Translate

Kamis, 04 Juni 2015

Lombok, Antara Batur Bali dan "Semeton" Sasak


Secara geografis, Pulau Lombok dan Pulau Bali memang terpisah. Batasnya jelas. Selat Lombok, yang membentang di sepanjang pesisir barat Pulau Lombok atau di pesisir timur Pulau Bali, menghubungkan kedua pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara ini. Tetapi, dari sisi sejarah dan budaya, keduanya memiliki kedekatan khusus yang menjadikan Lombok dan Bali seperti dua saudara sekandung. Bahkan, sampai muncul istilah, ”di Lombok kita bisa menemukan Bali”.

Kedekatan budaya Bali dan Lombok memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kedua pulau bertetangga ini. Diawali dengan masuknya pengaruh paham Siwa-Buddha dari Pulau Jawa yang dibawa para migran dari kerajaan-kerajaan Jawa sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, sampai infiltrasi Kerajaan Hindu Majapahit yang mengenalkan ajaran Hindu-Buddha ke penjuru timur wilayah Nusantara pada abad ke-7 M.

Sejumlah penanda masih terlihat jelas hingga saat ini. Di sejumlah tempat di Pulau Lombok dan Bali terdapat nama-nama desa yang mengadopsi nama tempat di Jawa. Sebut saja, Kediri, Pajang, ataupun Mataram, yang kini menjadi nama ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.



Kedekatan sejarah dan budaya penduduk kedua pulau ini menjadi lebih kental pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem di Pulau Bali sekitar abad ke-17 M, yang menjadikan Lombok sebagai hinterland-nya Karangasem.

Pendatang asal Bali yang bermigrasi ke Lombok pada zaman kerajaan itu memanggil penduduk Sasak dengan sebutan semeton, yang berarti saudara. Sebaliknya, terhadap warga Bali dan etnis non-Sasak lainnya, masyarakat Sasak memberikan panggilan hormat, batur, yang berarti sahabat. Batur Bali berarti sahabat dari Bali, Batur Jawa bermakna sahabat dari Jawa.

Bahasa Bali-Lombok

Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno.

”Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama, hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara. Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali,” ujar pemerhati budaya Sasak, I Gde Mandia, kepada tim Lintas Timur-Barat di Mataram, Minggu (23/10).

Begitu juga dalam teknik pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.

Kedekatan kultural itu dimanifestasikan pula dalam kehidupan beragama. Meskipun kini mayoritas masyarakat Sasak menganut agama Islam, namun dalam sekelompok kecil dari mereka masih menjalankan tradisi Watu Telu tersebut yang kemudian dikenal penganut Islam Watu Telu.

”Agama Tirta, yang berkembang menjadi agama Hindu, dan Watu Telu merupakan kepercayaan yang hampir sama, baik dari bentuk pemujaan maupun sarananya, yang disebut kemalik atau semacam tugu pemujaan,” kata Mandia. ”Ketika Islam semakin berkembang di Lombok, perlahan kemalik ini menghilang karena para penggrembe atau pemeluk kepercayaan itu beralih menjadi Muslim,” ujar mantan Kepala Taman Budaya Mataram ini.

”Di beberapa pura, kemalik ini masih ada dan disebut sebagai pelinggih kemalik, seperti di Pura Lingsar, Pura Suranadi, juga di Medaing dan Narmada,” lanjut Mandia.

Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim tanam.

Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Sebait lagu ini, misalnya, Turun Taun Leq Gedong Sari//Mumbul Katon Suarge Mulie//Langan Dee Sida Allah Nurunang Sari//Sarin Merta Sarin Sedana, yang intinya kira-kira bermakna semoga Tuhan segera menurunkan hujan sebagai inti kebahagiaan.

Kata sangkaq dan kembeq (kenapa), lasingan, timaq (walau), aro (ah), kelaq moto (sayur bening), dalam bahasa Sasak, kata Mandia, antara lain juga diadopsi sebagai percakapan sehari-hari masyarakat Bali di Lombok.

Akulturasi kearifan

Akulturasi budaya antara penduduk lokal dan Bali serta Jawa juga terlihat dalam busana dan tradisi masyarakat. Misalnya, ikat kepala, yang dalam tata busana adat Sasak disebut sapuk (dipakai pria), mirip dengan destar dalam busana Bali.

Kebiasaan nebon, suami yang membiarkan rambutnya gondrong selama sang istri hamil, dikenal dalam tradisi Sasak dan Lombok. Rambut sang suami baru dipotong setelah istrinya melahirkan. Selama nebon, kegiatan rumah tangga ditangani suami. Kebiasaan ini dipertahankan dengan tujuan demi melahirkan generasi yang bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas, juga kesehatan jasmani dan rohaninya lebih baik.

”Dulu, kalau mau berkunjung ke rumah seorang gadis, meskipun keduanya sama-sama keluarga Bali, sang pemuda harus bisa membacakan isi lontar Pesasakan, yang bahasa pantunnya murni menggunakan bahasa Sasak,” kata Mandia.

Mandia mengakui, tradisi yang sarat kearifan lokal tersebut kini sudah semakin memudar, bahkan menghilang, karena jarang dipraktikkan. Salah satunya, kebiasaan bertukar bahasa antara batur Bali, batur Jawa, dan semeton Sasak. ”Selain menjadi alat berkomunikasi, bahasa juga merupakan alat mempererat hubungan sosial dan alat pemersatu,” ujar Mandia mengakhiri perbincangan. (KHAERUL ANWAR/ COKORDA YUSDISTIRA)

sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/28/Lintimbar/2161513.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar