Translate

Kamis, 04 Juni 2015

Sejarah Gereja Katolik di Bali (termasuk kaitannya dengan Lombok)



Melalui tulisan yang fokus membahas perkembangan Gereja Katolik di Bali ini, kita bisa memperoleh sedikit gambaran mengenai berdirinya Gereja Katolik pertama  di Pulau Lombok. 

....Pada 1912 Kepulauan Sunda Kecil diserahkan oleh Yesuit ke tangan imam-imam Societas Verbi Divini (SVD). Tahun 1913 wilayah Sunda kecil ditingkatkan statusnya menjadi Prefektur Apostolik yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.

....Pater Van Der Heijden mendapatkan pula tugas khusus untuk mengadakan kunjungan rohani ke Bali dan Sumbawa. Dan sejak itu mulailah titik awal masuknya Gereja Katolik ke Bali. Tanggal 14 Mei 1935 Van Der Heijden menetap di Mataram, dan 9 Juni 1935 Gereja Katolik pertama didirikan dan diresmikan di kota Mataram. Tanggal ini dipandang sebagai hari masuknya karya Gereja Katolik di Pulau Lombok.

 


Kedatangan agama Katolik di Bali mula-mula banyak mendapat cobaan dan kesulitan. Semua tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tapi pelan, namun dengan penyertaan Tuhan, semua itu bisa dilalui.


Bali, yang kini terkenal di seluruh dunia karena kebudayaan dan agama Hindu dengan segala keunikannya, sejak dahulu sudah menunjukkan adanya kesediaan untuk menerima masuknya agama Katolik. Satu dokumen yang mendukung hal ini adalah sepucuk surat di atas daun lontar yang ditunjukkan kepada orang-orang Portugis di Malaka pada tahun 1635. Dalam surat itu raja Klungkung mewakili raja-raja Bali menulis:

“Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen."

Undangan Raja Klungkung itu mendapat sambutan dari Gereja Katolik Portugis dengan diutusnya dua misionaris Yesuit ke Klungkung Bali. Kedua pastor tersebut adalah Pater Mamul Carvalho SJ dan Pater Azemado SJ dari Malaka.

Namun, tidak adanya bukti-bukti yang menyatakan adanya hasil dari kedua pastor tersebut. Apalagi dengan adanya kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mempertahankan Bali agar bebas dari pengaruh agama Kristen melalui Pasal 177 yang terkenal itu. Maka, makin sulit bagi agama Katolik masuk ke Pulau Bali.

Kemudian, atas permohonan Vilkaris Apostolik Betawi, Gubernur Jendral Hindia-Belanda memberi izin dalam tahun 1891 bagi dua misionaris masuk di Buleleng. Surat gubernur jenderal itu yang antara lain berbunyi:

“Dari pihak saya tidak ada keberatan bila satu atau dua misionaris mulai menetap di Buleleng…… dengan maksud mempelajari bahasa Bali, dan sesudah itu menetap di Buleleng untuk mulai karya misi di antara penduduk setempat.''

Selanjutnya, pada 1912 Kepulauan Sunda Kecil diserahkan oleh Yesuit ke tangan imam-imam Societas Verbi Divini (SVD). Tahun 1913 wilayah Sunda kecil ditingkatkan statusnya menjadi Prefektur Apostolik yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.

Pada bulan Desember 1914 Mgr. Noyen yang menjabat Prefek Apostolik Sunda Kecil mengadakan kunjungan keagamaan ke Bali, setelah dengan susah payah mendapat izin dari pemerintah Belanda. Di samping izin untuk mengadakan kunjungan keagamaan, bahkan dalam tahun 1920 pemerintah mengabulkan permohonan Mgr. Noyen SVD untuk mendirikan sebuah sekolah Katolik di Bali. Namun, sayang sekali, kesempatan emas ini tidak dapat dimanfaatkan karena kekurangan tenaga.

Ternyata kesempatan tersebut tidak mudah diperoleh lagi, walaupun pengganti Mgr. Noyen yang meninggal tahun 1922, yakni Mgr. Verstralen, mengajukan permohonan untuk mendirikan HIS di Bali tidak mendapatkan persetujuan dalam Volkstraad.

Harapan muali muncul kembali sewaktu Mgr. Leven menjabat Vikarius Apostolik mengantikan Mgr. Verstralen yang meninggal karena kecelakaan tahun 1932.
Dan harapan itu pun menjadi kenyataan dalam tahun 1935, ketika Pater Van Der Heijden menjadi pastor di Mataram, Lombok.

Pater Van Der Heijden mendapatkan pula tugas khusus untuk mengadakan kunjungan rohani ke Bali dan Sumbawa. Dan sejak itu mulailah titik awal masuknya Gereja Katolik ke Bali. Tanggal 14 Mei 1935 Van Der Heijden menetap di Mataram, dan 9 Juni 1935 Gereja Katolik pertama didirikan dan diresmikan di kota Mataram. Tanggal ini dipandang sebagai hari masuknya karya Gereja Katolik di Pulau Lombok.

Empat bulan kemudian, persisnya 11 September 1935, Pater Van Der Heijden mengantar Pater J. Kersten SVD ke Denpasar dan mulai menetap di Denpasar. Dan hari tersebut dipandang sebagai tonggak perkembangan agama Katolik di Bali.

Tempat yang menjadi ladang pertama adalah Banjar Tuka, Dalung. Pada November 1935, dua pemuda Bali dari Banjar Tuka, yakni I Made Bronong (Pan Regig) dan I Wayan Diblug (Pan Rosa), datang ke Denpasar dan bertemu Pater Kersten SVD.

Dan Roh Kudus mulai berkarya dalm diri kedua pemuda tersebut ketika keduanya dipermandikan secara Katolik pada Hari Pentakosta, 6 Juni 1936. Saat yang penting itu disusul pula dengan peetakan batu pertama Gereja Katolik Tuka, tepatnya pada 12 Juli 1936 oleh Pastor J. Kersten SVD.

Acara ini dihadiri oleh Pater Van Der Heijden dan Pater Conrad SVD. Dan ternyata benih iman yang baru tumbuh ini dengan cepat berkembang menyusul pula dua tokoh lain di samping I Made Bronong dan I Wayan Diblug, yakni Pan Maria dan I Made Tangkeng (Pan Paulus).

Melalui semangat iman pertama ini, Roh Kudus berkarya dengan hasil yang besar. Dengan datangnya seorang pastor terkenal dalam tahun 1936, Pater Simon Buis SVD, Injil lebih disebarkan lagi, khususnya di pedalaman Pulau Bali. Dengan semangat berkorban dan cinta kasih, Pater Simon Buis mencari orang-orang Bali dan membawa mereka ke kandang Tuka.

Tahun 1938, sebanyak 128 orang dipermandikan di Tuka, Padangtwang, dan Gumbrih. Bulan Februari 1938, Pastor Ade Boer memperkuat barisan imam untuk melayani umat yang semakin banyak.

Pastor Simon Buis pada tanggal 15 September 1940 berhasil mengadakan eksodus dari Tuka dan sekitarnya ke ujung Barat pulau Bali dan membuka desa ditengah-tengah hutan yang kini terkenal sebagai desa Palasari. Dalam eksodus tersebut pastor yang keras kemauannya, dengan penuh semangat membawa 18 keluarga dari Tuka dan 6 keluarga dari Gumbrih untuk mulai tempat pemukiman yang baru itu.

Tantangan pertama mulai menghadang, yakni terasa kurangnya gembala, lebih-lebih pada masa pendudukan Jepang. Para misionaris Katolik ditahan oleh Jepang. Dalam masa yang sulit ini, para tokoh telah membuktikan diri sebagai tenaga-tenaga katekis yang penuh semangat memberikan kesaksian tentang kabar gembira yang telah meraka terima. Mereka benar-benar menjadi tokoh yang tangguh dalam mengisi kekosongan tenaga iman dalam masa pendudukan Jepang.

Di Tuka dan sekitarnya, tokoh awam yang dikenal adalah Pan Regig, Pan Rosa, Pan Paulus, Pan Maria, dan Anak Agung Nyoman Geledig dari Tangeb. Dan Palasari maju dengan pesat berkat bantuan seorang rasul awam wanita, Ibu Ayu, yang berkarya di bidang medis.

Kabar gembira yang dibawa oleh para misionaris perintis dan misionaris sesudahnya diwujudkan melalui karya sosial terhadap orang miskin, karya pengobatan terhadap orang sakit, karya pendidikan, dan karya sosial lain seperti asrama dan panti asuhan baik untuk putra maupun putri.

Melalui karya-karya tersebut, secara nyata kabar gembira disampaikan kepada masyarakat Bali, khususnya yang hidup di pedesaan. Maka, pada 1939 Gereja Gumbrih diresmikan, disusul Gereja Padangtawang, September 1940. Kemudian Gereja Tangeb pada 8 Desember 1940, dan Gereja Palasari pada 19 Juni 1941.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, misi Katolik di Bali yang kocar-kacir karena kehilangan gembalanya mulai dibenahi lagi. Puji Tuhan, perkembangan memperlihatkan garis yang menanjak. Tanggal 14 Juli 1950 daerah Bali dan Lombok dipisahkan dari Sunda Kecil, dan menjadi Prefektur Apostolik di bawah pimpinan Mgr. Hubertus Hermens SVD.

Dalam masa jabatan beliau, karya-karya karikatif dan edukatif berkembang pesat. Hal ini membawa perkembangan baru dalam penambahan lapangan kerja dan kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak.

Babak baru bagi karya para suster pun mulai, dan datanglah para Suster Fransiskanes dari Semarang tahun 1956 ke Desa Palasari dan Suster-Suster Abdi Roh Kudus (SSpS) di Ampenan tahun 1952. Kelak di kemudian hari disusul pula oleh suster-suster kongregasi lain seperti CB, RVM, CIJ, dan ALMA.

Di balik itu semua, suatu hal yang dapat dikatakan istimewa bagi gereja yang baru berkembang ini adalah didirikannya sebuah SMP Seminari dalam tahun 1953 di Tangeb di bawah pimpinan Pater Norbert Shadeg SVD. Atas dasar beberapa pertimbangan, Seminari Rendah ini pada 1956 dipindahkan ke Tuka.

Melalui banyak perjuangan, seminari ini tetap hidup dan berkembang dan ternyata membuahkan hasil mulai tahun 1969. Tiga belas tahun kemudian, pastor asli Bali yang pertama berhasil ditahbiskan. Yakni, Patrr Servatius Nyoman Subhaga SVD pada 9 Juli 1969 di Gereja Paroki Roh Kudus Babakan.

Benih panggilan imam, suster, bruder, ternyata tumbuh sangat subur di Pulau Bali. Dalam jangka waktu relatif singkat sejak seminari didirikan, yakni selama 29 tahun, telah ditahbiskan 19 imam dari pemuda asal Bali.

Kemudian, 65 gadis asli Pulau Dewata ini menghayati hidup sebagai suster dan 13 pemuda sebagai bruder. Dibandingkan dengan jumlah umat di Keuskupan Denpasar yang berjumlah sekitar 13.000 orang, maka persentase panggilan imam, suster, dan bruder di Bali cukup tinggi.

Satu langkah maju lagi dalam perkembangan Gereja Katolik Bali adalah dengan ditingkatkannya Prefektur Apostolik Bali menjadi Keuskupan Denpasar tanggal 3 Januari 1961. Bapa Uskup pertama Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden SVD ditahbiskan menjadi uskup di Gereja Palasari pada 3 Oktober 1961.

Pada masa ini karya Gereja Katolik Bali sudah meliputi bidang pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah menengah. Dalam bidang medis melaui Poliklinik, BKIA, dan rumah sakit yang tersebar di Tuka, Tangeb, Gumbrih, Palasari, Denpasar, dan Singaraja. Di Lombok terdapat Rumah Sakit Santo Antonius di Ampenan.

Asrama atau panti asuhan dan pemberian bea siswa bagi anak-anak yang disekolahkan di luar Bali secara khusus digalakkan oleh Mgr. Hubertus Hermens SVD. Ternyata, karya-karya kreatif ini telah banyak membawa orang menjadi pengikut Kristus.

Setelah masa-masa indah yang mengembirakan, masa panen yang banyak, maka datanglah saat-saat sulit bagi perkembangan Gereja Katolik di Bali. Masalah kuburan yang ada kaitannya dengan hukum adat di Bali ternyata sempat membuat terbendungnya perkembangan umat di beberapa pedesaan, khususnya di diaspora-diaspora pedesaan di mana iman baru mulai ditaburkan.

Dengan adanya kenyataan bahwa kuburan adalah milik Pura Dalem serta banyak penyungsung (umat Hindu) yang berhak dikuburkan di kuburan umum tersebut, maka umat yang bukan Hindu tidak boleh dikuburkan di situ. Hal ini cukup membawa pengaruh negatif bagi umat Katolik di pedesaan dan membuat para katekumen (calon baptisan)dan banyak simpatisan Katolik mundur. Mereka takut tidak mendapat kuburan ketika meninggal dunia.

Maklum, masalah kuburan bagi orang Bali, merupakan hal ang luar biasa pentingnya. Karena itu, perkara tersebut telah mempengaruhi, bahkan menghambat perkembangan umat Katolik, khususnya di pedesaan di mana hukum adat sangat kuat. Jenazah orang Katolik akhirnya dikuburkan di halaman rumah orang Katolik. Hal mana menurut pandangan umat Hindu saat itu sebagai "najis".

Maka, akhirnya ditemukan jalan keluar berupa pemisahan kuburan bagi umat beragama Kristen.

Hal lain yang boleh dikata sebagai mengurangi penganut Katolik di Pulau Bali adalah program transmigrasi besar-besaran umat Katolik ke Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Ini sejalan dengan kebijakan rezim Orde Baru untuk mengurangi kepadatan penduduk dan pemerataan penduduk di Indonesia.

Ternyata, banyak umat Katolik dan Protestan di beberapa kawasan Bali berbondong-bondong bertransmigrasi ke luar pulau. Diperkirakan, jumlah transmigran Katolik yang keluar Bali pada saat itu 5.000 jiwa. Mereka terpencar di daerah transmigran dan sangat memerlukan perawatan rohani mengingat iman Katolik mereka belum mantap.

Akhirnya, dikirimlah seorang pastor ke daerah transmigrasi tersebut dan secara khusus memperhatikan kebutuhan rohani para transmigran Katolik di Sulawesi.

Namun, di tengah-tengah kesulitan dan rintangan, Gereja Katolik sampai sekarang tetap tegak di Pulau Bali. Kita percaya Roh Kudus secara nyata tetap berkarya sehingga stasi-stasi baru tetap dapat dirintis. Paroki juga semakin berkembang walaupun tidak lagi sepesat seperti masa kejayaan dulu.

Keuskupan Denpasar punya 14 paroki induk dan stasi yang tersebar di berbagai wilayah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB):

1. Denpasar
2. Tuka
3. Gumbrih/Slabih
4. Tangeb, Abianbase, Cemagi dan Sading
5. Singaraja
6. Palasari dan (candikuning) Gilimanuk
7. Tabanan dan Piling
8. Babakan dan Kelibul
9. Negara
10. Tuban
11. Amlapura
12. Mataram
13. Ampenan
14. Gianyar


Perkembangan jumlah umat Katolik di Bali sejak 1836 sampai 1983:

1936 – 1937: 145 orang
1937 – 1938: 246 orang
1938 – 1939: 323 orang
1939 – 1940: 389 orang

1940 – 1941: 470 orang
1946 – 1947: 1.266 orang
1947 – 1948: 1.237 orang
1948 – 1949: 1.304 orang
1979 : 10.415 orang

1980 : 10.851 orang
1981 : 11.337 orang
1982 : 12.066 orang
1984 : 12.140 orang
1985 : 13.016 orang
1986 : 13.565 orang

BAHAN: dari berbagai sumber, terutama dikumpulkan oleh PATER SHADEG SVD.

1 komentar:

  1. situs permainan judi laga adu ayam bangkok filipina!
    Deposit Via OVO + Proses Transaksi Lebih Praktis, Aman, Tanpa Jam Offline
    Daftar >> Deposit >> Withdraw Sekarang Juga Di Website www.bolavita88.com
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    WA: +628122222995

    BalasHapus