bertarung" dalam pemilihan gubernur NTB 21 Juli 2003. Ketiga pasangan tersebut adalah: (1) Pasangan Mesir Suryadi-Ismaildin Wahab yang diajukan oleh Fraksi Partai Golkar,(2) pasangan Harun Arrasyid-Nanang Samodra yang diajukan oleh Fraksi PDIP, dan (3) Lalu Serinata-Thamrin Rayes yang diajukan Fraksi PPP. Mesir Suryadi, Harun Arrasyid  gubernur 1998-2003 atau orang yang tengah menjabat gubernur)dan Lalu Serinata merupakan
kader-kader Partai Golkar. Mesir Suryadi dan Lalu Serinata bahkan fungsionaris partai tersebut: Mesir Suryadi adalah Ketua DPD Partai Golkar NTB, sementara Lalu Serinata Wakil Ketua DPD Golkar, dan juga Ketua DPRD NTB. Meskipun begitu, hanya Mesir Suryadi yang menjadi calon tunggal dan resmi DPP Partai Golkar. Walau menjadi calon resmi Partai Golkar dan fraksi Partai Golkar di DPRD merupakan fraksi terbesar, pasangan Mesir Suryadi-
Ismaildin Wahab ternyata gagal. Keduanya hanya mendapatkan 13 suara. Perolehan suaranya bahkan lebih kecil dibanding pasangan Harun Arrasyid-Nanang Samodra yang berhasil meraup 14 suara.

Pemenang pemilihan tidak langsung gubernur NTB Juli 2003 adalah pasangan Lalu Serinata-Thamrin Reyes dengan mendapatkan 28 suara. Kegagalan Mesir Suryadi-Ismaildin Wahab pada gilirannya dapat diartikan, setidak-tidaknya, bahwa 8 anggota Partai Golkar tidak memilihnya (dengan asumsi bahwa 13 suara semua berasal darpartai tersebut).

Mengapa pasangan resmi Fraksi Partai Golkar, Mesir Suryadi-Ismaildin Wahab, mengalami kegagalan dan mengapapasangan resmi Fraksi PPP, Lalu Serinata-Thamrin Reyes, yang berhasil memenangkan pemilihan gubernur tidak langsung di NTB? Dalam kaiatan ini menarik untuk melihat sebuah buku yangterbit belakangan ini. Berisi tentang gambaran bagaimana proses pemilihan gubernur NTB berlangsung, buku tersebut mengatakan bahwa kekalahan pasangan resmi Fraksi Partai Golkar tersebut karena partai itu terlalu berhitung "ke dalam:"

"Jumlah anggota DPRD NTB 55. Untuk dapat menjadi gubernur tentu harus merebut suara setengah plus satu. Itu artinya 28 atau 29 suara. Golkar sudah punya 21 suara. Sehingga tinggal menambah 8 suara saja, maka teorinya, siapapun yang diusung PG pasti akan menang."[10]

Sementara itu pasangan resmi Fraksi PPP lebih memperhitungkan kenyataan yang berada "di luar:
"Dari semakin gencarnya gerakan di luar parlemen yang mendesak para anggota parlemen khususnya dari etnis Sasak - yang berjumlah 33 [dari 55] orang – untuk mendukung calon gubernur dari kalangan Sasak sendiri, tentunya sedikit demi sedikit membuat mereka mulai
berfikir. Dari yang tadinya berfikir 'sangat nasionalis' artinya tidak mau terjebak dalam isu-isu sempit sektarianisme, sampai mereka yang mungkin juga berfikir 'sangat ekonomis' dalam kerangka pemilihan gubernur tersebut. Satu demi satu mulai membuka diri untuk berdialog dengan kelompok atau kurir yang secara sukarela seringkah mengetuk pintu kamar kantor dewan dan atau sekaligus pintu hati mereka yang paling dalam.

Demikianlah pada suatu hari, entah siapa yang mempelopori, sebagian anggota dewan Membentuk satu kelompok khusus yang diberi sandi PAS. Singkatan dari Penyalur Aspirasi. Mengapa bukan Penyalur Aspirasi Sasak? 'Kalau yang itu cukup di dalam hati masing-masing.
Karena target kita bukan hanya untuk kalangan dewan dari etnik sasak saja.'"[11]  PAS, Kelompok lintas fraksi di DPRD dan "yang telah berhasil mengantarkan pemenang pemilihan Gubernur NTB pada tanggal 21 Juli 2003, seperti dinyatakan, merupakan "hasil" "gerakan
di luar parlemen." Bertujuan agar "satu dari tiga juta anak bangsa Sasak menjadi gubernur NTB 2003-2006," "gerakan di luar parlemen" itu sendiri merupakan gerakan yang melibatkan mereka, yang "[d]ari segi pendidikan, cukup beragam mulai dari yang hanya tamat SLTA sampai mereka yang telah menyandang gelar doktor," dan "[d]ari segi profesi, ada yang berasal dari kaum birokrat yang nota bene berani mempertaruhkan jabatannya, ada pula dari kalangan perguruan tinggi dan kalangan LSM."[12]  Gerakan dimulai dari sebuah pertemuan yang digelar "[s]ekelompok anak muda," yang tergabung dalam "dua puluh organisasi pemuda sasak," pada 5 Januari 2003.

"[Dihajatkan untuk 'membongkar' sejarah dan sekaligus pula untuk 'menorehkan' sejarah pada sebuah pulau yang bernama Lombok," pertemuan juga "menyerahkan sebilah keris kepada Lalu Serinata yang hadir dalam pertemuan tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat, bukan sebagai ketua DPRD NTB."[13]  Inilah yang mungkin menjadi konteks Kerasnya perlawanan terhadap upaya kejaksaan tinggi - yang didukung oleh LSM-LSM "papan atas" yang bersuara "nasional," bahkan "internasional" yang tergabung dalam "Gerakan Rakyat Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat (GeRAK NTB)" - untuk mengadili anggota-anggota DPRD periode 1999-2004 yang disangka telah melakukan praktek korupsi anggaran belanja DPRD untuk tahun anggaran tahun 2001-2002.[14]  Bahkan terkesan pihak kejaksaan tinggi yang mengalami "kekalahan" dalam pertarungannya dengan anggota-anggota DPRD 1999-2004, yang  mulai berlangsung sejak Agustus tahun 2004.

Empat kepala kejaksaan tinggi NTB terlibat dalam pertarungan: (1) Suhardjono S.H.; (2) A. Zainal Arifin S.H.; (3) M. Ismail; dan (4) Dr. Singgih Iswara S.H., M.H. Tetapi beriringan dengan proses pergantian kepala-kepala kejaksaan tinggi tersebut dan, satu pihak, di dalam kurun waktunya berlangsung berbagai demonstrasi yang tidak menyetujui upaya kejaksaan tinggi membongkar kasus dugaan korupsi tersebut - sepertI dilakukan oleh Desak Datu (Dewan Sasak Muda Bersatu), Organisasi Pemuda Sasak se-Pulau Lombok, Forum Komunikasi Pamswakarsa, Gempur, serta, di lain pihak, beriringan dengan terjadinya peralihan kekuasaan di pusat dari rejim Megawati ke rejim Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi pula pergeseran dalam kasus dugaan korupsi yang tengahditangani. Jika oleh Suhardjono S.H. diumummkan bahwa terdapat 18 tersangka - yaitu: (1) Abu Bakar Muchdi, (2) L. Mustakim, (3) Drs M. Ali Ahmad, (4) Drs H. Ahmad Taqiudin Mansur, (5) H.L. Kushardi Anggrat SH, (6) I Gusti Komang Padang, (7) TGH Anwar MZ, (8) Drs A. Hafidz, (9) Drs H. Hamdan, (10) L. Kumala, (11) Drs.
L. Artawa, (12) Drs. H.L. Serinata, (13) H. Sunardi Ayub SH, (14) Drs. H. Abdul Kappi, (15) Rahmat Hidayat dan (16) Abdurrachim SH CN, (17) Sulistiyo Rashar, (18) Nursyam Lamijan. Maka oleh Zainal Arifin, "putra kelahiran Sumbawa" diumumkan bahwa tersangka "sebenarnya" dalam Kasus Dugaan Korupsi DPRD NTB TA 2001-2002 hanya 12 orang - 6 orang sisanya dihapus dari daftar tersangka dan hanya dijadikan "saksi," termasuk diantaranya mantan Ketua DPRD dan gubernur terpilih, Drs. H.L. Srinata, Drs. H. Abdul Kappi, Rahmat Hidayat dan Abdurrachim SH CN. Alasan Kajati NTB, karena cuma 12 orang itu sajalah yang sudah diberkas oleh para jaksa penyidik sebelumnya sebagai tersangka. Juga, jika nilai kerugian oleh Suhardjono S.H. disebutkan sebesar Rp.24,2 milyar, maka oleh Zainal Arifin nilai turun menjadi Rp. 17,5 milyar. Sebagaimana telah diketahui, akhir dari kasus dugaan korupsi
DPRD NTB ini adalah dibebaskannya semua tersangka oleh pengadilan tinggi NTB.

7. Penutup
Dalam sebuah demonstrasi anti kejaksaan tinggi NTB yang berakhir dengan pengrusakan kantor kejaksaan tinggi NTB, terdengar teriakan massa dengan kata-kata: "Jangan usut Serinata tapi silahkan tangkap yang lain." Dan yang paling santer diteriakan dalam demonstrasi "keras" tersebut, karena terdengar dari salah satu megaphone massa, adalah:
"Kejati harus mengakhiri pengusutan kasus korupsi ini, jangan hanya Serinata yang diperiksa tetapi Harun Al Rasyid (anggota DPD dari NTB, mantan Gubernur NTB rival Serinata dalam Pilgub 2003) juga harus diperiksa."

Serinata dalam hal ini mungkin telah dilihat - tidak hanya oleh para demonstran yang merusak gedung kejaksaan tinggi tentunya - sebagai sebuah embodiment dua identitas yang tengah dikonstruksi bersama-sama oleh kias-kias sosial lama dan baru di Lombok belakangan ini: etnis Sasak dan Islam (tertentu). Kemenangannya atas calon-calon gubernur lain dan keberhasilan pertarungannya dengan pihak kejaksaan tinggi, karena itu, jelas bukan merupakan karya
individual Serinata sendiri. Sebaliknya, membiarkan prosesnya berakhir seperti kasus  gubernur Aceh dan Gubernur Banten, dan ini tidak lain artinya dari pada menjadikan Thamrin Reyes, yang seperti Harun Arrasyid, "putra Sumbawa" menjadi orang "nomor satu" di NTB, atau sama saja dengan melepaskan begitu saja hasil dari "perjuangan" untuk "'menorehkan' sejarah pada sebuah pulau yang bernama Lombok" yang telah dilakukan dengan susah payah. Apalagi
jika diingat apa yang dikatakan seorang penulis berikut:

"Mencuatnya kasus-kasus ini [baca: kasus dugaan korupsi DPRD 1999-2004] nampaknya tidak bisa dilepaskan dari proyek 'balas dendam' kelompok politik yang dikalahkan dalam proses pemilihan gubernur/wakil gubernur, bahkah bisa berlanjut kepada upaya menjegal pelantikan pasangan terpilih. Hal ini dapat dirunut dengan mempertanyakan bagaimana data tersebut bisa bocor ke publik, dan hasil penelusuran menguatkan bahwa data tersebut tak mungkin
keluar tanpa sepengetahuan kubu Harun Alrasyid."[15]


'Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Basri Mulyani dan Yudi Darmadi - keduanya aktivis Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB — untuk bantuan yang telah diberikan.



Referensi
Statistik Perguruan Tinggi Nusa Tenggara Barat 2000. Mataram: Badan Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2001.
H. Lalu Lukman, Sejarah. Masyarakat. Budaya Lombok, Mataram: tanpa penerbit, 2004.
Khaerul Anwar, "Muliati, Srikandi Desa Saba," Kompas, 4 Mei 2006.
Dr. Rosiady Husaennie Sayuti dan Muhammad Faqih Langitan, Perjalanan Orang Sasak Menjadi Gubernur: Kilas Balik Pemilihan Gubernur NTB Tahun 2003. Mataram: Pantheon Media Pressindo, 2006.
Gerakan Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat (GeRAK NTB), Kronologi Kasus Korupsi Anggaran DPRD NTB Periode 1999-2004 Pada APBD Provinsi NTB 2001, 2002.
Erni Budiwanti, "Islam Dalam Konteks Budaya Lokal: Studi Kasus Di Bayan, Lombok Barat," Masyarakat Indonesia, XXXI, No. 2, 2005.
Ervyn Kaffah, "Politik Korupsi di Nusa Tenggara Barat," dalam Figh Korupsi: Amanah Vs. kekuasaan, Evyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh, eds., Mataram: Solidaritas Masyarakat
Transparansi NTB, 2003.
J.J. Kusni, Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak, tanpa tempat: Forum Studi Perubahan dan Peradaban, 2001.
Wiranto, Bersaksi Di Tengah Badai: Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan, Jakarta: IDe, 2004.
"Province Profile: West Nusa Tenggara Barat," supplement pada The Jakarta Post, September 19, 2006.


 

Penulis: Soewarsono (Peneliti LIPI)


[1] Paragraf ini didasarkan pada "Province Profile: West Nusa Tenggara Barat," supplement pada The Jakarta Post, September 19, 2006.

[2] Lebih jauh lihat Statistik Perguruan Tinggi Nusa Tenggara Barat  2000, Mataram: Badan Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2001.
[3] Istilah ini merupakan istilah yang juga berasal dari Soeharto. Meskipun begitu, dibanding "lengser keprabon," istilah "tinggal glanggang
colong playu" lebih sering digunakan oleh Soeharto sendiri. Lihat, Wiranto, Bersaksi Di Tengah Badai: Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan
Jakarta: IDe, 2004, halaman 85.
[4] Lebih jauh lihat Khaerul Anwar, "Muliati, Srikandi Desa Saba," Kompas, 4 Mei 2006.
[5] Mataram: tanpa penerbit, 2004, halaman 126.
[6] Dalam konteks Provinsi Kalimantan Tengah, lihat diksusi J.J. Kusni, Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak, tanpa tempat: Forum Studi Perubahan dan Peradaban, 2001.

[7] H. Lalu Lukman, Sejarah. Masyarakat. Budaya Lombok, halaman 1.

[8] Ibid, halaman-halaman 5-17.
[9] Lihat, Erni Budiwanti, "Islam Dalam Konteks Budaya Lokal: Studi Kasus Di Bayan, Lombok Barat," Masyarakat Indonesia, XXXI, No. 2,2005, halaman-halaman 41-42.
[10] Dr. Rosiady Husaennie Sayuti dan Muhammad Faqih Langitan, Perjalanan Orang Sasak Menjadi Gubernur: Kilas Balik Pemilihan Gubernur
NTB Tahun 2003. Mataram: Pantheon Media Pressindo, 2006, halaman 21.
[11] Ibid., halaman-halaman 51-52.
[12] Ibid., halaman 59.
[13] Ibid., halaman-halaman 31, 35.
[14] Data mengenai kasus dugaan korupsi ini berasal dari Kronologi Kasus Korupsi Anggaran DPRD NTB Periode 1999-2004 Pada APBD Provinsi NTB 2001, 2002, yang disusun oleh Gerakan Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat (GeRAK NTB).
[15] Ervyn Kaffah, "Politik Korupsi di Nusa Tenggara Barat," dalam Fiqh Korupsi: Amanah Vs. Kekuasaan. Evyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh, eds., Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB, 2003, halaman 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar