Kalau terdesak
kebutuhan uang, tentu barang paling cepat “lari”-nya adalah emas. Maklum,
selain barang kebanggaan, logam mulia itu juga bisa dijadikan asset darurat.
Maksudnya, bila kebutuhan tiba-tiba datang menyergap maka emas paling mudah
dipindahtangankan.
Walau bukan
termasuk kebutuhan primer, logam mulia itu selalu ramai diperjualbelikan
masyarakat. Ramainya perputaran bisnis logam mulia itu menggoda banyak orang
mencoba meraih peruntungan. Bagi yang punya modal, bisa punya toko perhiasan
khusus emas atau sekedar jadi tukang
emas. Itu bagi yang bermodal, tapi yang cuma modal cekak pun tak mau
ketinggalan. Coba lihat inaq-inaq (ibu-ibu) yang banyak ditemukan di sekitar
pegadaian atau toko-toko yang berjualan emas.
Jadi, kemana
paling cepat menawarkan emas? Kalau mau
harga ”titipan” sementara bisa datang ke pegadaian. Tapi kalau mau lego
langsung bisa saja lari ke toko perhiasan, tentu dengan membawa surat
pembelian. Kalau emasnya tak punya surat-surat lengkap bisa transaksi di ”pasar
gelap”.
Jual beli di pasar gelap itu kerap disebut nyatut, dan
pelakunya disebut sebagai tukang catat. Yang namanya tukang catut sering
diidentikkan sebagai orang yang modalnya cekak (sering juga tidak punya modal)
tapi ingin untung besar. Tapi mereka juga ber jasa bagi yang diuber-uber kebutuhan. Misalnya kalau anting-anting hilang sebelah atau
surat emas sudah hilang atau rusak tentu ada kesulitan menjualnya. Nah, tukang
catut inilah penawarnya.
Wartawan RAKYAT pun harus ikut-ikutan nyatut dan nguber
penjual emas untuk bisa menuliskan bisnis di ”pasar gelap” itu bagi pembaca.---------------------------------
DI TEMPAT-TEMPAT sekitar pegadaian di Kota Mataram, atau
di toko-toko emas seringkali dijumpai perempuan-perempuan yang selalu menyapa
orang yang lewat. ”Emas...... emas....,” begitu sapaan mereka. Salah satu
diantara mereka adalah Inaq Imah (50). Mungkin telah ratusan orang yang sudah
disapa Inaq Imah. Sapaan itu terus diucapkan nyaris dengan ekspresi tunggal,
dan tak membuat kendur semangat perempuan paruh baya itu meski sering tak
mendapat respon dari yang disapanya. Juga beberapa perempuan lainnya
menyampaikan pertanyaan dan juluran tangan yang sama.
Beberapa perempuan (sebagian besar separuh baya) itu tiap
hari dapat dijumpai duduk berjejer di lorong gang depan Pertokoan Barata
(dulunya ACC, red), atau bertebaran persis di depan toko emas Thian Thai di Ampenan.
Pertanyaan yang sama tetap mereka
lontarkan, ”Jual emas?”
Bisnis nyatut emas yang dilakukan
mereka juga punya sejarah panjang. Kabarnya, nyatut itu sudah dilakukan
orang sejak jaman penjajahan Belanda.
Ada yang unik dalam jual beli emas di jalanan itu, dan
jelas berbeda dengan sistem jual beli yang lazim. Bila di pasar umum penjual
yang capek menunggu pembeli, maka disini justru pembeli yang capek nguber penjual.
Seringkali tingkah laku nguber penjual itu
menggelikan. Sebab pertanyaan mereka selalu dilontarkan pada setiap orang yang
lewat di gang itu. Tidak peduli penampilan orang yang yang lewat itu seperti
pejabat atau buruh bangunan yang sedang melintas. Laki-laki maupun perempuan.
Seolah-olah mereka berpikir, setiap orang yang lewat di situ ingin menjual
emas.
Inaq Imah dan puluhan perempuan yang berjejer di lorong
gang itu melakukan hal yang sama. Mengucapkan pertanyaan yang sama, kadang
pertanyaan itu dilontarkan bersamaan dan bersahutan. Tapi gelengan kepala dan
palingan wajah yang sama juga mereka terima. Bosan?
Ternyata tidak. Sejak mulai duduk selepas siang hingga
sore ini di tempat itu, Inaq Imah tak mengeluh meski semua orang yang ditanyai
mengatakan tidak. Bahkan sebenarnya sejak tiga mingggu lalu belum ada satu pun
orang yang ditanyainya betul-betul ingin menjual emas.
”Kerja nyatut tidak boleh bosanan,” kata Inaq Imah
yang sudah punya lima putra satu putri ini. Soal rejeki, katanya, bila sudah
waktunya pasti datang.
Pekerjaan ini dilakukannya karena ia mengaku sudah bosan
duduk terus di rumah. Sejak ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, ia selalu
gelisah dan kesepian. Bila di rumah terus ia selalu terbayang almarhum suaminya
saat pulang kerja.
Hingga ia memutuskan bekerja nyatut sebagai
pelampiasan. Soal ekonomi sebenarnya
bukan masalah. Semua anak-anaknya sudah berkeluarga. Sebenarnya, anak-anaknya itu melarang keras dirinya harus duduk di
jalaan sebagai tukang catut.
”Semua anak saya justru marah melihat saya seperti ini,
tapi bagaimana lagi cuma duduk-duduk saja sudah bosan,” ceritanya. Apalagi
anaknya banyak. Diam di rumah anak yang satu, yang lainnya iri.
Inaq Imah berbeda dengan Inaq Rabi’ah. Perempuan yang juga sudah paruh baya ini memilih nyatut
emas karena terpaksa keadaan. Seperti dikatakannya, tidak ada pekerjaan lain
yang mampu dikerjakannya. Sejak lima tahun lalu suaminya yang berumur lanjut
tak mampu lagi membiayai keluarga. ”Kalau ada pekerjaan lain, saya tidak mau
begini,” jelas Rabi’ah.
Karena motivasi ekonomi itu Inaq Rabi’ah lebih
bersemangat dibanding yang lain. Meski masih jauh, jika melihat orang yang
kemungkinan mendekat ke gang itu ia sudah mulai teriak-teriak memanggil.
Alasan terdesak ekonomi keluarga seperti Rabi’ah
jumlahnya banyak, namun tidak jarang juga yang cuma ingin ”rekreasi”. Daripada
melongo terus di rumah, lebih baik memilih nyatut emas. Toh
hasilnya sedikit.
Tidak jelas kenapa yang dominan nyatut adalah
ibu-ibu atau dalam bahasa sasaknya Inaq-inaq. Sedangkan laki-laki, hanya
beberapa saja. Dari keterangan beberapa orang di gang itu, jumlah tukang catut laki-laki cuma
empat orang. Mereka itu pun tidak punya semangat seperti yang perempuan. Kadang
muncul sebentar kemudian pergi.
Namun sebenarnya tempat mangkal pencatut emas tidak hanya
di Ampenan atau tepatnya di gang yang
terhimpit gedung berarsitektur khas Cina itu. Di tempat-tempat lain
seperti Mataram dan Cakranegara juga
banyak. Perempatan besar di Cakranegara bisa dibilang pusat mangkal para tukang
catut. Sebab di kiri-kanan jalan terdapat dua toko emas yang cukup besar yaitu
Toko Emas Cempaka dan Toko Emas Melati.
Anehnya, tukang catut di Cakra negara kelihatannya lebih
bergairah dibanding yang ada di Ampenan. Dilihat dari penampilannya, jumlah
penjual yang datang kepada mereka menjual emas tentu lebih ramai. Disini pun
banyak terdapat tukang catut berpeci putih (baca: haji), pertanda bisnis nyatut
bukan lagi pilihan hidup yang terpaksa. Sebaliknya, justru merupakan bisnis
yang menjanjikan. Meski begitu, namanya tetap sama, tukang catut. Praktek
bisnisnya juga sama menanyakan pada orang-orang yang lewat; mau jual emas?
***
Dari berbagai obrolan, maraknya tukang catut emas itu
ternyata sudah muncul berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bahkan satu sumber
menyebutkan, bisnis nyatut emas sudah ada sejak dari zaman penjajahan
Belanda. Konon pelopornya adalah orang-orang Sekarbela, Kecamatan Ampenan, yang saat ini menjadi pusat penjualan
emas dan mutiara terbesar di Lombok. Dan hingga kini pun, sebagian besar
menjalani bisnis catut emas itu juga dari Sekarbela.
Wilayah yang masuk Kelurahan Pagesangan ini memang sangat
terkenal dengan tradisi perajin perhiasan, terutama emas dan mutiara. Tidak
heran Sekarbela walau berada jauh di
bagian selatan Mataram menjadi pusat perhiasan. Daerah itu juga menjadi salah
satu tujuan bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara yang ingin mengoleksi
perhiasan emas dan mutiara.
Dari keterangan Faridah, 40, pemilik toko yang namanya
sama dengan toko emasnya di lorong gang di Ampenan, orang-orang Sekarbela
mempunyai sejarah panjang dalam soal emas. Dimana-mana pusat pertokoan emas dari NTT sampai
Bali sekalipun selalu ada orang Sekarbela. Ia pun memulai karir bisnisnya juga
sebagai pencatut emas. ”Sebelum punya toko emas, saya dulu juga nyatut,”
ungkap ibu yang juga asal Sekarbela itu.
Diakuinya, sebagian dari modalnya mengelola toko emas
merupakan hasil nyatut sejak kecil. Sebelum bisa nyatut sendiri
ia ikut kakaknya yang berprofesi sama. Dari situ ia tahu seluk beluk cara
mencatut. Untungnya sebagai tukang catut cukup besar. Banyak orang yang bisa
pergi naik haji ke Mekkah dari hasil sebagai tukang catut.
Faridah mungkin bukan bermaksud sombong soal kepiawaian
orang-orang Sekarbela dalam soal perhiasan emas. Tradisi nyatut yang
sekarang marak itu, awalnya juga hanya dilakukan orang-orang dari Sekarbela.
Sedangkan orang-orang dari luar Sekarbela hanya ikut-ikutan. Dari yang
ikut-ikutan itu pun yang mampu mencuri ilmu orang Sekarbela cuma segelintir
orang saja. Sementara yang lain hanya mengandalkan keuntungan dari aksi jual
beli semata.
Apa sih keterampilan yang harus dimiliki oleh
seorang pencatut?
Secara khusus Faridah tak merincinya. Namun menurutnya,
ada feeling khusus dalam menilai emas. Sesuatu yang (katakanlah) semacam
”visi” yang jarang dimiliki oleh orang-orang kebanyakan.
Sebab menilai keaslian emas satu kunci pokok yang harus
dimiliki agar tidak gampang terkecoh penjual yang bermaksud menipu. Emas tiruan
dibilang emas asli. Biasanya, ungkap Faridah, banyak tukang catut dari luar
Sekarbela yang mengalami kerugian karena tertipu. Karena tak benar-benar
piawai, tukang catut banyak yang membeli logam yang luarnya emas padahal
dalamnya tembaga atau besi biasa. (Tim TABLOID RAKYAT)
Bisnis Sama Rata Sama Rasa
RATA-RATA TUKANG CATUT emas itu pernah merugi atau
tertipu. Inaq Imah misalnya, pernah stress gara-gara merugi, meski cuma sampai
ratusan ribu. Padahal, sebelum memutuskan membeli, emas itu sudah dites
beberapa kai dengan uji manual yang
biasa ia lakukan.
Karena yakin ia pun membayar dengan penuh harap akan
mendapat keuntungan berlipat. Namun apa lacur, ketika dibawa ke toko terdekat
untuk dijual lagi, kadar emasnya dinyatakan tidak seberapa. Sebenarnya emas
hanya sebagai pembungkus saja, di dalamnya ditemukan kayu biasa. Untuk mencari
si penjual tentu tak mungkin lagi, begitu mendapat uang ia segera pergi dan
menghilang.
Cerita sedih soal kerugian yang dialami para pencatut
emas itu juga dituturkan seorang pedagang senjata tajam yang berjejer di lorong
jalan tikungan Jalan Niaga, Ampenan itu. Pernah suatu ketika, lima orang
perempuan pencatut emas tiba-tiba bergulingan di tengah jalan. Meraka
meraung-raung sambil menangis.
Dari teriakannya itu mudah diduga, masing-masing dari
mereka baru saja tertipu ratusan ribu rupiah karena membeli tembaga berlapis
emas. Padahal sebelumnya mereka terlihat bernegosiasi dan menentukan harga bersama-sama.
Meski begitu tetap saja bisa tertipu.
Soal tertipu, Haji Thamrin, tukang catut dari Sekarbela,
juga mengaku sering menghantuinya. Bila tak hati-hati, bisa-bisa uang ratusan
ribu lenyap dalam sekejap. Namun ia membantah kalau orang Sekarbela punya feeling
khusus dalam menilai emas. ”Kalau cuma dilihat biasa kita tidak mungkin bisa,”
ungkapnya ketika ditemui sedang mangkal di depan Toko Emas Melati Cakranegara.
Untuk mengetahui keaslian emas yang mau dibeli, katanya,
ada batu khusus tempat menoreh emas yang
mau dibeli itu. Setelahnya, batu tersebut dicelupkan ke dalam cairan
khusus pula. ”Cairan khusus itu harus dibeli dan mahal,” cetusnya. Bila asli
torehan emas yang ada di batu itu takkan hilang, tapi bila hilang maka emas itu
pasti palsu.
Namun, pembuktian seperti itu meski lazim digunakan,
menurut Saibah, tak menjamin terhindar dari tipuan. Seperti yang dialami tukang
catut emas di Ampenan itu. Ketika dilihat luarnya dan ditorehkan ke batu
menunjukkan gejala emas asli, tapi ketika dijual ke toko dan diperiksa dalamnya
belum tentu seluruhnya emas. Bagi Saibah yang juga kerap mangkal di depan Toko
Emas Cempaka itu, akal bulus seperti ini kerap menjadi hantu para tukang catut
emas.
Selain itu, yang menjadi momok adalah kekeliruan menilai
jenis emas. Sayang, soal yang satu ini tak dijelaskan Saibah panjang lebar. Ia
hanya berucap bila kebetulan mendapat emas odak (emas muda) akan merugi.
”kadang kita dapat emas odak,” cetusnya ketika ditanya soal penghasilan
dan kerugian yang dideritanya akibat tipu muslihat penjual emas.
***
Nyatut emas mungkin termasuk bisnis yang paling sosial. Nilai solidaritas
diantara tukang catut cukup tinggi. Semua dilakukan secara bersama-sama. Dari
bertanya (ke penjual) sampai negosiasi harga jadi, termasuk juga membayar,
semua dilakukan secara urunan. Hasil penjualan akan di-share sebanyak
rekan yang ikut nimbrung ketika membeli. Bila untung akan bagi-bagi keuntungan,
sedangkan kalau rugi juga bagi-bagi kerugian. Sama rata sama rasa.
Sebagian besar tukang catut mengaku tidak memiliki modal.
Bila ada emas yang harus dibayar maka yang membayar adalah rekannya yang punya
uang. Tapi soal keuntungan tetap dibagi sama. Bila ikut nimbrung saat
negosiasi, tetap dapat bagian bila memang untung. Tetapi bila rugi juga ikut
rugi.
Ada juga cara lain, bila nilai emas yang harus dibayar
terlalu besar, mereka berhutang dulu ke tukang emas terdekat. Dengan catatan
resiko untung rugi mereka tanggung bersama. Meminjam uang untuk membayar emas
tentu bukan hal sulit bagi mereka. Pemilik toko emas akan dengan sangat
bersenang hati meminjami mereka. Tentu saja dengan imbalan nantinya setelah
dibayar emas itu akan dijual kepada si pemilik toko. Harga jualnya nanti akan
dikurangi sejuamlah uang yang dipinjam untuk membayar. Sisanya dianggap sebagai
keuntungan.
Selain itu ada juga cara lain yang mereka lakukan untuk
memperoleh uang. Bila si penjual tidak sepakat harga dan nekat hanya mau
menjual sesuai harga standar di toko emas, tukang catut akan mengantarnya dan
memperkenalkannya kepada si pemilik toko. Harapannya setelah selesai proses
jual beli, si pemilik toko akan memberi sejumlah tip.
Peran pemilik toko bukan hanya sebatas itu bagi mereka.
Selain memberi modal, para tukang catut sering diberi timbangan (dacin) kecil untuk
menimbang emas. Tapi kalau penjualnya tak puas (atau kurang percaya) dengan
dacin kecil itu, pemilik toko menyediakan mereka tempat khusus menggunakan
dacin di dalam toko. Selanjutnya dilakukan negosiasi harga. Bila si penyatut
pintar menawar dengan harga murah jauh dibawah standar harga emas yang berlaku
saat itu maka ia bisa untung besar.
Membantu Suami dan Belanja Anak-anak
Saibah, 45, suatu sore masih hangat bercanda dengan
rekannya. Tak terasa sudah 12 tahun ia menjalani profesinya sebagai tukang
catut emas di depan Toko Emas Cempaka Cakraneegara. Saat ditemui, ia mengakui memiliki menjadi
pencatut karena tuntutan ekonomi semata. Dari hasil nyatut emas,
perempuan asal Sekarbela itu bisa membantu suami menyediakan kebutuhan dapur
keluarga dan belanja anak-anaknya. Ia tidak bisa membayangkan bila ia sendiri
tidak ikut terjun membantu suami. Kebutuhan keluarga dalam sehari saja bisa
mencapai Rp 50 ribu. Itu tak mungkin dipenuhi oleh suaminya sendirian yang juga
berpenghasilan pas-pasan.
Pekerjaan nyatut, katanya, satu-satunya pekerjaan
yang ia bisa. Kalau ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan, tentu lebih baik
tidak menjadi pencatut emas. Saibah mengaku pekerjaan mencatut bukanlah
pekerjaan ringan. Setiap hari sejak pukul delapan pagi ia harus berangkat
meninggalkan anak-anak dan keluarganya, dan pulang sore hari sekitar pukul setengah enam. Sedangkan rejeki yang
datang sering tidak menentu. Dalam sehari belum tentu mendapat satu orang yang
mau menjual emas kepadanya. Belum lagi ancaman tertipu dari penjual emas
gadungan yang memang sengaja menjebaknya dengan emas tiruan.
Selama ini ia hanya mengandalkan modal sendiri seadanya.
Atau hanya ikut nimbrung rekan lain bila kebetulan modal habis terpakai untuk
kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, perempuan lima anak ini sangat
mengharapkan uluran tangan pemerintah atau instansi tertentu untuk memberi
modal.
Pernyataan Saibah didukung rekannya yang lain yang memang
ikut nimbrung. Soal modal, kata mereka, kalau tidak mau diberi percuma. Mereka
sangat senang bila diberi sekedar pinjaman lunak. ”Kalau tidak mau kasih
percuma beri aja pinjaman yang bisa kita setor sedikit-sedikit,”
usulnya. ”Kami sebenarnya tak butuh modal besar, diberi sekedar Rp 2 juta per
orang pun sudah cukup bagi kami,” harapnya.
Soal perhatian pemerintah kepada mereka ini pun sempat
membersitkan kecewa. Karena itu, Saibah sempat menyentil harapan pada partai
baru yang katanya ingin membawa perubahan.
sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 21/Tahun II/16-30 April 2003
sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 21/Tahun II/16-30 April 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar