Translate

Jumat, 05 Juni 2015

Lombok Khas: Nyatut Emas



Kalau terdesak kebutuhan uang, tentu barang paling cepat “lari”-nya adalah emas. Maklum, selain barang kebanggaan, logam mulia itu juga bisa dijadikan asset darurat. Maksudnya, bila kebutuhan tiba-tiba datang menyergap maka emas paling mudah dipindahtangankan.

Walau bukan termasuk kebutuhan primer, logam mulia itu selalu ramai diperjualbelikan masyarakat. Ramainya perputaran bisnis logam mulia itu menggoda banyak orang mencoba meraih peruntungan. Bagi yang punya modal, bisa punya toko perhiasan khusus emas atau  sekedar jadi tukang emas. Itu bagi yang bermodal, tapi yang cuma modal cekak pun tak mau ketinggalan. Coba lihat inaq-inaq (ibu-ibu) yang banyak ditemukan di sekitar pegadaian atau toko-toko yang berjualan emas.

Jadi,  kemana paling cepat menawarkan emas?  Kalau mau harga ”titipan” sementara bisa datang ke pegadaian. Tapi kalau mau lego langsung bisa saja lari ke toko perhiasan, tentu dengan membawa surat pembelian. Kalau emasnya tak punya surat-surat lengkap bisa transaksi di ”pasar gelap”.

Jual beli di pasar gelap itu kerap disebut nyatut, dan pelakunya disebut sebagai tukang catat. Yang namanya tukang catut sering diidentikkan sebagai orang yang modalnya cekak (sering juga tidak punya modal) tapi ingin untung besar. Tapi mereka juga ber jasa bagi yang diuber-uber kebutuhan. Misalnya kalau anting-anting hilang sebelah atau surat emas sudah hilang atau rusak tentu ada kesulitan menjualnya. Nah, tukang catut inilah penawarnya.

Wartawan RAKYAT pun harus ikut-ikutan nyatut dan nguber penjual emas untuk bisa menuliskan bisnis di ”pasar gelap” itu bagi pembaca.---------------------------------




DI TEMPAT-TEMPAT sekitar pegadaian di Kota Mataram, atau di toko-toko emas seringkali dijumpai perempuan-perempuan yang selalu menyapa orang yang lewat. ”Emas...... emas....,” begitu sapaan mereka. Salah satu diantara mereka adalah Inaq Imah (50). Mungkin telah ratusan orang yang sudah disapa Inaq Imah. Sapaan itu terus diucapkan nyaris dengan ekspresi tunggal, dan tak membuat kendur semangat perempuan paruh baya itu meski sering tak mendapat respon dari yang disapanya. Juga beberapa perempuan lainnya menyampaikan pertanyaan dan juluran tangan yang sama.
Beberapa perempuan (sebagian besar separuh baya) itu tiap hari dapat dijumpai duduk berjejer di lorong gang depan Pertokoan Barata (dulunya ACC, red), atau bertebaran persis  di depan toko emas Thian Thai di Ampenan. Pertanyaan yang sama tetap mereka  lontarkan, ”Jual emas?”
Bisnis nyatut emas yang  dilakukan  mereka juga punya sejarah panjang. Kabarnya, nyatut itu sudah dilakukan orang sejak jaman penjajahan Belanda.
Ada yang unik dalam jual beli emas di jalanan itu, dan jelas berbeda dengan sistem jual beli yang lazim. Bila di pasar umum penjual yang capek menunggu pembeli, maka disini justru pembeli yang capek nguber penjual.
Seringkali tingkah laku nguber penjual itu menggelikan. Sebab pertanyaan mereka selalu dilontarkan pada setiap orang yang lewat di gang itu. Tidak peduli penampilan orang yang yang lewat itu seperti pejabat atau buruh bangunan yang sedang melintas. Laki-laki maupun perempuan. Seolah-olah mereka berpikir, setiap orang yang lewat di situ ingin menjual emas.
Inaq Imah dan puluhan perempuan yang berjejer di lorong gang itu melakukan hal yang sama. Mengucapkan pertanyaan yang sama, kadang pertanyaan itu dilontarkan bersamaan dan bersahutan. Tapi gelengan kepala dan palingan wajah yang sama juga mereka terima. Bosan?
Ternyata tidak. Sejak mulai duduk selepas siang hingga sore ini di tempat itu, Inaq Imah tak mengeluh meski semua orang yang ditanyai mengatakan tidak. Bahkan sebenarnya sejak tiga mingggu lalu belum ada satu pun orang yang ditanyainya betul-betul ingin menjual emas.
”Kerja nyatut tidak boleh bosanan,” kata Inaq Imah yang sudah punya lima putra satu putri ini. Soal rejeki, katanya, bila sudah waktunya pasti datang.
Pekerjaan ini dilakukannya karena ia mengaku sudah bosan duduk terus di rumah. Sejak ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, ia selalu gelisah dan kesepian. Bila di rumah terus ia selalu terbayang almarhum suaminya saat pulang kerja.
Hingga ia memutuskan bekerja nyatut sebagai pelampiasan. Soal ekonomi sebenarnya bukan masalah. Semua anak-anaknya sudah berkeluarga. Sebenarnya, anak-anaknya  itu melarang keras dirinya harus duduk di jalaan sebagai tukang catut.
”Semua anak saya justru marah melihat saya seperti ini, tapi bagaimana lagi cuma duduk-duduk saja sudah bosan,” ceritanya. Apalagi anaknya banyak. Diam di rumah anak yang satu, yang lainnya iri.
Inaq Imah berbeda dengan Inaq Rabi’ah. Perempuan yang  juga sudah paruh baya ini memilih nyatut emas karena terpaksa keadaan. Seperti dikatakannya, tidak ada pekerjaan lain yang mampu dikerjakannya. Sejak lima tahun lalu suaminya yang berumur lanjut tak mampu lagi membiayai keluarga. ”Kalau ada pekerjaan lain, saya tidak mau begini,” jelas Rabi’ah.
Karena motivasi ekonomi itu Inaq Rabi’ah lebih bersemangat dibanding yang lain. Meski masih jauh, jika melihat orang yang kemungkinan mendekat ke gang itu ia sudah mulai teriak-teriak memanggil.
Alasan terdesak ekonomi keluarga seperti Rabi’ah jumlahnya banyak, namun tidak jarang juga yang cuma ingin ”rekreasi”. Daripada melongo terus di rumah, lebih baik memilih nyatut emas. Toh hasilnya sedikit.
Tidak jelas kenapa yang dominan nyatut adalah ibu-ibu atau dalam bahasa sasaknya Inaq-inaq. Sedangkan laki-laki, hanya beberapa saja. Dari keterangan beberapa orang  di gang itu, jumlah tukang catut laki-laki cuma empat orang. Mereka itu pun tidak punya semangat seperti yang perempuan. Kadang muncul sebentar kemudian pergi.
Namun sebenarnya tempat mangkal pencatut emas tidak hanya di Ampenan atau tepatnya di gang  yang terhimpit gedung berarsitektur khas Cina itu. Di tempat-tempat lain seperti  Mataram dan Cakranegara juga banyak. Perempatan besar di Cakranegara bisa dibilang pusat mangkal para tukang catut. Sebab di kiri-kanan jalan terdapat dua toko emas yang cukup besar yaitu Toko Emas Cempaka dan Toko Emas Melati.
Anehnya, tukang catut di Cakra negara kelihatannya lebih bergairah dibanding yang ada di Ampenan. Dilihat dari penampilannya, jumlah penjual yang datang kepada mereka menjual emas tentu lebih ramai. Disini pun banyak terdapat tukang catut berpeci putih (baca: haji), pertanda bisnis nyatut bukan lagi pilihan hidup yang terpaksa. Sebaliknya, justru merupakan bisnis yang menjanjikan. Meski begitu, namanya tetap sama, tukang catut. Praktek bisnisnya juga sama menanyakan pada orang-orang yang lewat; mau jual emas?
***

Dari berbagai obrolan, maraknya tukang catut emas itu ternyata sudah muncul berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bahkan satu sumber menyebutkan, bisnis nyatut emas sudah ada sejak dari zaman penjajahan Belanda. Konon pelopornya adalah orang-orang Sekarbela, Kecamatan  Ampenan, yang saat ini menjadi pusat penjualan emas dan mutiara terbesar di Lombok. Dan hingga kini pun, sebagian besar menjalani bisnis catut emas itu juga dari Sekarbela.
Wilayah yang masuk Kelurahan Pagesangan ini memang sangat terkenal dengan tradisi perajin perhiasan, terutama emas dan mutiara. Tidak heran Sekarbela walau berada jauh  di bagian selatan Mataram menjadi pusat perhiasan. Daerah itu juga menjadi salah satu tujuan bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara yang ingin mengoleksi perhiasan emas dan mutiara.
Dari keterangan Faridah, 40, pemilik toko yang namanya sama dengan toko emasnya di lorong gang di Ampenan, orang-orang Sekarbela mempunyai sejarah panjang dalam soal emas. Dimana-mana pusat pertokoan emas dari NTT sampai Bali sekalipun selalu ada orang Sekarbela. Ia pun memulai karir bisnisnya juga sebagai pencatut emas. ”Sebelum punya toko emas, saya dulu juga nyatut,” ungkap ibu yang juga asal Sekarbela itu.
Diakuinya, sebagian dari modalnya mengelola toko emas merupakan hasil nyatut sejak kecil. Sebelum bisa nyatut sendiri ia ikut kakaknya yang berprofesi sama. Dari situ ia tahu seluk beluk cara mencatut. Untungnya sebagai tukang catut cukup besar. Banyak orang yang bisa pergi naik haji ke Mekkah dari hasil sebagai tukang catut.
Faridah mungkin bukan bermaksud sombong soal kepiawaian orang-orang Sekarbela dalam soal perhiasan emas. Tradisi nyatut yang sekarang marak itu, awalnya juga hanya dilakukan orang-orang dari Sekarbela. Sedangkan orang-orang dari luar Sekarbela hanya ikut-ikutan. Dari yang ikut-ikutan itu pun yang mampu mencuri ilmu orang Sekarbela cuma segelintir orang saja. Sementara yang lain hanya mengandalkan keuntungan dari aksi jual beli semata.
Apa sih keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang pencatut?
Secara khusus Faridah tak merincinya. Namun menurutnya, ada feeling khusus dalam menilai emas. Sesuatu yang (katakanlah) semacam ”visi” yang jarang dimiliki oleh orang-orang kebanyakan.
Sebab menilai keaslian emas satu kunci pokok yang harus dimiliki agar tidak gampang terkecoh penjual yang bermaksud menipu. Emas tiruan dibilang emas asli. Biasanya, ungkap Faridah, banyak tukang catut dari luar Sekarbela yang mengalami kerugian karena tertipu. Karena tak benar-benar piawai, tukang catut banyak yang membeli logam yang luarnya emas padahal dalamnya tembaga atau besi biasa. (Tim TABLOID RAKYAT)




Bisnis Sama Rata Sama Rasa

RATA-RATA TUKANG CATUT emas itu pernah merugi atau tertipu. Inaq Imah misalnya, pernah stress gara-gara merugi, meski cuma sampai ratusan ribu. Padahal, sebelum memutuskan membeli, emas itu sudah dites beberapa kai dengan  uji manual yang biasa ia lakukan.
Karena yakin ia pun membayar dengan penuh harap akan mendapat keuntungan berlipat. Namun apa lacur, ketika dibawa ke toko terdekat untuk dijual lagi, kadar emasnya dinyatakan tidak seberapa. Sebenarnya emas hanya sebagai pembungkus saja, di dalamnya ditemukan kayu biasa. Untuk mencari si penjual tentu tak mungkin lagi, begitu mendapat uang ia segera pergi dan menghilang.
Cerita sedih soal kerugian yang dialami para pencatut emas itu juga dituturkan seorang pedagang senjata tajam yang berjejer di lorong jalan tikungan Jalan Niaga, Ampenan itu. Pernah suatu ketika, lima orang perempuan pencatut emas tiba-tiba bergulingan di tengah jalan. Meraka meraung-raung sambil menangis.
Dari teriakannya itu mudah diduga, masing-masing dari mereka baru saja tertipu ratusan ribu rupiah karena membeli tembaga berlapis emas. Padahal sebelumnya mereka terlihat bernegosiasi dan menentukan harga bersama-sama. Meski begitu tetap saja bisa tertipu.
Soal tertipu, Haji Thamrin, tukang catut dari Sekarbela, juga mengaku sering menghantuinya. Bila tak hati-hati, bisa-bisa uang ratusan ribu lenyap dalam sekejap. Namun ia membantah kalau orang Sekarbela punya feeling khusus dalam menilai emas. ”Kalau cuma dilihat biasa kita tidak mungkin bisa,” ungkapnya ketika ditemui sedang mangkal di depan Toko Emas Melati Cakranegara.
Untuk mengetahui keaslian emas yang mau dibeli, katanya, ada batu khusus tempat menoreh emas yang  mau dibeli itu. Setelahnya, batu tersebut dicelupkan ke dalam cairan khusus pula. ”Cairan khusus itu harus dibeli dan mahal,” cetusnya. Bila asli torehan emas yang ada di batu itu takkan hilang, tapi bila hilang maka emas itu pasti palsu.
Namun, pembuktian seperti itu meski lazim digunakan, menurut Saibah, tak menjamin terhindar dari tipuan. Seperti yang dialami tukang catut emas di Ampenan itu. Ketika dilihat luarnya dan ditorehkan ke batu menunjukkan gejala emas asli, tapi ketika dijual ke toko dan diperiksa dalamnya belum tentu seluruhnya emas. Bagi Saibah yang juga kerap mangkal di depan Toko Emas Cempaka itu, akal bulus seperti ini kerap menjadi hantu para tukang catut emas.
Selain itu, yang menjadi momok adalah kekeliruan menilai jenis emas. Sayang, soal yang satu ini tak dijelaskan Saibah panjang lebar. Ia hanya berucap bila kebetulan mendapat emas odak (emas muda) akan merugi. ”kadang kita dapat emas odak,” cetusnya ketika ditanya soal penghasilan dan kerugian yang dideritanya akibat tipu muslihat penjual emas.
***

Nyatut emas mungkin termasuk bisnis yang paling sosial. Nilai solidaritas diantara tukang catut cukup tinggi. Semua dilakukan secara bersama-sama. Dari bertanya (ke penjual) sampai negosiasi harga jadi, termasuk juga membayar, semua dilakukan secara urunan. Hasil penjualan akan di-share sebanyak rekan yang ikut nimbrung ketika membeli. Bila untung akan bagi-bagi keuntungan, sedangkan kalau rugi juga bagi-bagi kerugian. Sama rata sama rasa.
Sebagian besar tukang catut mengaku tidak memiliki modal. Bila ada emas yang harus dibayar maka yang membayar adalah rekannya yang punya uang. Tapi soal keuntungan tetap dibagi sama. Bila ikut nimbrung saat negosiasi, tetap dapat bagian bila memang untung. Tetapi bila rugi juga ikut rugi.
Ada juga cara lain, bila nilai emas yang harus dibayar terlalu besar, mereka berhutang dulu ke tukang emas terdekat. Dengan catatan resiko untung rugi mereka tanggung bersama. Meminjam uang untuk membayar emas tentu bukan hal sulit bagi mereka. Pemilik toko emas akan dengan sangat bersenang hati meminjami mereka. Tentu saja dengan imbalan nantinya setelah dibayar emas itu akan dijual kepada si pemilik toko. Harga jualnya nanti akan dikurangi sejuamlah uang yang dipinjam untuk membayar. Sisanya dianggap sebagai keuntungan.
Selain itu ada juga cara lain yang mereka lakukan untuk memperoleh uang. Bila si penjual tidak sepakat harga dan nekat hanya mau menjual sesuai harga standar di toko emas, tukang catut akan mengantarnya dan memperkenalkannya kepada si pemilik toko. Harapannya setelah selesai proses jual beli, si pemilik toko akan memberi sejumlah tip.
Peran pemilik toko bukan hanya sebatas itu bagi mereka. Selain memberi modal, para tukang catut sering diberi timbangan (dacin) kecil untuk menimbang emas. Tapi kalau penjualnya tak puas (atau kurang percaya) dengan dacin kecil itu, pemilik toko menyediakan mereka tempat khusus menggunakan dacin di dalam toko. Selanjutnya dilakukan negosiasi harga. Bila si penyatut pintar menawar dengan harga murah jauh dibawah standar harga emas yang berlaku saat itu maka ia bisa untung besar.



Membantu Suami dan Belanja Anak-anak

Saibah, 45, suatu sore masih hangat bercanda dengan rekannya. Tak terasa sudah 12 tahun ia menjalani profesinya sebagai tukang catut emas di depan Toko Emas Cempaka Cakraneegara. Saat ditemui, ia mengakui memiliki menjadi pencatut karena tuntutan ekonomi semata. Dari hasil nyatut emas, perempuan asal Sekarbela itu bisa membantu suami menyediakan kebutuhan dapur keluarga dan belanja anak-anaknya. Ia tidak bisa membayangkan bila ia sendiri tidak ikut terjun membantu suami. Kebutuhan keluarga dalam sehari saja bisa mencapai Rp 50 ribu. Itu tak mungkin dipenuhi oleh suaminya sendirian yang juga berpenghasilan pas-pasan.
Pekerjaan nyatut, katanya, satu-satunya pekerjaan yang ia bisa. Kalau ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan, tentu lebih baik tidak menjadi pencatut emas. Saibah mengaku pekerjaan mencatut bukanlah pekerjaan ringan. Setiap hari sejak pukul delapan pagi ia harus berangkat meninggalkan anak-anak dan keluarganya, dan pulang sore hari sekitar  pukul setengah enam. Sedangkan rejeki yang datang sering tidak menentu. Dalam sehari belum tentu mendapat satu orang yang mau menjual emas kepadanya. Belum lagi ancaman tertipu dari penjual emas gadungan yang memang sengaja menjebaknya dengan emas tiruan.
Selama ini ia hanya mengandalkan modal sendiri seadanya. Atau hanya ikut nimbrung rekan lain bila kebetulan modal habis terpakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, perempuan lima anak ini sangat mengharapkan uluran tangan pemerintah atau instansi tertentu untuk memberi modal.
Pernyataan Saibah didukung rekannya yang lain yang memang ikut nimbrung. Soal modal, kata mereka, kalau tidak mau diberi percuma. Mereka sangat senang bila diberi sekedar pinjaman lunak. ”Kalau tidak mau kasih percuma beri aja pinjaman yang bisa kita setor sedikit-sedikit,” usulnya. ”Kami sebenarnya tak butuh modal besar, diberi sekedar Rp 2 juta per orang pun sudah cukup bagi kami,” harapnya.
Soal perhatian pemerintah kepada mereka ini pun sempat membersitkan kecewa. Karena itu, Saibah sempat menyentil harapan pada partai baru yang katanya ingin membawa perubahan. 


sumber: Tabloid RAKYAT Edisi No. 21/Tahun II/16-30 April  2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar