Translate

Kamis, 04 Juni 2015

PAROKIALITAS ADAT TERHADAP POLA KEBERAGAMAAN KOMUNITAS ISLAM WETU TELU DI DESA BAYAN LOMBOK





Islam Wetu Telu dapat dipahami jika kita secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari ruang heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain demi pengayaan dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga dapat menerima Islam sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan elaborasi ini, maka dalam konteks ini, pribumisasi Islam diharapkan mampu melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-’adah muhakamah (adat kebiasaan bisa menjadi hukum). Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu, sesuai dengan kaidah taghayyur al-ahkam bi at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (hukum dapat berubah karena adanya perubahan zaman, tempat dan kondisi).

Pribumisasi Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya.


Abstract: This article describes community-plurality pattern of Islam “Wetu Telu“ of Bayan Villagers, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. They are strict adherent to their traditional beliefs in their rituals, so they become the target of dakwah (propagation) by Community “waktu lima” which consider themselves to have carried Islamic teaching in the right path. This research is qualitative in nature and employs cultural anthropology in its approach. The finding tells the readers that Wetu Telu are still Moslems who believe in Allah and His messenger, Muhammad. But in their ritual, they still have blended their Islamic teachings with their traditional beliefs. It is a living spirit they have maintained for a long time which worth respecting for a peace-co existence among them, the Moslem believers.
Kata Kunci: Beda Agama, Tradisi, Wetu Telu, Waktu Lima


Sebelum Islam datang ke wilayah nusantara, berbagai macam tardisi dan kepercayaan lokal banyak dipraktekkan dan sangat menyatu dengan struktur lokal sosial. Selanjutnya ketika Islam datang, ia berhadapan dengan nilai-nilai lama yang beberapa diantaranya mengandung unsur-unsur Hindu-Budha. Alih-alih membersihkan sepenuhnya anasir non-Islami, Islam juga diakomodasikan dan pada akhirnya disinkretisasikan ke dalam tradisi lokal. Keberadaan Islam abangan di Jawa dan Islam Wetu Telu di Lombok merupakan bukti bahwa Islam dipraktekkan dengan kepercayaan lokal yang mengandung anasir non-Islami.
Di pulau Jawa dan Lombok, Islam sarat diwarnai oleh kebudayaan asli setempat “…Islam, dengan segelintir pengecualian, dipraktekkan di seluruh kepulauan Indonesia sebagai sebuah agama tradisional rakyat. Di mana-mana Islam disatukan dengan kepercayaan lokal” (Schwarz, 1994: 166). Di samping itu, tidak terlalu mengejutkan mendapati bahwa mayoritas orang Islam nominal memandang Islam secara sempit sebagai syahadat, berpantang makan daging babi, dan minum alkohol serta berkhitan bagi kaum prianya.
Perbedaan perspektif dan pemahaman dalam menyerap dan menjalankan ajaran-ajaran Islam, serta akomodasi agama ini ke dalam struktur lokal yang spesifik telah menyumbang pluralitas dan parokialitas Islam di Indonesia. Soebardi mendeskripsikan pluralitas kultur Islam sebagai sub kultur di Indonesia: “Realitas kehidupan Islam sangat pluralistik. Seseorang bisa menjumpai berbagai perbedaan cara orang Islam dalam menjalankan ajaran Islam. Kelompok-kelompok ortodok menjalankan kewajiban-kewajiban agama dengan penuh ketaatan. Di pihak lain, ada banyak sekali orang yang menyebut dirinya Islam tetapi pengetahuan tentang hukum dan ajarannya sangat dangkal dan tidak sempurna serta mereka tidak bertindak-tanduk menurut petunjuk agama mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bisa ditambahkan di sini bahwa ada banyak sekali anasir peribadatan yang berasal dari zaman pra Islam” (Soebardi, 1976: 39).

Berdasarkan elaborasi di atas terlihat bahwa terdapat pluralitas ekspresi keberagamaan di Indonesia. Di pulau Lombok terdapat dua varian Islam yang dipisahkan secara diametral, yakni antara Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu dapat dikatagorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu Lima dikatagorikan agama samawi. Klasifikasi ini bukan merupakan suatu yang terpisah satu sama lain. Kedua katagori ini bisa saling tumpang tindih, di mana sebuah katagori memiliki karakteristik tertentu yang juga bisa dipunyai katagori lain, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, agama tradisional memuat nilai-nilai, konsep, pandangan, dan praktek-praktek tertentu hingga pada batas-batas tertentu juga bisa ditemukan dalam agama samawi. Begitu juga halnya dengan agama samawi bisa mengandung sesuatu yang ternyata lebih parokial.

Identifikasi Wetu Telu yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan do’a-do’a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur’an, para kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting kepercayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal. Dimasukkannya ayat-ayat al-Qur’an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang bagaimana pun juga tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya (Budiwanti, 2000: 66).

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah, maka pokok permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah; 1) bagaimana sistem kepercayaan Wetu Telu; 2) bagaimana praktik keberagamaan Wetu Telu dalam kehidupan sehari-hari.

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam bagaimana eksistensi ”Islam” Wetu Telu dalam rutinitas pelaksanaan pemahaman-pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Secara teoritis tulisan ini diharapkan memberikan sumbangan analisis terhadap proses terjadinya pribumisasi Islam di salah satu belahan wilayah Indonesia. Secara praktis, diharapkan dapat memunculkan sikap toleransi terhadap kelompok tertentu yang memiliki pemahaman tersendiri terhadap Islam ketika berhadapan dengan tradisi lokal.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan suatu penalaran induksi analitik yang didasarkan pada data dengan analisis secara terus menerus, baik ketika di lapangan maupun setelah kembali ke meja.
Parokialitas adat pola keberagamaan komunitas Wetu Telu ini akan didekati dengan pendekatan antropologi budaya (Koentjaraningrat, 1980: 187), yakni dengan teori difusi kebudayaan. Difusi dalam arti adanya proses penyebaran suatu budaya asing, yang datang ke suatu wilayah tertentu di mana sejak awal sudah terdapat kebudayaan lokal yang pada akhirnya terjadi akulturasi kebudayaan.
Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Bayan Lombok Barat. Pemilihan desa ini dianggap mewakili masalah proses akulturasi Islam dan budaya lokal, sebab orang-orang Sasak yang terletak di Desa Bayan, mengaku sebagai orang Islam tetapi menjalankan rutinitas keagamaannya masih becorak adat lokal (sinkretik).
Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan konsep Spradley (1997:61) yang prinsipnya menghendaki seorang infornan itu harus paham terhadap budaya setempat. Untuk itu penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowballing. Berdasarkan itu maka ditentukan informan kunci, yaitu sesepuh adat desa Bayan yang terkait erat dengan proses-proses parokialitas adat masyarakat muslim Sasak secara terus-menerus di lokasi tersebut. Sedangkan informan lain ditentukan berdasarkan rekomendasi informan sebelumnya sampai mendapatkan data jenuh (tidak terdapat informasi baru lagi). Dengan demikian, jumlah informan tidak terbatas jumlahnya. Karakteristik informan juga tidak sepenuhnya ditentukan oleh peneliti, tetapi berdasarkan rekomendasi informan sebelumnya. Melelui rekomendasi itu, peneliti menghubungi informan berikutnya sampai data yang diperoleh mendapatkan kesatuan yang utuh.
Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik participant observation dan wawancara mendalam (depth interview). Dalam melakukan participant obeservation juga berpegang pada konsep Spradley (1977:106). Pangamatan berpartisipasi dipilih untuk menjalin hubungan baik dengan informan agar peneliti mudah melakukan wawancara secara mendalam.
Semua data hasil wawancara mendalam dan pengamatan sehari-hari dicatat secara cermat serinci mungkin dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu catatan lapangan atau fieldnotes (Sanjek, 1990; Fetterman, 1998). Selama informan tidak keberatan maka dalam pelaksanaan wawancara, semua pembicaraan dicatat dengan menggunakan buku harian khusus. Sedangkan dalam pengamatan menggunakan tustel. Semua data di analisis ecara kualitatif. Untuk mencapai kredibilitas data dilakukan dengan cara pengamatan secara terus menerus dan triangulasi. Pengamatan terus-menerus dilakukan dengan cara berulang-ulang. Triangulasi dilakukan dengan cara pengecekan ulang oleh informan setelah hasil wawancara ditranskrip.
Data yang telah diperoleh melalui penelitian ini dioalah menggunakan pendekatan kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap kondisi keberagamaan masyarakat pedesaan dan sosio-kultural yang ada. Analisa data penelitian ini berupa proses pengkajian secara terus menerus baik di lapangan maupun setelah di lapangan (Edrawarsa, 2003: 30). Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengkatagorikan data. Setelah itu baru dicarikan tema-tema budaya yang kemungkinan menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian ini diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya. Dalam analisis ini yang berbicara adalah data dan peneliti tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, itu merupakan hasil dari interpretasi informan terhadap dialektika Islam dan tradisi lokal.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Dialektika Tradisi Islam Normatif dan Islam Kultural
Islam sebagai sebuah sistem tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal yang masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti (core element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral element) di sisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari agama Islam yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata jika tampak ke wilayah permukaan.
Dari segi doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-rubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tataran praksis komunitas umatnya, maka warna Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk sebuah peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektiaka sejarah yang berbeda-beda namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.
Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi kepercayaan (belief) yang berupa tauhid dan diimplementasikan ke dalam dimensi praksis yang meliputi ritual, budaya dan tradisi dan tradisi keislaman lainnya.
Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, “Islam normatif” atau, istilah Richard C. Martin, “Islam formal”yang ketentuannya tertuang secara ekplisit di dalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praksis menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara “Islam formal” dan budaya lokal Muslim tertentu.
Dalam mengkaji Islam beserta makna derivasinya, paling tidak ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan teksual dan pendekatan kontekstual. Pendekatan tekstual menekankan pada signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine source) dalam Islam, terutama al-Qur’an dan al-Hadits. Pendekatan ini sangat penting untuk melihat realitas Islam normatif yang tertulis baik secara eksplisit maupun implisit.
Selain ajaran tauhid sebagai pilar utama dalam Islam, ibadah mahdhah (dimensi vertikal) merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan hukumnya sudah diatur secara jelas dalam kedua teks suci tersebut. Ibadah mahdhah tidak memerlukan ijtihad untuk mencari penafsiran lebih jauh, namun ia hanya perlu diamalkan. Dalam bahasa ritualnya, ia sering disebut sebgai arkan al-Islam yang meliputi syahadat, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan hanya arkan al-Islam yang membentuk Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-hadits juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan begitu bisa dilihat dengan pendekatan pertama ini.
Dalam prakteknya, pendekatan tekstual ini barangkali tidak menemui kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qath’i sebagaimana tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, namun kehadirannya diakui dan bahkan diamalkan oleh komunitas muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling terang benderang adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun, seperti slametan, tahlilan dan lain sebagainya. Memang cukup dilematis bagi pendekatan tekstual untuk sekedar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak.
Fenomena ritual keagamaan yang banyak bercampur dengan tradisi lokal tidak dapat disangkal lagi, kepercayaan dan ritual sinkretik sangat banyak ragamnya. Banyak peneliti Islam Indonesia, yang memberikan keterangan tentang Islam yang begitu berbeda dengan karakter Islam Arab (Woodward, 1998: 3-5).
Fenomena ini juga diamini oleh Martin van Bruinessen, dengan menunjukkan bukti bahwa banyak praktek yang dikatagorikan Islam abangan juga ditemukan di belahan lain dunia Islam. Ia membandingkan deskripsi Geertz tentang agama abangan dengan pengamatan-pengamatan pada kehidupan sehari-hari kaum petani Mesir, pada awal abad ke-19, yang dilakukan oleh studi klasik lain, karya Lane: Manners and Customs of the Modern Egyptians (Perilaku dan Kebiasaan Orang-orang Mesir Modern). Beberapa praktek kurang Islami yang terlihat dalam perilaku keagamaan orang Jawa, telah dikenal juga oleh orang-orang Mesir (Bruinessen, 1999: 46-63).
Di samping itu banyak praktek magic yang bersumber dari Islam, bahkan tidak diragukan lagi bersumber dari tanah suci (Makkah). Isinya banyak memuat tentang naskah magis populer dan ramalan-ramalan, yang juga dikenal sebagai primbon atau dalam versi yang lebih Islami disebut kitab mujarobat, yang diperoleh langsung dari karya-karya penulis Muslim Afrika Utara abad ke-12-13, yakni Syeikh Ahmad al-Buni (Bruinessen, 1989: 86).
Beberapa kepercayaan dan praktek lokal telah menjadi bagian kompleksitas budaya global. Banyak umat Islam kontemporer Indonesia enggan menyebutnya Islami karena mereka menentang konsepsi Islam modern (universal). Namun demikian, lanjut Martin, dalam beberapa kasus mereka masuk ke Indonesia sebagai bagian dari perluasan peradaban Islam, meski tidak menjadi tulang punggung agama Islam. Mereka merepresentasikan gerakan awal Islamisasi, dan adalah keliru jika dikatakan bahwa Islamisasi adalah gerakan sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses yang dimulai sejak abad ke-13 sampai 15 H (Bruinessen, 1999: 46-63).
Untuk menjawab persoalan di atas, barangkali pendekatan yang diajukan Mark. R. Woodward dalam menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif dengan Islam lokal dapat diajukan. Pendekatan ini disusun secara kronologis atas empat unsur dasar (Woodward, 10- 22) yaitu:
Pertama, Islam universalis. Penempatan Islam universalis di lakukan di awal karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran Islam yang secara qoth’i sudah digariskan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Masuk dalam katagori ini adalah tauhid, arkan al-Islam, dan kredo religius lainnya yang bersifat taken for granted. Terhadap katagori ini, umat Islam pada umumnya sepakat meyakininya sebagai ultimate truth yang tidak memerlukan elaborasi (ta’wil) lebih jauh.
Kedua, Islam esensialis. Penggunaan terma esensialis ini pada awalnya dipinjam oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjukkan modus praktik-praktik ritual yang sekalipun tidak didelegasikan secara eksplisit oleh teks-teks universalis, namun secara luas diamalkan oleh umat Islam atas dasar justifikasi substansial dari semangat kedua sumber suci tersebut. Masuk dalam katagori ini adalah upacara tahunan maulid al-Nabi Muhammad SAW, bacaaan-bacaan zikir yang diamalkan oleh halaqah-halaqah sufi, juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk memuliakan para wali, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi slametan, tahlilan yang tersebar luas di negara-negara Muslim, seperti India, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia. Dengan demikian, Islam esensial merupakan katagori Islam yang sangat inklusif.
Ketiga, receiverd Islam. Secara harfiah, receiverd Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam yang diterima atau dipahami. Woodward secara jujur tidak menghadirkan deskripsi yang memuaskan tentang kategori ketiga ini. Ia hanya menyebut bahwa receiverd Islam menjadi jembatan antara kategori universalis dan esensialis dengan Islam lokal. Lebih jauh ia menambahkan bahwa contoh konkrit dari kategori ini adalah dominasi ajaran sufi yang mempengaruhi perkembangan Islam lokal di Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring dengan pengetahuan atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.
Keempat, Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam (Mekkah). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam.
Dari elaborasi yang diberikan oleh Wood ward di atas ada kesan bahwa pendekatan tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas untuk membedakan mana yang disebut “Islami” dan mana yang tidak. Justru dari sini muncul kesan seolah-olah pendekatan ini dapat diaplikasikan di wilayah mana saja sepanjang masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan batasan mengenai Islam ini bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual bisa juga merupakan keistimewaannya.
Selanjutnya, kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk memahami Islam dalam konteks ruang dan waktu. Pendekatan ini pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman yang merupakan perangkat komplementer yang dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam ritual Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praksis. Dalam memahami fenomena ritual lokal dalam Islam, maka teori-teori sosio kultural berikut ini menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.
Pertama, teori fungsional. Teori ini dikembangkan oleh B. Molinowski yang mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supranatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “powerfull other”. Partisipan yang terllibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanfaatan agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritual dengan Tuhan, karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifakansi theologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek theologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan sehingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” kebutuhan spiritual.
Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrum), yakni menciptakan situasi rukun – setidaknya - di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.
Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun eksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Kedua, Rite de Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold Van Gennep ini bisa diartikan sebagai “ritual penahapan” yang menandai perpindahan status seseorang dari yang satu ke yang lain, baik merupakan perubahan status sosial maupun transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan, baik status eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan dalam hidup seseorang.
Sejalan dengan perspektif Rite de Passage di atas, slametan dan tradisi tahlilan bisa juga dipahami sebagai ritual yang menandai perpindahan status seseorang sepanjang hidupnya mulai dari kelahiran, akikah, khitan, perkawinan, dan kematian. Setiap tahapan dalam hidup manusia menandai perubahan status sosial dari yang satu ke yang lain. Sebagai contoh, ritual perkawinan menandai perubahan status sosial dari masa lajang menuju masa keluarga; ritual kematian menandai perpindahan status manusia dari alam dunia ke alam barzah dan seterusnya.
Ketiga, teori struktural. Teori ini dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss sebagai seorang pelopornya. Ritual (agama) diasumsikan memiliki hubungan struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari persoalan orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat keduanya memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada tataran konsepsi dan ritual pada tataran aksi atau “homology”, dalam bahasa Levi-Strauss. Dengan demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical order dalam bangunan sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup. Dalam konteks ini, teori model of (model dari) dan model for (model bagi) Geertz bisa diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini. Jika Levi-Strauss melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi ke satu sama lain, Geertz melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sedangkan ritual sebagai wujud dari teori model for.
Melalui pendekatan Bayani (penerapan analisis tekstual) diharapkan dapat menggali landasan normatif al-Qur’an dan al-Hadits yang berkaitan dengan wacana agama dan budaya lokal, serta dapat mengungkapkan makna teks normatif sehingga dapat memberikan kerangka relatifitas-kepastian hukum. Legitimasi normatif tekstual di atas, sangat dibutuhkan setidaknya justifikasi keyakinan keagamaan dalam menerima dan mengadaptasi serta mengakomodasi budaya lokal.
Namun pendekatan Bayani saja tidak cukup karena terkadang dalam teks al-Qur’an dan al-Hadits tidak ada penjelasan secara langsung. Oleh karena itu diperlukan pendekatan atau perspektif lain yang lebih bersikap terbuka, luwes dan toleran yaitu pendekatan Burhani dan Irfani. Melalui pendekatan Burhani (penerapan analisis rasional filosofis) dan Irfani (analisis konteks : historis sosio antropologis dan polotis-ideologis); diharapkan selain dapat mengungkapkan konteks dari sebuah risalah keagamaan, juga dapat mengungkapkan realitas sejarah dari sebuah tradisi dan budaya lokal, baik geneologi pemikiran nilai-nilai spriritualitas dan religiusitasnya maupun filosofis, local wisdom (kearifan lokal) serta visi pencerahan dan kritik sosialnya .


Sistem Kepercayaan Wetu Telu
Penelitian sosioligis ilmuwan Barat abad ke-20, seperti Van Eerde dan Professor Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Sasak terdapat tiga kelompok keagamaan; Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut sebagai agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan kata Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya (Budiwanti, 2000, 8). Menurut Erni Budiwanti, agama Boda ditandai oleh animisme dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak Boda.
Penganut Boda merupakan komunitas kecil dan masih ditemukan pada awal abad ke-20, tinggal di bagian utara Gunung Rinjani (Kecamatan Bayan dan Tanjung) dan di beberapa desa di sebelah selatan Gunung Rinjani. Diduga, dulunya mereka berasal dari bagian tengah pulau Lombok dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses islamisasi.
Sementara penganut Wetu Telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu menjadi sangat sinkretik.
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu Telu dalam makna yang sama dengan penganut Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, sebagaimana trikotomi yang diajukan Geertz, dan ditulis oleh Mark Woodward. Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, “Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (Wetu Telu) dan Waktu Lima“. Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat“ (wawancara, 2004). Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Tuhan kami yang kuasa dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune Nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.
Selanjutnya ia mensinyalir bahwa lahirnya istilah Islam Wetu Telu ini berasal dari zaman penjajahan Belanda yang menjalankan politik devide et et impera untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima.
Bagi komunitas Wetu Telu di Bayan, salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu, paling tidak ada empat konsepsi mengenai Wetu Telu. Walau berbeda-beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing-masing tokoh yang diwawancarai mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh Wetu Telu lainnya (Wawancara, 2005).
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu berasal dari kata Metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan Telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul (metu) melalui tiga macam sistem reproduksi; 1) melahirkan (menganak), seperti manusia dan mamalia; 2) bertelur (menteluk), seperti burung; dan 3) berkembang biak dari benih atau buah (mentiuk), seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi fokus kepercayaan Wetu Telu tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa Wetu Telu melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas bumi, matahari, bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketergantungan jagad kecil kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan mutlak jagad kecil akan sumber daya penting; tanah, udara, air dan api. Pada saat yang sama, jagad besar juga tergantung kepada jagad kecil dalam hal pemeliharaan dan pelestarian. Di luar itu, kemahakuasaan Tuhan berperan penting dalam menggerakkan ketergantungan antar makhluk. Ketergantungan inilah yang kemudian menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu keseimbangan. Ketidakseimbangan dapat terjadi apabila manusia sebagai bagian dari jagad besar terlalu tamak (melak) dalam mengeksploitasi jagad besar.
Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak) hidup (urip) dan mati (mate). Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara, merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa. Konsep ini dari pandangan bahwa unsur-unsur penting yang tertanam dalam ajaran Wetu Telu adalah; 1) Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indera tubuh manusia; 2) Simpanan Ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa. Secara simbolis Adam merepresentasikan garis ayah atau laki-laki, sementara Hawa merepresentasikan garis ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat organ pada tubuh manusia; 3) Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indera (berasal dari Allah) dan 8 organ yang diwarisi dari Adam (garis laki-laki) dan Hawa (garis perempuan). Masing-masing kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia -dari mata hingga anus.


Ritual-Ritual Keagamaan Wetu Telu
Sehubungan dengan kepercayaan tersebut, penganut Wetu Telu mengadakan ritual-ritual yang terkait dengan siklus di atas. Adapun ritual-ritual (upacara) yang terkait dengan kehidupan dinamakan gawe urip, yang mencakup seluruh tahapan hidup manusia semenjak dilahirkan hingga menikah. Yang termasuk dalam gawe urip, antara lain; 1) Buang Au (upacara kelahiran), merupakan upacara pembuangan abu dari arang yang dibakar dukun beranak (belian) setelah membantu persalinan. Upacara ini dilaksanakan kira-kira satu minggu setelah melahirkan. Pada saat itu pula orang tua mengumumkan nama anaknya setelah berkonsultasi dengan pemangku atau kyai mengenai nama yang cocok untuk anaknya; 2) Ngurisang (pemotongan rambut), merupakan upacara pemotongan rambut yang dilakukan setelah buang au. Upacara ini diadakan untuk seorang anak yang sudah mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang dianggap penting karena setelah ini anak yang menjalaninya disebut selam (muslim) sebagai lawan dari Boda, artinya orang yang belum diislamkan; 3) Ngitanang (khitanan), yang dilakukan saat anak berusia antara 3 hingga 10 tahun. Seperti buang au dan ngurisang, ngitanang juga dipandang sebagai simbol pengislaman. Seorang anak masih tetap Boda sampai ia dikhitan; 4) Merosok (meratakan gigi), merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara ini pemangku atau kiai menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak; 5) Merari/Mulang (“mencuri” gadis) dan Metikah (perkawinan).
Sedangkan ritual-ritual yang dilaksanakan berkaitan dengan kematian disebut gawe pati (ritual kematian dan pasca kematian). Upacara ini dilaksanakan mulai dari hari penguburan (nusur tanah), hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), keseratus (nyatus) hingga hari keseribu (nyiu).
Upacara-upacara ini bertujuan untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur. Hal ini terkait erat dengan persepsi penganut Wetu Telu bahwa kematian adalah suatu tahap untuk menjamin tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran (lingkaran leluhur) dan ritual-ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini. Melalui do’a yang dibaca pada saat upacara diyakini bahwa arwah si mati dipertemukan dengan para leluhurnya.
Bagi keluarga yang anggotanya kebetulan meninggal di luar wilayah Wetu Telu, mereka mengadakan sebuah upacara bernama selamatan mengasuh, sebelum orang yang mati dikuburkan. Mengasuh adalah ritual pembersihan guna mencegah malapetaka dan penyakit memasuki perbatasan desa (kuta atau lawang desa). Ini dilakukan karena menurut keyakinan mereka, orang yang meninggal di luar akan membawa penyakit dan malapetaka ke dalam wilayah Wetu Telu, apabila hendak dimakamkan di wilayah Wetu Telu.
Dari keempat konsep yang saling mengkait dan merupakan satu kesatuan di atas, warna Islam memang ada dalam kepercayaan Wetu Telu. Warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti;

Rowah Wulan dan Sampet Jum’at.
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa (Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.

Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Maleman Qunut merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan Maleman Likuran merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman likuran.

Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran zakat fitrah di kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan Waktu Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran Waktu Lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut Pitrah Pati.
Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.

Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.

Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idhul Adha di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan kambing berwarna hitam.

Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara Selametan Bubur puteq dan bubur abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq (bubur putih) dan bubur abang (bubur merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.

Maulud
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.
Selain konsepsi-konsepsi dan ritual-ritual di atas, Wetu Telu masih mempunyai ritual (upacara) dan keyakinan-keyakinan lainnya, seperti upacara siklus tanam padi, yang merupakan serangkaian upacara yang berkaitan dengan pelaksanakan aktivitas pertanian. Tujuannya adalah untuk mengharapkan keberkahan, menghindari penyakit tanaman, dan mensyukuri hasil pertanian, apapun hasilnya.
Sedangkan kepercayaan lainnya adalah kepercayaan akan roh leluhur dan makhluk halus yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu (penjaga). Roh leluhur dianggap penting dalam kepercayaan Wetu Telu, sebagai bukti bahwa antara mereka yang hidup saat ini memiliki keterkaitan dengan mereka yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap upacara, apapun namanya, selalu diawali dengan upacara pembersihan makam dan meletakkan benda-benda untuk diinapkan di makam leluhur sebelum semua upacara dilaksanakan. Ini dimaksudkan untuk meminta izin sekaligus memberitahu para leluhurnya bahwa mereka mengadakan suatu upacara.
Dari elaborasi tersebut terlihat bahwa pranata yang disebut adat dan kepercayaan Wetu Telu adalah ciri-ciri sinkretik dari praktek keagamaan varian Islam Wetu Telu, dengan penekanan kepada pertalian budaya antara kepercayaan asli Bayan dengan keyakinan Islam Waktu Lima. Pengakuan terhadap Islam oleh komunitas Wetu Telu tidak menggeser secara substansial ritus-ritus yang dinamakan adat, bahkan memberikan sumbangan yang lebih bermakna kepada paham-paham asli yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, tidak ada batasan-batasan secara jelas yang memisahkan ide-ide Islam Waktu Lima dari konsep-konsep Islam Wetu Telu, khususnya pemisahan antara “adat” dan “kepercayaan” Wetu Telu.
Dalam pandangan orang-orang Bayan, secara substansial Wetu Telu merupakan sisitem norma yang mengikat dan sebagai pedoman dasar masyarakat dalam berinteraksi sehari-hari sesama warga, maka ia disebut “adat”, maupun dalam rangka persembahan kepada leluhur, maka ia disebut “kepercayaan Wetu Telu”. Berdasarkan rumusan ini untuk mengetahui secara aktual berlakunya adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan atau “hukum adat”, tercermin melalui aktivitas individu warga, baik berupa ide-ide tindakan-tindakan, gagasan-gagasan, persepsi-persepsi, maupun keputusan-keputusan dari ototritas hukum yang legitimit. Demikian juga dengan norma-norma yang bersumber dari “kepercayaan Wetu Telu”, dapat didentifikasi melalui ritus-ritus sakral yang disampaikan melalui penuturan yang bersifat lisan maupun tertulis dari berbagai kalangan, atau dari pengamatan lapangan atas upacara-upacara singkat keagamaan yang dilakukan oleh komunitas masyarakat tersebut. Perilaku aktual dari Wetu Telu ini dapat berupa pembacaan do’a secara bersama-sama berupa sanjungan kepada leluhur yang diidentifikasi sebagai roh yang mempunyai kekuatan ghaib, atau dapat berupa upacara sembahyang di masjid kuno Bayan dengan ritus-ritus bernuansa magis, di bawah pimpinan Kiai dan para santrinya, selaku imam dan pelaksanaan ibadah Islam Wetu Telu.
Dialektika adat dan kepercayaan Islam Wetu Telu melahirkan sifat-sifat majemuk dari suatu kehidupan sosial di mana warga masyarakat berada dan tunduk pada berbagai aturan pluralistik. Dari heterogenitas budaya ini, melahirkan perilaku masyarakat untuk selalu memberikan hormat kepada warga yang lebih tua, seperti para tetua adat, kepada pimpinan agama mereka (Kiai) selaku pemegang otoritas tradisional yang berpengaruh. Fenomena itu, membentuk kecenderungan kepada cara pandang masyarakat bahwa dalam konteks budaya mereka, kedudukan pejabat informal lebih penting dari pejabat formal. Asumsi ini berakar pada keyakinan bahwa orang-orang yang mengemban jabatan-jabatan informal sebagai manifestasi dari pemegang otoritas tradisional, adalah keturunan dari leluhur mereka “pendiri desa Bayan” atau orang-orang selaku panutan dalam konteks ibadah.
Serangkaian nilai-nilai budaya Sasak Bayan berupa sistem adat dan kepercayaan lokal sekaligus “agama”, yakni “adat” dan “kepercayaan Wetu Telu”, pada hakekatnya dalam bahasa Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip dalam disertasi Idrus Abdullah, merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karya, atau merupakan pengalaman masyarakat tersebut, menghasilkan sistem nilai tertentu sebagai budaya bersama milik bersama suku Sasak di wilayah ini, yakni tentang apa yang dianggap buruk – dan karenanya harus dihindari - dan apa yang dianggap baik harus dipelihara, sekaligus dipertahankan

Wajah Pribumisasi Islam dari Desa Bayan
Wacana Islam Wetu Telu dalam hal ini dapat diletakkan dalam kerangka Islam pribumi atau Islam kultural, yaitu proses penghargaan pada tafsir lokal terhadap ajaran Islam dalam manifestasi kehidupan. Penghargaan ini dapat dipahami jika memandang kebudayaan sebagai sumber nilai yang dimaknai dengan tindakan konkret di ruang sosial. Sebagai sumber bagi tindakan, nilai-nilai dalam tradisi atau agama bukanlah nilai yang murni, namun selalu diuji dalam kemampuannya menghadapi persoalan kehidupan. Dalam pengujian itu nilai-nilai tradisi dan agama dapat terus berubah, dinamis, dan bersifat sementara.
Selalu ada hubungan timbal balik antara subjek pelaku dengan struktur objektif atau kebudayaan (sebagai seluruh pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk simbolik). Dalam hubungannya dengan pelaku ini, simbol-simbol agama atau tradisi ditentukan oleh kesediaan pelaku dalam mempergunakannya dan bagaimana si pelaku mempergunakannya bergantung pada kepentingan dirinya dalam ruang dan waktu. Si pelaku selalu memiliki pilihan untuk mempergunakan satu simbol di antara simbol-simbol yang lain secara pragmatis. Dengan cara ini keberbedaan antara nilai tradisi dan agama dapat dikawinkan atau dikomunikasikan karena perpisahan antara keduanya akan menghasilkan kontraproduktif bagi keduanya.
Di sinilah fungsi dialog dibutuhkan, yaitu sebuah dialog yang tidak hanya memunculkan kelebihan masing-masing sambil merendahkan nilai yang lain, tetapi sebuah dialog yang sanggup menciptakan ruang heteroglosia, bersuara majemuk. Islam Wetu Telu dapat dipahami jika kita secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari ruang heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain demi pengayaan dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga dapat menerima Islam sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan elaborasi ini, maka dalam konteks ini, pribumisasi Islam diharapkan mampu melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-’adah muhakamah (adat kebiasaan bisa menjadi hukum). Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu, sesuai dengan kaidah taghayyur al-ahkam bi at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (hukum dapat berubah karena adanya perubahan zaman, tempat dan kondisi).
Pribumisasi Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya.


PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, kelompok Wetu Telu adalah orang-orang Islam yang mempercayai bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Namun demikian, kelompok Wetu Telu masih mempercayai bahwa hal-hal yang mistis dan gaib, terutama terhadap roh-roh leluhur yang dalam kepercayaan mereka masih memiliki andil dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu mereka harus tetap dihormati dengan cara melakukan berbagai ritual adat, khususnya pada saat terjadi daur hidup. Hal ini berkonsekuensi pada praktik-praktik keagamaan mereka, di mana dalam menjalankan kewajiban Islam terdapat banyak kelonggaran-kelonggaran di mana rukun Islam tidak dijalankan secara sempurna. Yang lebih menonjol adalah dalam praktik-praktik keagamaan yang sifatnya sosial kemasyarakatan, seperti upacara untuk merayakan cukuran anak yang baru lahir, khitanan, menyambut bulan Ramadhan, dan lain-lain, di mana dalam praktiknya nuansa Islami dan tradisi lokal dicampuradukkan yang pada akhirnya terjadi akulturasi maupun inkulturasi.

Rekomendasi
Ketika Islam datang ke suatu wilayah, maka wilayah itu bukanlah tanpa budaya. Oleh karena itu, semua pihak dapat melihatnya secara arif ketika melihat ada suatu komunitas yang mau menerima Islam, tapi masih teguh memegang tradisi lokalnya. Kita tidak boleh langsung menghakiminya dengan klaim sesat, tapi kita harus melakukan pendekatan secara persuasif dan bertahap dalam upaya melakukan perubahan-perubahan pemahaman kepada yang lebih sempurna agar konflik horizontal tidak terjadi.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Idrus, ”Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di Kabupaten Lombok Barat, Disertasi Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana UI, 2000
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos, 2001
Amin, Ahmad, et. all, Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997
Bizawie, Zainul Milal, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam”, dalam Tashwirul Afkar, Edisi No. 14 tahun 2003
Bruinessen, Martin van, “Global and Local in Indonesian Islam” dalam Southeast Asian Studies (Kyoto), Vol. 37, No. 2, 1999
--------, Kitab Kuning, Bandung: Mizan, 1989
Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS, 2000
Hefner, Robert W., Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, New Jersey: Princeton University Press, 1985
Hilmi, Masdar, Problem Metodologis dalam Kajian Islam Membangun Paradigma Penelitian Keagamaan yang Komprehensif, dalam website: www.yahoo.com.
Levy, Reuben, The Social Stucture of Islam, Cambridge: The University press, 1975
Schwarz, Adam, A Nation in Waiting in 1900s, Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1994
Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001
Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LkiS, 1999


Penulis: Muhammad Harfin Zuhdi adalah dosen tetap pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=68:parokialitas-adat-terhadap-pola-keberagamaan-komunitas-islam-wetu-telu-di-desa-bayan-lombok-&catid=35:kontekstualita-volume-22-nomor-1-juni-2007&Itemid=54




Tidak ada komentar:

Posting Komentar