..........
Klas-Klas Sosial dan Politik Dominan Lama. Menurut
kategori sosial tradisional, penduduk Pulau Lombok terbagi menjadi dua kelompok
penting: di satu pihak, mereka yang merupakan elite, yaitu (1) lalu (raden/bangsawan)/tuan guru (kyai) dan, di lain
pihak, mereka yang, karena kehadiran yang pertama, dinamakan massa, yaitu {1)
jejer karang (orang biasa) dan (2) jamaah (komunitas-komunitas pengajian
dengan mesjid dan pondok pesantren sebagai pusatnya). Terutama adalah mereka
yang termasuk dalam kategori massa ini yang merupakan pembentuk klsifikasi penduduk
termiskin Lombok yang pada tingkat provinsi berjumlah 1,031 juta atau 25,38
persen dari keseluruhan jumlah penduduk.
Klas-Klas Sosial dan Politik Baru. Bagaimanapun
juga, bukan hanya kelompok-kelompok social di atas yang mengisi panggung ekonomi,
sosial, politik dan kebudayaan Lombok. Beriringan dengan penyebaran pendidikan
–berdirinya perguruan-perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta), dan proses
industrialisasi yang dilancarkan berdasarkan politik "pembangunanisme"
rezim Orde Baru sejak 1967, kelompok-kelompok social barupun terbentuk. Dalam
kaitannya dengan proses industrialisasi, dua industry berkembang di NTB..............
1. Pengantar
Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB)
merupakan satu di antara tiga provinsi yang dibentak berdasarkan Undang-Undang
No. 4 tahun 1958. Dua provinsi lainnya adalah Provinsi Bali dan Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Apa yang seringkali dicatat dari ketiga provinsi tersebut
adalah demikian. Jika Provinsi agama Bali identik dengan Hindu, dan NTT dengan
agama Kristen Katholik, maka NTB
dengan agama Islam. Dengan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa sebagai pulau-pulau
utamanya, Provinsi NTB
mempunyai luas 20.153,15 Km2. Dengan luas sepertiga dari luas keseluruhan
provinsi, Pulau Lombok menjadi tempat kediaman bagi dua pertiga penduduk
provinsi.
2. Nusa Tenggara Dalam Angka Tahun 2004
Menurut
Nusa Tenggara Dalam Angka Tahun 2004. Tercatat sebanyak 4.070.040 menjadi
penduduk NTB di
tahun 2004. Jumlah ini lebih besar 237 ribuan dibanding tahun 2000. Karena
menurut Hasil Sensus Penduduk 2000. tercatat antara 3.829.905-3.830.597 mendiami
provinsi tersebut. Jika pada tahun 2000 terdapat enam kabupaten dan sebuah
kota, maka pada tahun 2004 jumlah kabupaten telah menjadi tujuh, sedangkan kota
menjadi dua. Dalam kaitannya dengan angka-angka statistik di atas, beberapa hal
dapat dicatat.
Pertama,
dari
3.829.905, 2.594.629 bersuku bangsa Sasak, 513.055 bersuku bangsa Bima (atau
disebut juga [MjBojo), 319.423bersuku bangsa Sumbawa (atau disebut juga
Semawa), 99.321bersuku bangsa Bali, 90.635 bersuku bangsa Dompu, 56.340 bersuku
bangsa Jawa, 38.050 bersuku bangsa Donggo, 19.450 bersuku bangsa Bugis (atau
secara lokal disebut Ugi), dan 99.002 untuk suku-suku bangsa lainnya (di antara
dan terutama Arab dan Tionghoa). Jika suku bangsa Sasak merupakan suku bangsa
yang terutama mendiami Pulau Lombok - yang secara adiminstratif terbagi ke
dalam tiga kabupaten (Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah,
KabupatenLombok Timur) dan sebuah kota (Kota Mataram), maka suku-suku bangsa
Bima (Bojo), Sumbawa (Semawa;, Dompu dan Donggomerupakan suku-suku bangsa Pulau
Sumbawa, yang secaraadministratif terbagi ke dalam Kabupaten Sumbawa (yang
kemudian dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten
Sumbawa Barat), Kabupaten Dompu, dan Kabupaten Bima (yang kemudian dimekarkan
menjadi dua wilayah administratif, yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima).
Kedua,
dari
3.830.597, 3.699.018 merupakan pemeluk agama Islam, 101.898 pemeluk agama
Hindu, 13.658 pemeluk agama Budha, 8.394 pemeluk agama Katolik, 7.405 pemeluk
Protestan, dan 224 pemeluk agama lainnya. Dari jumlah pemeluk agama Islam
tersebut, lebih dari dua setengah juta berada di Pulau Lombok. Kabupaten Lombok
Timur tercatat sebagai kabupaten pemeluk agama Islam terbesar selain karena
tercatat jumlah 971.854 juga karena hanya menyisakan 1.442 untuk agama-agama
Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan lainnya. Selain itu, hampir tidak suku
bangsa Tionghoa menjadi penduduk kabupaten Lombok Timur, kecuali satu kepala
keluarga (KK) yang sudah sejak lama memeluk agama Islam. Kenyataan ini, sebagaimana
diterangkan beberapa responden, merupakan hasil proses "pembersihan"
yang berlangsung beriringan dengan pecahnya persitiwa Gerakan 30 September
(G30S) di Jakarta, 1 Oktober 1965. Sementara agama Hindu merupakan agama
terbesar kedua dengan jumlah pemeluk sebanyak 101.898, dan Lombok Barat serta Mataram
merupakan kabupaten/kota pentingnya - masing-masing dengan jumlah 33.674 dan
48.821. Di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur, penduduk yang
beragama Hindu, dan karena itu dapat diidentifikasikan mempunyai latar belakang
suku bangsa Bali, tercatat hanya berjumlah - masing-masing - 3.005 dan 1.100.
3. Lombok {1}:
Klas-Klas Sosial dan Politik Dominan Lama
Menurut
kategori sosial tradisional, penduduk Pulau Lombok terbagi menjadi dua kelompok
penting: di satu pihak, mereka yang merupakan elite, yaitu (1) lalu (raden/bangsawan)/tuan guru (kyai) dan, di lain
pihak, mereka yang, karena kehadiran yang pertama, dinamakan massa, yaitu {1)
jejer karang (orang biasa) dan (2) jamaah (komunitas-komunitas pengajian
dengan mesjid dan pondok pesantren sebagai pusatnya). Terutama adalah mereka
yang termasuk dalam kategori massa ini yang merupakan pembentuk klsifikasi penduduk
termiskin Lombok yang pada tingkat provinsi berjumlah 1,031 juta atau 25,38
persen dari keseluruhan jumlah penduduk.
Lalu
merupakan
sebuah status yang biasanya dihubungkan dengan keberadaan kerajaan-kerajaan
masa lalu di Lombok, baik di Lombok Timur, yaitu Kerajaan Selaparang, Lombok Tengah,
yaitu Kerajaan Pejanggik, maupun Lombok Barat/Mataram, seperti Kerajaan
Mentraman dan Kerajaan Aria Banjar Getas. Seorang yang menyandang gelar lalu
biasanya dapat menggambarkan sebuah kinship (secara fiktif maupun tidak) dengan
figur-figur tertentu dalam kerajaan tertentu.
Terdapat
105 pondok pesantren di seluruh Lombok. Dua nama dikenal sebagai tuan guru kharismatik:
(1) Tuan Guru H. Zainuddin Abdulmajid, pendiri lembaga pendidikan Islam Nahdhathul Wathan (NW) - lembaga yang
didirikan tahun 1937, atau lebih popular dikenal dengan nama Mauiana Syech atau
Tuan Guru Pancor, dan (2) Tuan Guru Mutawally di Jerowaru. Keberadaan kedua
tuan guru "kharismatik" terus bertahan beriringan dengan munculnya
pewaris-pewaris mereka. Sebuah perbedaan menarik untuk dicatat dalam kaitan
ini. Meskipun beristri banyak - 9 istri dan tersebar baik Lombok maupun
Sumbawa, Tuan Guru Mutawally hanya melahirkan seorang pewaris: Tuan Guru Sibawaihi
Mutawally. Sementara dari Tuan Guru Mauiana Syech atau Tuan Guru Pancor - yang
beristri 3 - muncul dua pewaris – keduanya anak dari istri pertama: (1)
Raehanun (kakak) dan (2) Raehan (adik).
Dua
cabang NW-pun muncul: (1) NW Anjani di bawah Raehanun, tetapi karena tidak
memiliki keturunan laki-laki pengelolaan diserahkan kepada suaminya; dan (2) NW
Pancor di bawah Raehan yang pengelolaannya dilakukan oleh anak laki-lakinya,
yang dikenal sebagai Tuan Guru Bajang.
4. Lombok {2}:
Klas-Klas Sosial dan Politik Baru
Bagaimanapun
juga, bukan hanya kelompok-kelompok social di atas yang mengisi panggung ekonomi,
sosial, politik dan kebudayaan Lombok. Beriringan dengan penyebaran pendidikan
–berdirinya perguruan-perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta), dan proses
industrialisasi yang dilancarkan berdasarkan politik "pembangunanisme"
rezim Orde Baru sejak 1967, kelompok-kelompok social barupun terbentuk. Dalam
kaitannya dengan proses industrialisasi, dua industry berkembang di NTB.[1]
Pertama, industri pariwisata yang berpusat di Pulau Lombok.
Industrialisasi pariwisata ini berlangsung beriringan dengan munculnya, sejak
tahun 1989, sebuah "master plan" yang berusaha mengembangkan 15
tujuan wisata di NTB.
Sebelas di antaranya berlokasi di Pulau Lomobok, seperti Sire, Gili Meno, Gili Trawangan,
Gili Air, Gili Indah, Suranadi, Senggigi, Kuta, Gunung Rinjani, Selong Belanak
dan Desa Sade, dan yang lainnya di Pilau Sumbawa, yaitu Pulau Moyo, Pantai
Maluk, Sape, dan Selat Bima dan Gunung Tambora. Pembanguan sebuah bandara
internasional seluas 538 hektar di Penunjak, Kabupaten Lombok Tengah, merupakan
sebuah sarana penunjang. Bagaimanapun juga seluruh proses industialisasi
pariwisata tersebut mengalami ketersendatan beriringan dengan terjadinya krisis
ekonomi yang memukul Indonesia Orde Baru akibat terjadinya krisis moneter (mata
uang) Juli 1997.
Kedua,
industri
pertambangan yang kebanyakan berlokasi di Pulau Sumbawa. Meskipun di bagian
utara dan selatan Pulau Lombok terdapat banyak sumber-sumber minyak dan gas
bumi, industry pertambangan lebih signifikan di Pulau Sumbawa. Selain sumber- sumber
minyak dan gas bumi yang terdapat di selatan dan energy geothermal di Sembalun
dan Nanga Doru Dompu, Pulau Sumbawa - tepatnya di pedalaman Sumbawa Barat -
merupakan tempat diketemukannya deposit 7,2 juta ons emas dan 6,3 juta pons
tembaga yang bernilai milyaran dolar Amerika. Sebuah perusahaan telah mengekplorasi
dan mengekspolitasi baik emas maupun tembaga
tersebut: PT Newmont Nusa Tenggara.
Dari
tahun 1962 hingga tahun 1999, tercatat telah berdiri 33 perguruan tinggi di NTB. Empat merupakan
perguruan tinggi negeri dengan 1.313 dosen dan 11.939 mahasiswa. Keempatnya adalah:
Universitas Negeri Mataram (1962), Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Mataram
(1965), Institut Agama Islam Cabang Sunan Ampel (1966) dan Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram (1968). Sisanya, yaitu 29, merupakan
perguruan tinggi swasta dengan 2.083 dosen dan 17.245 mahasiswa. Lebih dari
setengahnya, atau 21 perguruan tinggi swasta, berada di kota Mataram, di
antaranya Universitas Al-Azhar (Unizar) Mataram (1981) dan Universitas 45 Mataram
(1983). Di Kabupaten Lombok Timur tercatat ada 4 perguruan tinggi swasta, di
antaranya Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) (1977). Jika
di Kabupaten Lombok Tengah mempunyai satu perguruan tinggi swasta, maka tak
terdapat satupun di Kabupaten Lombok Barat.[2]
Adalah
tiga puluh tiga perguruan tinggi tersebut yang bukan hanya melahirkan kelompok
akademisi tetapi juga berperan sebagai pengisi kebutuhan tenga birokrasi di
pemerintahan daerah, penyedia kebutuhan akan tenaga-tenaga terlatih dunia usaha
dan tempat prekrutan kader-kader partai-partai politik yang menjamur sejak 1998,
serta dari mana lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan mendapatkan para
aktivisnya.
Seorang
akademisi yang direkut partai politik dapat dilihat pada sosok, misalnya,
Abdurrahim, Rektor Unizar: dia seorang anggota Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB 1999-2004. Sementara itu, sejak tahun
1980-an, muncul berbagai LSM di Lombok. Beberapa merupakan, dalam istilah
seorang responden, "papan atas:" LBH-APIK, Somasi (Solidaritas
Masyarakat untuk Transparansi), Koslata, PPK, YKCSI, Annisa, PSP, Konsepsi
(LP3ES-NTB), dan
Mitra Samya.
5. Sasak dan Islam:
Identitas-identitas dalam Kehidupan Politik NTB Paska Orde Baru?
Beriringan
dengan keputusan Jenderal Besar Orde Baru Soeharto untuk melakukan tinggal
glanggang colong playu (tidak bertanggung jawab) karena ketidakberdayaannya
mengatasi proses kebangkrutan sistem ekonomi Orde Baru-nya/ muncul dua fenomena
politik.[3]
Kebijaksanaan rejim-rejim politik nasional - yang terbentuk baik hasil pemilu
"demokratis" tahun 1999 maupun 2004 – untuk mendorong politik otonomi
daerah (baca: provinsi maupun
kabupaten/kota)
- telah melahirkan sebuah fenomena politik baru di daerah: daerah (baca:
provinsi maupun kabupaten/kota) merupakanarena-arena politik independen yang
akan lebih banyak dikaitkan dengan "realitas" atau "warna"
daerah. Meskipun begitu, kemunculan identitas Sasak dalam politik tidaklah
ditandai dengan terpilihnya alumnus Universitas 45 Mataram, Lalu Baiq Muliati, sebagai
Kepala Desa Saba, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah - sebuah "desa
miskin" yang"penduduknya kebanyakan buruh tani dari sawah tadah
hujan," pada 25 Oktober 1999, dan, karena prestasinya menjadikan
"desanya menjadi desa yang berpredikat Desa Sadar Hukum," mendapatkan
"penghargaan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).[4]
Awal
adalah dipilihnya oleh para anggota DPRD hasil pemilihan 1999 seorang Sasak
Lombok Timur, Lalu Serinata, menjadi gubernur NTB, menggantikan Harun Arrasyid, seorang Bima,
pada 1 September 2003. Sementara pada ketika Soeharto berkuasa nama-nama yang menduduki
posisi gubernur adalah H.R Wasita Kusumah (1966-1978), H. Gatot Suherman
(1978-1988) dan H. Warsito (1988-1998), maka, mengutip H. Lalu Lukman - seorang
intelektual Sasak – dalam karyanya yang telah disebutkan, Sejarah, Masyarakat,
Budaya Lombok:
"Sesudah
Soeharto tidak lagi menjadi Prsiden, maka untukpertama kali Gubernur di NTB dijabat oleh putra daerah
Nusa Tenggara Barat ialah Harun Arrasyid dengan wakilnya Drs. Moh. L. Azhar
dari tahun 1998-2003. Berdasar pemilihan Gubernur terakhir pada tanggal 1
September2003, baru kali ini dari tahun 1958 sampai 2003, terpilihseorang putra
Lombok menjadi Gubernur yaitu Drs. H. Lalu Serinata dan wakilnya Drs. H.B.
Tamrin Rayes, seorang
putra
Sumbawa."[5]
Tetapi
bersamaan dengan kenyataan tersebut, implicit dikatakan bahwa pengertian
"putra daerah" hanya mengacu pada "putra Lombok" dan "putra
Sumbawa." Sehingga jika Ditempatkan dalam suku-suku bangsa yang tercatat
pada Hasil Sensus Penduduk 2000 "putra daerah" adalah mereka yang
mempunyai latar belakang Sasak, Birria (Bojo), Sumbawa (Semawa), Dompu, dan
Donggo. Bali,Bugis, Jawa, dan "lainnya," sebagai akibatnya, tidaklah
termasuk dalam pengertian "putra daerah," meskipun mereka mungkin
telah lama tinggal atau bertahun-tahun menjadi penduduk NTB.
Konsep
"putra daerah" yang demikian, karena itu, merupakan sebuah penafsiran
kembali dari konsep yang pertama kali muncul di akhir tahun 1950-an dan lahir
untuk menjawab tuntutan daerah (regionalisme).[6]
Pada gilirannya, penafsiran baru ini hampir dapat dipastikan mendapatkan
konteksnya pada semangat me-"reformasi" Orde Baru yang, seperti
seringkah dikatakan, bersifat sentralistik melalui penerapan otonomi daerah
sejak tahun 1999. Soalnya adalah, sementara seorang yang dianggap sebagai "putra
Lombok" telah muncul dalam panggung politik NTB, adakah sesuatu yang sungguh-sungguh dapat
disebut sebagai orang Sasak?
Dalam
kaitannya dengan pertanyaan tersebut, beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama,
diajukannya gagasan bahwa: "nama Sasak dan Lombok mempunyai kaitan
yang erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ia terjalin menjadi satu, yang
berasal dari kata 'Sa'sa' Lombo' (dari bahasa Sasak) yang berarti sa'=satu, dan
Lombo'=lurus." Ingin dikatakan bahwa Lombok bukanlah "Cabe Rawit (Jawa)
yang rasanya pedas" dan Sasak bukanlah sebuah "rakit" yang ditumpangi
"orang yang pertama datang sebagai penghuni Pulau Lombok."[7]
Sasak adalah "orang asli." Kedua, munculnya "Sasak reramputan,"
sebuah "bahasa" atau language yang mulai diajarkan pada
murid-murid sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di lombok
sejak awal-awal tahun 2000-an. Penciptaan bahasa Sasak "raremputan"
ini merupakan sebuah upaya untuk mengatasi kenyataan bahwa berbagai vernacular
yang berbeda hidup di antara mereka yang mendiami Pulau Lombok.
Dalam
kaitan ini, sebuah catatan mengenai Islam di Pulau Lombok, sebagai catatan ketiga,
menarik untuk diperhatikan. Berbagai Islam dikenal di Pulau Lombok,
meskipun awalnya dua: (1) "Islam Waktu Telu" (IWT) dan (2)
"Islam Waktu Lima" atau "Islam Murni sesuai Syari'at"
(IWL/IMSS).[8]
IWT merupakan campuran dari Islam yang dibawa "Sunan Prapen, putera Sunan
Giri salah satu dari Wali Sanga di Jawa" ke Lombok pada abad ke 16, dengan
elemen-elemen '"animisme,"' "'dinamisme,'" dan "agama
Hindu'" yang telah ada sebelumnya.
Sementara munculnya IWL/IMSS, yang merupakan Islam-nya para tuan guru dan
pondok-pondok pesantrennya, berawal dari "makin banyaknya orang Sasak yang
naik Haji" ke dan "belajar agama Islam" di "Makkah."
Tuan Guru H. Zainuddin Abdulmajid atau Maulana Syech atau Tuan Guru Pancor
maupun Tuan Guru Mutawali di Jerowaru berlatar belakang demikian.
Terdapat
lima varian di dalamnya, IWT tersebar di berbagai tempat di Lombok, seperti
daerah Pujut, desa Rambitan (Lombok Tengah bagian selatan), Bayan (Lombok
bagian Utara), Narmada,Gerung, daerah Sembalun, Sapit (Lombok Timur). Menurut
seorang responden, komunitas-komunitas IWT ini mempunyai "Mekah"-nya sendiri:
untuk mereka yang berada di utara adalah Gunung Rinjani, sedangkan yang di
selatan Gunung Pucat. Sebuah gerakan
(organisasi)
para penganut IWL terbentuk tahun 1935: Gerakan Dewi Anjani. Gerakan bertujuan
mempertahankan "Agama Islam Waktu Telu Majapahit Lombok Selaparang."
Jumlah penganut IWT menyusut secara signifikan "sesudah Indonesia
merdeka" dan adalah para tuan guru dan dan para "muballighin"
yang berperan penting dalam proses pengecilan tersebut. Mengacu pada IWT di
Bayan - yang disebutnya "agama Bayan," seorang penulis mengatakan: "Keyakinan
terhadap berbagai macam roh setempat telah menggugah komunitas Muslim Sasak
lainnya di luar Bayan untuk memurnikan Islam. Gerakan ini dipelopori oleh para Tuan
Guru - yang mengawali karir spiritualnya dengan belajar di Mekah untuk beberapa
tahun lamanya seusai menunaikan ibadah haji. Misi penyebaran Islam yang dirintis
oleh Wali Jawa diteruskan oleh Tuan Guru yang mengarahkan perjuangannya
membersihkan Islam dari elemen-elemen kepercayaan lain, dengan anjuran kuat
untuk kembali pada Al-Qur'an dan hadist."[9]
Selain IWL/IMSS dan IWT, belakangan ini
muncul dua kelompok Islam lain di Lombok: Ahmadiyah dan, dalam istilah seorang
responden, "Jamaah Kompor" (Salafi). Baik Ahmadiyah maupun
"jamaah kompor" sama-sama menawarkan sebuah Islam berbeda dan
masing-masing berasal dari India (Ahmadiyah) dan Pakistan ("Jamaah
Kompor" atau Salafi).
Secara
ringkas dalam konteks Islam terdapat suatu pembagian pemeluk agama Islam di Lombok:
mereka yang merupakan mayoritas, yaitu IWL/IMSS, dan mereka yang merupakan
minoritas, yaitu IWT, Ahmadiyah, dan "Jamaah Kompor" atau Salafi.
6. Good Governance dan Realitas Politik NTB:
Sebuah Ilustrasi
Dua
istilah, yang merupakan kata dan frase kias menengah, menjadi penting pada
kehidupan sosial dan Indonesia masa-masa "reformasi:" "demokratisasi"
dan "good governance." Frase-frase ini merupakan. Sementara
"demokratisasi" telah menjadi kenyataan sejak dilangsungkannya
pemilihan umum tahun 1999 yang diikuti oleh banyak partai, "good governance"
merupakan frase yang kemudian akan dihubungkan dengan hasil dari proses "demokratisasi"
dalam pemilu: munculnya pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif,
baik
di pusat maupun di daerah). "Good governance" merupakanB sebuah
kriteria yang harus tampak pada pemerintahan yang muncul secara "demokratis."
DI NTB,
pemilu 1999 telah menghasilkan 55 anggota DPRD (dalam DPRD NTB periode 1999 2004) yang
terbagi ke dalam tujuh fraksi. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi Partai
Golongan Karya- dengan 21 anggota; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan
(PDIP) dengan 7 anggota; (3) Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 6 anggota; (4) Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Republik Indonesia (TNI/Polri) dengan 6
anggota; dengan tiga lainnya adalah: (5) Fraksi
Nasionalis Religius;
(6) Fraksi al Islam; dan (7) Fraksi Ukhuwah.
Tiga pasangan "bertarung" dalam pemilihan
gubernur NTB 21 Juli
2003. Ketiga pasangan tersebut adalah: (1) Pasangan Mesir Suryadi-Ismaildin
Wahab yang diajukan oleh Fraksi Partai Golkar,(2) pasangan Harun Arrasyid-Nanang
Samodra yang diajukan oleh Fraksi PDIP, dan (3) Lalu Serinata-Thamrin Rayes
yang diajukan Fraksi PPP. Mesir Suryadi, Harun Arrasyid gubernur 1998-2003 atau orang yang tengah
menjabat gubernur)dan Lalu Serinata merupakan
kader-kader Partai Golkar. Mesir Suryadi dan Lalu
Serinata bahkan fungsionaris partai tersebut: Mesir Suryadi adalah Ketua DPD
Partai Golkar NTB,
sementara Lalu Serinata Wakil Ketua DPD Golkar, dan juga Ketua DPRD NTB. Meskipun begitu, hanya
Mesir Suryadi yang menjadi calon tunggal dan resmi DPP Partai Golkar. Walau
menjadi calon resmi Partai Golkar dan fraksi Partai Golkar di DPRD merupakan
fraksi terbesar, pasangan Mesir Suryadi-
Ismaildin Wahab ternyata gagal. Keduanya hanya
mendapatkan 13 suara. Perolehan suaranya bahkan lebih kecil dibanding pasangan Harun
Arrasyid-Nanang Samodra yang berhasil meraup 14 suara.
Pemenang pemilihan tidak langsung gubernur NTB Juli 2003 adalah pasangan
Lalu Serinata-Thamrin Reyes dengan mendapatkan 28 suara. Kegagalan Mesir
Suryadi-Ismaildin Wahab pada gilirannya dapat diartikan, setidak-tidaknya,
bahwa 8 anggota Partai Golkar tidak memilihnya (dengan asumsi bahwa 13 suara
semua berasal darpartai tersebut).
Mengapa
pasangan resmi Fraksi Partai Golkar, Mesir Suryadi-Ismaildin Wahab, mengalami kegagalan
dan mengapapasangan resmi Fraksi PPP, Lalu Serinata-Thamrin Reyes, yang berhasil
memenangkan pemilihan gubernur tidak langsung di NTB? Dalam kaiatan ini menarik untuk melihat
sebuah buku yangterbit belakangan ini. Berisi tentang gambaran bagaimana proses
pemilihan gubernur NTB
berlangsung, buku tersebut mengatakan bahwa kekalahan pasangan resmi Fraksi
Partai Golkar tersebut karena partai itu terlalu berhitung "ke
dalam:"
"Jumlah
anggota DPRD NTB 55.
Untuk dapat menjadi gubernur tentu harus merebut suara setengah plus satu. Itu artinya
28 atau 29 suara. Golkar sudah punya 21 suara. Sehingga tinggal menambah 8
suara saja, maka teorinya, siapapun yang diusung PG pasti akan menang."[10]
Sementara
itu pasangan resmi Fraksi PPP lebih memperhitungkan kenyataan yang berada
"di luar:
"Dari
semakin gencarnya gerakan di luar parlemen yang mendesak para anggota parlemen khususnya
dari etnis Sasak - yang berjumlah 33 [dari 55] orang – untuk mendukung calon gubernur
dari kalangan Sasak sendiri, tentunya sedikit demi sedikit membuat mereka mulai
berfikir.
Dari yang tadinya berfikir 'sangat nasionalis' artinya tidak mau terjebak dalam
isu-isu sempit sektarianisme, sampai mereka yang mungkin juga berfikir 'sangat
ekonomis' dalam kerangka pemilihan gubernur tersebut. Satu demi satu mulai
membuka diri untuk berdialog dengan kelompok atau kurir yang secara sukarela seringkah
mengetuk pintu kamar kantor dewan dan atau sekaligus pintu hati mereka yang
paling dalam.
Demikianlah
pada suatu hari, entah siapa yang mempelopori, sebagian anggota dewan Membentuk
satu kelompok khusus yang diberi sandi PAS. Singkatan dari Penyalur Aspirasi. Mengapa
bukan Penyalur Aspirasi Sasak? 'Kalau yang itu cukup di dalam hati
masing-masing.
Karena
target kita bukan hanya untuk kalangan dewan dari etnik sasak saja.'"[11] PAS, Kelompok lintas fraksi di DPRD dan
"yang telah berhasil mengantarkan pemenang pemilihan Gubernur NTB pada tanggal 21 Juli
2003, seperti dinyatakan, merupakan "hasil" "gerakan
di
luar parlemen." Bertujuan agar "satu dari tiga juta anak bangsa Sasak
menjadi gubernur NTB 2003-2006," "gerakan di luar parlemen" itu
sendiri merupakan gerakan yang melibatkan mereka, yang "[d]ari segi
pendidikan, cukup beragam mulai dari yang hanya tamat SLTA sampai mereka yang telah
menyandang gelar doktor," dan "[d]ari segi profesi, ada yang berasal
dari kaum birokrat yang nota bene berani mempertaruhkan jabatannya, ada pula
dari kalangan perguruan tinggi dan kalangan LSM."[12]
Gerakan dimulai dari sebuah pertemuan
yang digelar "[s]ekelompok anak muda," yang tergabung dalam "dua
puluh organisasi pemuda sasak," pada 5 Januari 2003.
"[Dihajatkan
untuk 'membongkar' sejarah dan sekaligus pula untuk 'menorehkan' sejarah pada
sebuah pulau yang bernama Lombok," pertemuan juga "menyerahkan
sebilah keris kepada Lalu Serinata yang hadir dalam pertemuan tersebut dalam
kapasitasnya sebagai anggota masyarakat, bukan sebagai ketua DPRD NTB."[13]
Inilah yang mungkin menjadi konteks Kerasnya
perlawanan terhadap upaya kejaksaan tinggi - yang didukung oleh LSM-LSM "papan
atas" yang bersuara "nasional," bahkan "internasional"
yang tergabung dalam "Gerakan Rakyat Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat (GeRAK
NTB)" - untuk mengadili anggota-anggota DPRD periode 1999-2004 yang
disangka telah melakukan praktek korupsi anggaran belanja DPRD untuk tahun
anggaran tahun 2001-2002.[14]
Bahkan terkesan pihak kejaksaan tinggi
yang mengalami "kekalahan" dalam pertarungannya dengan
anggota-anggota DPRD 1999-2004, yang mulai
berlangsung sejak Agustus tahun 2004.
Empat
kepala kejaksaan tinggi NTB terlibat dalam pertarungan: (1) Suhardjono S.H.; (2)
A. Zainal Arifin S.H.; (3) M. Ismail; dan (4) Dr. Singgih Iswara S.H., M.H.
Tetapi beriringan dengan proses pergantian kepala-kepala kejaksaan tinggi
tersebut dan, satu pihak, di dalam kurun waktunya berlangsung berbagai demonstrasi
yang tidak menyetujui upaya kejaksaan tinggi membongkar kasus dugaan korupsi
tersebut - sepertI dilakukan oleh Desak Datu (Dewan Sasak Muda Bersatu),
Organisasi Pemuda Sasak se-Pulau Lombok, Forum Komunikasi Pamswakarsa, Gempur,
serta, di lain pihak, beriringan dengan terjadinya peralihan kekuasaan di pusat
dari rejim Megawati ke rejim Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi pula pergeseran dalam
kasus dugaan korupsi yang tengahditangani. Jika oleh Suhardjono S.H. diumummkan
bahwa terdapat 18 tersangka - yaitu: (1) Abu Bakar Muchdi, (2) L. Mustakim, (3)
Drs M. Ali Ahmad, (4) Drs H. Ahmad Taqiudin Mansur, (5) H.L. Kushardi Anggrat
SH, (6) I Gusti Komang Padang, (7) TGH Anwar MZ, (8) Drs A. Hafidz, (9) Drs H.
Hamdan, (10) L. Kumala, (11) Drs.
L.
Artawa, (12) Drs. H.L. Serinata, (13) H. Sunardi Ayub SH, (14) Drs. H. Abdul
Kappi, (15) Rahmat Hidayat dan (16) Abdurrachim SH CN, (17) Sulistiyo Rashar,
(18) Nursyam Lamijan. Maka oleh Zainal Arifin, "putra kelahiran Sumbawa"
diumumkan bahwa tersangka "sebenarnya" dalam Kasus Dugaan Korupsi
DPRD NTB TA 2001-2002 hanya 12 orang - 6 orang sisanya dihapus dari daftar
tersangka dan hanya dijadikan "saksi," termasuk diantaranya mantan
Ketua DPRD dan gubernur terpilih, Drs. H.L. Srinata, Drs. H. Abdul Kappi, Rahmat
Hidayat dan Abdurrachim SH CN. Alasan Kajati NTB, karena cuma 12 orang itu
sajalah yang sudah diberkas oleh para jaksa penyidik sebelumnya sebagai tersangka.
Juga, jika nilai kerugian oleh Suhardjono S.H. disebutkan sebesar Rp.24,2
milyar, maka oleh Zainal Arifin nilai turun menjadi Rp. 17,5 milyar. Sebagaimana
telah diketahui, akhir dari kasus dugaan korupsi
DPRD
NTB ini adalah dibebaskannya semua tersangka oleh pengadilan tinggi NTB.
7. Penutup
Dalam
sebuah demonstrasi anti kejaksaan tinggi NTB yang berakhir dengan pengrusakan
kantor kejaksaan tinggi NTB, terdengar teriakan massa dengan kata-kata:
"Jangan usut Serinata tapi silahkan tangkap yang lain." Dan yang
paling santer diteriakan dalam demonstrasi "keras" tersebut, karena
terdengar dari salah satu megaphone massa, adalah:
"Kejati
harus mengakhiri pengusutan kasus korupsi ini, jangan hanya Serinata yang
diperiksa tetapi Harun Al Rasyid (anggota DPD dari NTB, mantan Gubernur NTB rival
Serinata dalam Pilgub 2003) juga harus diperiksa."
Serinata
dalam hal ini mungkin telah dilihat - tidak hanya oleh para demonstran yang
merusak gedung kejaksaan tinggi tentunya - sebagai sebuah embodiment dua
identitas yang tengah dikonstruksi bersama-sama oleh kias-kias sosial lama dan
baru di Lombok belakangan ini: etnis Sasak dan Islam (tertentu). Kemenangannya
atas calon-calon gubernur lain dan keberhasilan pertarungannya dengan pihak
kejaksaan tinggi, karena itu, jelas bukan merupakan karya
individual
Serinata sendiri. Sebaliknya, membiarkan prosesnya berakhir seperti kasus gubernur Aceh dan Gubernur Banten, dan ini tidak
lain artinya dari pada menjadikan Thamrin Reyes, yang seperti Harun Arrasyid,
"putra Sumbawa" menjadi orang "nomor satu" di NTB, atau
sama saja dengan melepaskan begitu saja hasil dari "perjuangan" untuk
"'menorehkan' sejarah pada sebuah pulau yang bernama Lombok" yang
telah dilakukan dengan susah payah. Apalagi
jika
diingat apa yang dikatakan seorang penulis berikut:
"Mencuatnya
kasus-kasus ini [baca: kasus dugaan korupsi DPRD 1999-2004] nampaknya tidak
bisa dilepaskan dari proyek 'balas dendam' kelompok politik yang dikalahkan
dalam proses pemilihan gubernur/wakil gubernur, bahkah bisa berlanjut kepada
upaya menjegal pelantikan pasangan terpilih. Hal ini dapat dirunut dengan
mempertanyakan bagaimana data tersebut bisa bocor ke publik, dan hasil penelusuran
menguatkan bahwa data tersebut tak mungkin
keluar
tanpa sepengetahuan kubu Harun Alrasyid."[15]
'Dalam
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Basri Mulyani dan
Yudi Darmadi - keduanya aktivis Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi
(Somasi) NTB — untuk
bantuan yang telah diberikan.
Referensi
Statistik
Perguruan Tinggi Nusa Tenggara Barat 2000. Mataram: Badan Statistik Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 2001.
H.
Lalu Lukman, Sejarah. Masyarakat. Budaya Lombok, Mataram: tanpa penerbit, 2004.
Khaerul
Anwar, "Muliati, Srikandi Desa Saba," Kompas, 4 Mei 2006.
Dr.
Rosiady Husaennie Sayuti dan Muhammad Faqih Langitan, Perjalanan Orang Sasak
Menjadi Gubernur: Kilas Balik Pemilihan Gubernur NTB Tahun 2003. Mataram:
Pantheon Media Pressindo, 2006.
Gerakan
Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat (GeRAK NTB), Kronologi Kasus Korupsi
Anggaran DPRD NTB Periode 1999-2004 Pada APBD Provinsi NTB 2001, 2002.
Erni
Budiwanti, "Islam Dalam Konteks Budaya Lokal: Studi Kasus Di Bayan, Lombok
Barat," Masyarakat Indonesia, XXXI, No. 2, 2005.
Ervyn
Kaffah, "Politik Korupsi di Nusa Tenggara Barat," dalam Figh Korupsi:
Amanah Vs. kekuasaan, Evyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh, eds., Mataram:
Solidaritas Masyarakat
Transparansi
NTB, 2003.
J.J.
Kusni, Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak, tanpa tempat:
Forum Studi Perubahan dan Peradaban, 2001.
Wiranto,
Bersaksi Di Tengah Badai: Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan, Jakarta: IDe,
2004.
"Province
Profile: West Nusa Tenggara Barat," supplement pada The Jakarta Post, September
19, 2006.
Penulis: Soewarsono
(Peneliti LIPI)
[1] Paragraf ini didasarkan pada "Province Profile:
West Nusa Tenggara Barat," supplement pada The Jakarta Post, September
19, 2006.
[2] Lebih jauh lihat Statistik Perguruan Tinggi Nusa
Tenggara Barat 2000, Mataram: Badan
Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2001.
[3] Istilah ini merupakan istilah yang juga berasal dari
Soeharto. Meskipun begitu, dibanding "lengser keprabon," istilah
"tinggal glanggang
colong playu" lebih sering digunakan oleh Soeharto sendiri. Lihat,
Wiranto, Bersaksi Di Tengah Badai: Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan
Jakarta: IDe, 2004,
halaman 85.
[4] Lebih jauh lihat Khaerul Anwar, "Muliati, Srikandi
Desa Saba," Kompas, 4 Mei 2006.
[5] Mataram: tanpa penerbit, 2004, halaman 126.
[6] Dalam konteks Provinsi Kalimantan Tengah, lihat diksusi
J.J. Kusni, Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak, tanpa tempat:
Forum Studi Perubahan dan Peradaban, 2001.
[7] H. Lalu Lukman, Sejarah. Masyarakat. Budaya Lombok, halaman
1.
[9] Lihat, Erni Budiwanti, "Islam Dalam Konteks Budaya
Lokal: Studi Kasus Di Bayan, Lombok Barat," Masyarakat Indonesia, XXXI,
No. 2,2005, halaman-halaman 41-42.
[10] Dr. Rosiady Husaennie Sayuti dan Muhammad Faqih
Langitan, Perjalanan Orang Sasak Menjadi Gubernur: Kilas Balik Pemilihan
Gubernur
NTB Tahun 2003.
Mataram: Pantheon Media Pressindo, 2006, halaman 21.
[14] Data mengenai kasus dugaan korupsi ini berasal dari Kronologi
Kasus Korupsi Anggaran DPRD NTB Periode 1999-2004 Pada APBD Provinsi
NTB 2001, 2002, yang disusun oleh Gerakan Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat
(GeRAK NTB).
[15] Ervyn Kaffah, "Politik Korupsi di Nusa Tenggara
Barat," dalam Fiqh Korupsi: Amanah Vs. Kekuasaan. Evyn Kaffah dan Moh.
Asyiq Amrulloh, eds., Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB, 2003, halaman
184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar