Islam Wetu Telu dapat dipahami jika
kita secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari ruang
heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain
demi pengayaan dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga dapat menerima
Islam sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah yang lebih
baik.
Berdasarkan
elaborasi ini, maka dalam konteks ini, pribumisasi Islam diharapkan mampu
melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif
untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan
konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan
pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total
pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai
dengan prinsip al-’adah muhakamah (adat kebiasaan bisa
menjadi hukum). Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak
dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana
tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan
dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu, sesuai
dengan kaidah taghayyur al-ahkam bi at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (hukum
dapat berubah karena adanya perubahan zaman, tempat dan kondisi).
Pribumisasi Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya.
Abstract: This article
describes community-plurality pattern of Islam “Wetu Telu“ of Bayan
Villagers, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. They are strict adherent to
their traditional beliefs in their rituals, so they become the target of
dakwah (propagation) by Community “waktu lima” which consider themselves to
have carried Islamic teaching in the right path. This research is qualitative
in nature and employs cultural anthropology in its approach. The finding
tells the readers that Wetu Telu are still Moslems who believe in Allah and
His messenger, Muhammad. But in their ritual, they still have blended their
Islamic teachings with their traditional beliefs. It is a living spirit they
have maintained for a long time which worth respecting for a peace-co
existence among them, the Moslem believers.
Kata Kunci: Beda Agama, Tradisi, Wetu Telu, Waktu Lima
Sebelum
Islam datang ke wilayah nusantara, berbagai macam tardisi dan kepercayaan
lokal banyak dipraktekkan dan sangat menyatu dengan struktur lokal sosial.
Selanjutnya ketika Islam datang, ia berhadapan dengan nilai-nilai lama yang
beberapa diantaranya mengandung unsur-unsur Hindu-Budha. Alih-alih
membersihkan sepenuhnya anasir non-Islami, Islam juga diakomodasikan dan pada
akhirnya disinkretisasikan ke dalam tradisi lokal. Keberadaan Islam abangan
di Jawa dan Islam Wetu Telu di
Lombok merupakan bukti bahwa Islam dipraktekkan dengan kepercayaan lokal yang
mengandung anasir non-Islami.
Di pulau
Jawa dan Lombok, Islam sarat diwarnai oleh kebudayaan asli setempat “…Islam,
dengan segelintir pengecualian, dipraktekkan di seluruh kepulauan Indonesia
sebagai sebuah agama tradisional rakyat. Di mana-mana Islam disatukan dengan
kepercayaan lokal” (Schwarz, 1994: 166). Di samping itu, tidak terlalu
mengejutkan mendapati bahwa mayoritas orang Islam nominal memandang Islam
secara sempit sebagai syahadat, berpantang makan daging babi, dan minum
alkohol serta berkhitan bagi kaum prianya.
Perbedaan
perspektif dan pemahaman dalam menyerap dan menjalankan ajaran-ajaran Islam,
serta akomodasi agama ini ke dalam struktur lokal yang spesifik telah
menyumbang pluralitas dan parokialitas Islam di Indonesia. Soebardi
mendeskripsikan pluralitas kultur Islam sebagai sub kultur di Indonesia: “Realitas kehidupan Islam sangat
pluralistik. Seseorang bisa menjumpai berbagai perbedaan cara orang Islam
dalam menjalankan ajaran Islam. Kelompok-kelompok ortodok menjalankan
kewajiban-kewajiban agama dengan penuh ketaatan. Di pihak lain, ada banyak
sekali orang yang menyebut dirinya Islam tetapi pengetahuan tentang hukum dan
ajarannya sangat dangkal dan tidak sempurna serta mereka tidak
bertindak-tanduk menurut petunjuk agama mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Bisa ditambahkan di sini bahwa ada banyak sekali anasir peribadatan yang
berasal dari zaman pra Islam” (Soebardi, 1976: 39).
Berdasarkan elaborasi di atas terlihat bahwa terdapat pluralitas ekspresi keberagamaan di Indonesia. Di pulau Lombok terdapat dua varian Islam yang dipisahkan secara diametral, yakni antara Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu dapat dikatagorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu Lima dikatagorikan agama samawi. Klasifikasi ini bukan merupakan suatu yang terpisah satu sama lain. Kedua katagori ini bisa saling tumpang tindih, di mana sebuah katagori memiliki karakteristik tertentu yang juga bisa dipunyai katagori lain, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, agama tradisional memuat nilai-nilai, konsep, pandangan, dan praktek-praktek tertentu hingga pada batas-batas tertentu juga bisa ditemukan dalam agama samawi. Begitu juga halnya dengan agama samawi bisa mengandung sesuatu yang ternyata lebih parokial.Identifikasi Wetu Telu yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan do’a-do’a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur’an, para kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting kepercayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal. Dimasukkannya ayat-ayat al-Qur’an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang bagaimana pun juga tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya (Budiwanti, 2000: 66).
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah, maka pokok permasalahan yang akan dijawab dalam
penelitian ini adalah; 1) bagaimana sistem kepercayaan Wetu Telu; 2) bagaimana praktik
keberagamaan Wetu Telu dalam kehidupan sehari-hari.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam bagaimana eksistensi ”Islam” Wetu Telu dalam rutinitas
pelaksanaan pemahaman-pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Secara teoritis
tulisan ini diharapkan memberikan sumbangan analisis terhadap proses
terjadinya pribumisasi Islam di salah satu belahan wilayah Indonesia. Secara
praktis, diharapkan dapat memunculkan sikap toleransi terhadap kelompok
tertentu yang memiliki pemahaman tersendiri terhadap Islam ketika berhadapan
dengan tradisi lokal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah
penelitian lapangan (field
research). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
suatu penalaran induksi analitik yang didasarkan pada data dengan analisis
secara terus menerus, baik ketika di lapangan maupun setelah kembali ke meja.
Parokialitas adat pola
keberagamaan komunitas Wetu Telu
ini akan didekati dengan pendekatan antropologi budaya (Koentjaraningrat,
1980: 187), yakni dengan teori difusi kebudayaan. Difusi dalam arti adanya
proses penyebaran suatu budaya asing, yang datang ke suatu wilayah tertentu
di mana sejak awal sudah terdapat kebudayaan lokal yang pada akhirnya terjadi
akulturasi kebudayaan.
Lokasi penelitian ini bertempat
di Desa Bayan Lombok Barat. Pemilihan desa ini dianggap mewakili masalah
proses akulturasi Islam dan budaya lokal, sebab orang-orang Sasak yang
terletak di Desa Bayan, mengaku sebagai orang Islam tetapi menjalankan
rutinitas keagamaannya masih becorak adat lokal (sinkretik).
Informan
dalam penelitian ini ditentukan dengan konsep Spradley (1997:61) yang
prinsipnya menghendaki seorang infornan itu harus paham terhadap budaya
setempat. Untuk itu penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowballing. Berdasarkan itu
maka ditentukan informan kunci, yaitu sesepuh adat desa Bayan yang terkait
erat dengan proses-proses parokialitas adat masyarakat muslim Sasak secara
terus-menerus di lokasi tersebut. Sedangkan informan lain ditentukan
berdasarkan rekomendasi informan sebelumnya sampai mendapatkan data jenuh
(tidak terdapat informasi baru lagi). Dengan demikian, jumlah informan tidak
terbatas jumlahnya. Karakteristik informan juga tidak sepenuhnya ditentukan
oleh peneliti, tetapi berdasarkan rekomendasi informan sebelumnya. Melelui
rekomendasi itu, peneliti menghubungi informan berikutnya sampai data yang
diperoleh mendapatkan kesatuan yang utuh.
Data
dikumpulkan dengan menggunakan teknik participant
observation dan wawancara mendalam (depth interview). Dalam melakukan participant obeservation juga
berpegang pada konsep Spradley (1977:106). Pangamatan berpartisipasi dipilih
untuk menjalin hubungan baik dengan informan agar peneliti mudah melakukan
wawancara secara mendalam.
Semua data
hasil wawancara mendalam dan pengamatan sehari-hari dicatat secara cermat
serinci mungkin dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu catatan lapangan atau fieldnotes (Sanjek, 1990;
Fetterman, 1998). Selama informan tidak keberatan maka dalam pelaksanaan
wawancara, semua pembicaraan dicatat dengan menggunakan buku harian khusus.
Sedangkan dalam pengamatan menggunakan tustel. Semua data di analisis ecara
kualitatif. Untuk mencapai kredibilitas data dilakukan dengan cara pengamatan
secara terus menerus dan triangulasi. Pengamatan terus-menerus dilakukan
dengan cara berulang-ulang. Triangulasi dilakukan dengan cara pengecekan
ulang oleh informan setelah hasil wawancara ditranskrip.
Data yang
telah diperoleh melalui penelitian ini dioalah menggunakan pendekatan
kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap kondisi keberagamaan
masyarakat pedesaan dan sosio-kultural yang ada. Analisa data
penelitian ini berupa proses pengkajian secara terus menerus baik di lapangan
maupun setelah di lapangan (Edrawarsa, 2003: 30). Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan,
memberi kode, dan mengkatagorikan data. Setelah itu baru dicarikan tema-tema
budaya yang kemungkinan menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian ini
diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya. Dalam analisis ini
yang berbicara adalah data dan peneliti tidak melakukan penafsiran. Jika ada
penafsiran, itu merupakan hasil dari interpretasi informan terhadap
dialektika Islam dan tradisi lokal.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dialektika Tradisi Islam
Normatif dan Islam Kultural
Islam
sebagai sebuah sistem tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah
entitas tunggal yang masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan. Elemen
tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan
sebagai elemen inti (core
element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan
kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral
element) di sisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh
substantif dari agama Islam yang tanpa kehadirannya agama tidak akan
mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan
mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata jika
tampak ke wilayah permukaan.
Dari segi
doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak
berubah-rubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke
tataran praksis komunitas umatnya, maka warna Islam bisa beragam sejalan
dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaaan persepsi. Perbedaan
interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk sebuah
peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, sesuai dengan dimensi
ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi
proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang
memiliki dialektiaka sejarah yang berbeda-beda namun secara prinsipil
memiliki semangat teologis yang sama.
Dengan
demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi
aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi kepercayaan (belief) yang berupa tauhid dan
diimplementasikan ke dalam dimensi praksis yang meliputi ritual, budaya dan
tradisi dan tradisi keislaman lainnya.
Sebagai
konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering
disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, “Islam normatif” atau,
istilah Richard C. Martin, “Islam formal”yang ketentuannya tertuang secara
ekplisit di dalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praksis
menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan
faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat
subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan secara turun-temurun dan
dialog akulturatif antara “Islam formal” dan budaya lokal Muslim tertentu.
Dalam
mengkaji Islam beserta makna derivasinya, paling tidak ada dua pendekatan
yang digunakan, yaitu pendekatan teksual dan pendekatan kontekstual.
Pendekatan tekstual menekankan pada signifikansi teks-teks sebagai sentra
kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine source) dalam Islam,
terutama al-Qur’an dan al-Hadits. Pendekatan ini sangat penting untuk melihat
realitas Islam normatif yang tertulis baik secara eksplisit maupun implisit.
Selain
ajaran tauhid sebagai pilar utama dalam Islam, ibadah mahdhah (dimensi vertikal)
merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan hukumnya sudah diatur
secara jelas dalam kedua teks suci tersebut. Ibadah mahdhah tidak memerlukan
ijtihad untuk mencari penafsiran lebih jauh, namun ia hanya perlu diamalkan.
Dalam bahasa ritualnya, ia sering disebut sebgai arkan al-Islam yang meliputi syahadat, shalat,
puasa, zakat, dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan hanya arkan al-Islam yang membentuk
Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang tertuang dalam al-Qur’an dan
al-hadits juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan
begitu bisa dilihat dengan pendekatan pertama ini.
Dalam
prakteknya, pendekatan tekstual ini barangkali tidak menemui kendala yang
berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qath’i sebagaimana tersebut di
atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas
ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam
al-Qur’an maupun al-Hadits, namun kehadirannya diakui dan bahkan diamalkan
oleh komunitas muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling terang
benderang adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah
mentradisi secara turun temurun, seperti slametan, tahlilan dan lain
sebagainya. Memang cukup dilematis bagi pendekatan tekstual untuk sekedar
menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran
Islam atau tidak.
Fenomena
ritual keagamaan yang banyak bercampur dengan tradisi lokal tidak dapat
disangkal lagi, kepercayaan dan ritual sinkretik sangat banyak ragamnya.
Banyak peneliti Islam Indonesia, yang memberikan keterangan tentang Islam
yang begitu berbeda dengan karakter Islam Arab (Woodward, 1998: 3-5).
Fenomena
ini juga diamini oleh Martin van Bruinessen, dengan menunjukkan bukti bahwa
banyak praktek yang dikatagorikan Islam abangan juga ditemukan di belahan
lain dunia Islam. Ia membandingkan deskripsi Geertz tentang agama abangan
dengan pengamatan-pengamatan pada kehidupan sehari-hari kaum petani Mesir,
pada awal abad ke-19, yang dilakukan oleh studi klasik lain, karya Lane: Manners and Customs of the Modern Egyptians
(Perilaku dan Kebiasaan Orang-orang Mesir Modern). Beberapa praktek kurang
Islami yang terlihat dalam perilaku keagamaan orang Jawa, telah dikenal juga
oleh orang-orang Mesir (Bruinessen, 1999: 46-63).
Di samping
itu banyak praktek magic
yang bersumber dari Islam, bahkan tidak diragukan lagi bersumber dari tanah
suci (Makkah). Isinya banyak memuat tentang naskah magis populer dan
ramalan-ramalan, yang juga dikenal sebagai primbon atau dalam versi yang
lebih Islami disebut kitab mujarobat,
yang diperoleh langsung dari karya-karya penulis Muslim Afrika Utara abad
ke-12-13, yakni Syeikh Ahmad al-Buni (Bruinessen, 1989: 86).
Beberapa
kepercayaan dan praktek lokal telah menjadi bagian kompleksitas budaya
global. Banyak umat Islam kontemporer Indonesia enggan menyebutnya Islami
karena mereka menentang konsepsi Islam modern (universal). Namun demikian,
lanjut Martin, dalam beberapa kasus mereka masuk ke Indonesia sebagai bagian
dari perluasan peradaban Islam, meski tidak menjadi tulang punggung agama
Islam. Mereka merepresentasikan gerakan awal Islamisasi, dan adalah keliru
jika dikatakan bahwa Islamisasi adalah gerakan sekali jadi, melainkan
merupakan suatu proses yang dimulai sejak abad ke-13 sampai 15 H (Bruinessen, 1999: 46-63).
Untuk
menjawab persoalan di atas, barangkali pendekatan yang diajukan Mark. R.
Woodward dalam menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif dengan
Islam lokal dapat diajukan. Pendekatan ini disusun secara kronologis atas
empat unsur dasar (Woodward, 10- 22) yaitu:
Pertama, Islam universalis. Penempatan Islam universalis di
lakukan di awal karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran Islam yang secara qoth’i sudah digariskan di
dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Masuk dalam katagori ini adalah tauhid, arkan al-Islam, dan kredo
religius lainnya yang bersifat taken for
granted. Terhadap katagori ini, umat Islam pada umumnya sepakat
meyakininya sebagai ultimate
truth yang tidak memerlukan elaborasi (ta’wil) lebih jauh.
Kedua, Islam esensialis. Penggunaan terma esensialis ini
pada awalnya dipinjam oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjukkan
modus praktik-praktik ritual yang sekalipun tidak didelegasikan secara
eksplisit oleh teks-teks universalis, namun secara luas diamalkan oleh umat
Islam atas dasar justifikasi substansial dari semangat kedua sumber suci
tersebut. Masuk dalam katagori ini adalah upacara tahunan maulid al-Nabi
Muhammad SAW, bacaaan-bacaan zikir yang diamalkan oleh halaqah-halaqah sufi,
juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk memuliakan
para wali, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi slametan, tahlilan
yang tersebar luas di negara-negara Muslim, seperti India, Malaysia,
Pakistan, dan Indonesia. Dengan demikian, Islam esensial merupakan katagori
Islam yang sangat inklusif.
Ketiga, receiverd
Islam. Secara harfiah, receiverd Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam yang
diterima atau dipahami. Woodward secara jujur tidak menghadirkan deskripsi
yang memuaskan tentang kategori ketiga ini. Ia hanya menyebut bahwa receiverd
Islam menjadi jembatan antara kategori universalis dan esensialis dengan
Islam lokal. Lebih jauh ia menambahkan bahwa contoh konkrit dari kategori ini
adalah dominasi ajaran sufi yang mempengaruhi perkembangan Islam lokal di
Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring dengan pengetahuan
atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.
Keempat, Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai
seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak
dikenal di daerah asal turunnya Islam (Mekkah). Menurut Woodward,
naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas
adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi
antara kebudayaan lokal dan received Islam.
Dari
elaborasi yang diberikan oleh Wood ward di atas ada kesan bahwa pendekatan
tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas untuk membedakan mana
yang disebut “Islami” dan mana yang tidak. Justru dari sini muncul kesan
seolah-olah pendekatan ini dapat diaplikasikan di wilayah mana saja sepanjang
masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan batasan mengenai Islam ini
bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual bisa juga merupakan keistimewaannya.
Selanjutnya,
kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk memahami Islam dalam konteks
ruang dan waktu. Pendekatan ini pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman
yang merupakan perangkat komplementer yang dapat menjelaskan motif-motif
kesejarahan dalam ritual Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan
entitas komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praksis.
Dalam memahami fenomena ritual lokal dalam Islam, maka teori-teori sosio
kultural berikut ini menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.
Pertama, teori fungsional. Teori ini dikembangkan oleh B.
Molinowski yang mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan
fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar
agama diarahkan kepada sesuatu yang supranatural atau, dalam bahasa Rudolf
Otto, “powerfull other”.
Partisipan yang terllibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanfaatan agama
sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritual dengan Tuhan, karena pada
dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan
demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki
signifakansi theologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial.
Aspek-aspek theologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik
benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah.
Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada
kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan sehingga
sebuah ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” kebutuhan spiritual.
Dalam
konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang
disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui
performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret
dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrum), yakni
menciptakan situasi rukun – setidaknya - di kalangan para partisipan.
Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James
Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.
Pendek
kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih
luas, baik dalam konteks spiritual maupun eksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap
pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu
saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk
mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Kedua, Rite de
Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold Van
Gennep ini bisa diartikan sebagai “ritual penahapan” yang menandai perpindahan
status seseorang dari yang satu ke yang lain, baik merupakan perubahan status
sosial maupun transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan,
baik status eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi
sebagaimana yang diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan
dalam hidup seseorang.
Sejalan
dengan perspektif Rite de
Passage di atas, slametan
dan tradisi tahlilan bisa juga
dipahami sebagai ritual yang menandai perpindahan status seseorang sepanjang
hidupnya mulai dari kelahiran, akikah, khitan, perkawinan, dan kematian.
Setiap tahapan dalam hidup manusia menandai perubahan status sosial dari yang
satu ke yang lain. Sebagai contoh, ritual perkawinan menandai perubahan
status sosial dari masa lajang menuju masa keluarga; ritual kematian menandai
perpindahan status manusia dari alam dunia ke alam barzah dan seterusnya.
Ketiga, teori struktural. Teori ini dikembangkan oleh Claude
Levi-Strauss sebagai seorang pelopornya. Ritual (agama) diasumsikan memiliki
hubungan struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari
persoalan orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat
keduanya memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada tataran konsepsi dan
ritual pada tataran aksi atau “homology”, dalam bahasa Levi-Strauss. Dengan
demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical order dalam bangunan
sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup.
Dalam konteks ini, teori model of (model
dari) dan model for (model
bagi) Geertz bisa diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini.
Jika Levi-Strauss melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi ke
satu sama lain, Geertz melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sedangkan ritual sebagai
wujud dari teori model for.
Melalui
pendekatan Bayani (penerapan analisis tekstual) diharapkan dapat menggali
landasan normatif al-Qur’an dan al-Hadits yang berkaitan dengan wacana agama
dan budaya lokal, serta dapat mengungkapkan makna teks normatif sehingga
dapat memberikan kerangka relatifitas-kepastian hukum. Legitimasi normatif
tekstual di atas, sangat dibutuhkan setidaknya justifikasi keyakinan
keagamaan dalam menerima dan mengadaptasi serta mengakomodasi budaya lokal.
Namun
pendekatan Bayani saja tidak cukup karena terkadang dalam teks al-Qur’an dan
al-Hadits tidak ada penjelasan secara langsung. Oleh karena itu diperlukan
pendekatan atau perspektif lain yang lebih bersikap terbuka, luwes dan
toleran yaitu pendekatan Burhani dan Irfani. Melalui pendekatan Burhani
(penerapan analisis rasional filosofis) dan Irfani (analisis konteks :
historis sosio antropologis dan polotis-ideologis); diharapkan selain dapat
mengungkapkan konteks dari sebuah risalah keagamaan, juga dapat mengungkapkan
realitas sejarah dari sebuah tradisi dan budaya lokal, baik geneologi
pemikiran nilai-nilai spriritualitas dan religiusitasnya maupun filosofis, local wisdom (kearifan lokal)
serta visi pencerahan dan kritik sosialnya .
Sistem
Kepercayaan Wetu Telu
Penelitian sosioligis ilmuwan Barat abad ke-20, seperti Van Eerde dan
Professor Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Sasak terdapat
tiga kelompok keagamaan; Sasak Boda,
Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut sebagai
agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan kata
Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui
Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran
pencerahannya (Budiwanti, 2000, 8). Menurut Erni Budiwanti, agama Boda
ditandai oleh animisme dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh
leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek
keagamaan Sasak Boda.
Penganut Boda merupakan komunitas kecil dan masih
ditemukan pada awal abad ke-20, tinggal di bagian utara Gunung Rinjani
(Kecamatan Bayan dan Tanjung) dan di beberapa desa di sebelah selatan Gunung
Rinjani. Diduga, dulunya mereka berasal dari bagian tengah pulau Lombok dan
mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses islamisasi.
Sementara penganut Wetu Telu diidentikkan
dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang
kepada adat-istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak
nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan
dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat
sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Pencampuran praktek-praktek agama
ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu menjadi
sangat sinkretik.
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu Telu dalam makna yang sama
dengan penganut Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, sebagaimana trikotomi
yang diajukan Geertz, dan ditulis oleh Mark Woodward. Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh
Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, “Islam hanya
satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (Wetu Telu) dan Waktu Lima“. Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi
adat“ (wawancara, 2004). Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua
kalimah syahadat, “Tuhan kami yang kuasa dan Nabi Muhammad sebagai utusan
Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, setelah
diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak,
misalnya: Asyhadu Ingsun sinuru anak
sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere
lan ingsun anguruhi. Setukhune Nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma
shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji
(bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi
Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah
menerima agama Islam.
Selanjutnya ia mensinyalir bahwa lahirnya istilah Islam
Wetu Telu ini
berasal dari zaman penjajahan Belanda yang menjalankan politik devide et et impera untuk
memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima.
Bagi komunitas Wetu Telu di Bayan, salah satu daerah
konsentrasi penganut Wetu Telu,
paling tidak ada empat konsepsi mengenai Wetu Telu.
Walau berbeda-beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian, karena
masing-masing tokoh yang diwawancarai mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh
tokoh Wetu Telu lainnya
(Wawancara, 2005).
Pertama, pandangan
yang menyatakan bahwa Wetu Telu berarti
tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu berasal
dari kata Metu, yang berarti
muncul atau datang dari, sedangkan Telu
berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup
muncul (metu) melalui tiga
macam sistem reproduksi; 1) melahirkan (menganak),
seperti manusia dan mamalia; 2) bertelur (menteluk),
seperti burung; dan 3) berkembang biak dari benih atau buah (mentiuk), seperti biji-bijian,
sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi fokus
kepercayaan Wetu Telu tidak
terbatas hanya pada sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada
kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan
mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Kedua, persepsi
yang mengatakan bahwa Wetu Telu
melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi
ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad besar.
Jagad kecil disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas bumi, matahari,
bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya
merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam
semesta.
Ketergantungan jagad kecil kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan
mutlak jagad kecil akan sumber daya penting; tanah, udara, air dan api. Pada
saat yang sama, jagad besar juga tergantung kepada jagad kecil dalam hal
pemeliharaan dan pelestarian. Di luar itu, kemahakuasaan Tuhan berperan
penting dalam menggerakkan ketergantungan antar makhluk. Ketergantungan
inilah yang kemudian menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu keseimbangan.
Ketidakseimbangan dapat terjadi apabila manusia sebagai bagian dari jagad
besar terlalu tamak (melak)
dalam mengeksploitasi jagad besar.
Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem
agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga
tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak)
hidup (urip) dan mati (mate). Kegiatan ritual sangat terfokus pada
rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara,
merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status
selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada
Allah, Adam dan Hawa. Konsep ini dari pandangan bahwa unsur-unsur penting
yang tertanam dalam ajaran Wetu Telu adalah;
1) Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca
indera tubuh manusia; 2) Simpanan
Ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa. Secara
simbolis Adam merepresentasikan garis ayah atau laki-laki, sementara Hawa
merepresentasikan garis ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat
organ pada tubuh manusia; 3) Kodrat
Allah adalah kombinasi 5 indera (berasal dari Allah) dan 8 organ
yang diwarisi dari Adam (garis laki-laki) dan Hawa (garis perempuan). Masing-masing kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap
lubang yang ada di tubuh manusia -dari mata hingga anus.
Ritual-Ritual Keagamaan Wetu Telu
Sehubungan dengan kepercayaan tersebut, penganut Wetu Telu mengadakan
ritual-ritual yang terkait dengan siklus di atas. Adapun ritual-ritual
(upacara) yang terkait dengan kehidupan dinamakan gawe urip, yang mencakup seluruh tahapan hidup
manusia semenjak dilahirkan hingga menikah. Yang termasuk dalam gawe urip, antara lain; 1) Buang Au (upacara kelahiran),
merupakan upacara pembuangan abu dari arang yang dibakar dukun beranak (belian) setelah membantu
persalinan. Upacara ini dilaksanakan kira-kira satu minggu setelah
melahirkan. Pada saat itu pula orang tua mengumumkan nama anaknya setelah
berkonsultasi dengan pemangku
atau kyai mengenai nama
yang cocok untuk anaknya; 2) Ngurisang
(pemotongan rambut), merupakan upacara pemotongan rambut yang dilakukan
setelah buang au. Upacara
ini diadakan untuk seorang anak yang sudah mencapai usia antara 1 sampai 7
tahun. Ngurisang dianggap
penting karena setelah ini anak yang menjalaninya disebut selam (muslim) sebagai lawan
dari Boda, artinya orang
yang belum diislamkan; 3) Ngitanang
(khitanan), yang dilakukan saat anak berusia antara 3 hingga 10 tahun. Seperti buang au dan ngurisang, ngitanang juga dipandang
sebagai simbol pengislaman. Seorang anak masih tetap Boda
sampai ia dikhitan; 4) Merosok
(meratakan gigi), merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak
menjadi dewasa. Dalam upacara ini pemangku
atau kiai menghaluskan
gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak; 5) Merari/Mulang (“mencuri” gadis) dan Metikah (perkawinan).
Sedangkan ritual-ritual yang dilaksanakan berkaitan
dengan kematian disebut gawe pati
(ritual kematian dan pasca kematian). Upacara ini dilaksanakan mulai dari
hari penguburan (nusur
tanah), hari ketiga (nelung),
hari ketujuh (mituk), hari
kesembilan (nyiwak), hari
keempat puluh (matang
puluh), keseratus (nyatus)
hingga hari keseribu (nyiu).
Upacara-upacara ini bertujuan untuk menggabungkan arwah
si mati dengan dunia leluhur. Hal ini terkait erat dengan persepsi penganut Wetu Telu bahwa kematian adalah
suatu tahap untuk menjamin tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran (lingkaran leluhur)
dan ritual-ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini. Melalui do’a yang
dibaca pada saat upacara diyakini bahwa arwah si mati dipertemukan dengan
para leluhurnya.
Bagi keluarga yang anggotanya kebetulan meninggal di luar wilayah Wetu Telu, mereka mengadakan
sebuah upacara bernama selamatan
mengasuh, sebelum orang yang mati dikuburkan. Mengasuh adalah ritual
pembersihan guna mencegah malapetaka dan penyakit memasuki perbatasan desa (kuta atau lawang desa). Ini dilakukan
karena menurut keyakinan mereka, orang yang meninggal di luar akan membawa
penyakit dan malapetaka ke dalam wilayah Wetu Telu,
apabila hendak dimakamkan di wilayah Wetu Telu.
Dari keempat konsep yang saling mengkait dan merupakan satu kesatuan di
atas, warna Islam memang ada dalam kepercayaan Wetu Telu. Warna Islam juga ditemukan dalam
ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti;
Rowah Wulan dan Sampet Jum’at.
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya
bulan puasa (Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan
pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet
Jum’at dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya
adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka
diminta untuk menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian
bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak
melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa
yang dilakukan oleh penganut Waktu
Lima.
Maleman
Qunut dan Maleman Likuran
Maleman Qunut merupakan peringatan yang menandai
keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada
malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam
belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih
disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan Maleman
Likuran merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23,
25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur,
maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam
ini masyarakat Wetu Telu secara
bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid
kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama
oleh para kyai. Perayaan
ini disebut sedekah maleman likuran.
Maleman
Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran
zakat fitrah di kalangan Waktu
Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu terdapat
sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan Waktu Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan
saat dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa
dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda.
Dalam ajaran Waktu Lima, yang
juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya berupa
bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk orang-orang
yang hidup. Dalam tradisi Wetu Telu,
Pitrahnya berupa
makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku baik
untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk
yang sudah meninggal disebut Pitrah
Pati.
Sedangkan Lebaran
Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam
upacara Lebaran Tinggi
diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan pemuka adat, serta
masyarakat penganut Wetu Telu.
Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran
Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu
melakukan Sembahyang Qulhu Sataq
atau shalat empat rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus
kali. Lebaran Topat
berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.
Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari
raya Idhul Adha di
kalangan Waktu Lima.
Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan
shalat berjamaah di antara para Kyai
disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan
kambing berwarna hitam.
Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara
Selametan Bubur puteq dan
bubur abang
dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati
munculnya umat manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq (bubur putih) dan bubur abang (bubur merah)
merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur
putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur
merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.
Maulud
Dari
penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan
kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu
pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk
memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan
dalam upacara ini.
Selain konsepsi-konsepsi dan ritual-ritual di atas, Wetu Telu masih mempunyai
ritual (upacara) dan keyakinan-keyakinan lainnya, seperti upacara siklus
tanam padi, yang merupakan serangkaian upacara yang berkaitan dengan
pelaksanakan aktivitas pertanian. Tujuannya adalah untuk mengharapkan
keberkahan, menghindari penyakit tanaman, dan mensyukuri hasil pertanian,
apapun hasilnya.
Sedangkan kepercayaan lainnya adalah kepercayaan akan roh leluhur dan
makhluk halus yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu (penjaga). Roh leluhur dianggap penting
dalam kepercayaan Wetu Telu,
sebagai bukti bahwa antara mereka yang hidup saat ini memiliki keterkaitan
dengan mereka yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap upacara,
apapun namanya, selalu diawali dengan upacara pembersihan makam dan
meletakkan benda-benda untuk diinapkan di makam leluhur sebelum semua upacara
dilaksanakan. Ini dimaksudkan untuk meminta izin sekaligus memberitahu para
leluhurnya bahwa mereka mengadakan suatu upacara.
Dari elaborasi tersebut terlihat bahwa pranata yang disebut adat dan
kepercayaan Wetu Telu adalah
ciri-ciri sinkretik dari praktek keagamaan varian Islam Wetu Telu, dengan penekanan
kepada pertalian budaya antara kepercayaan asli Bayan dengan keyakinan Islam Waktu Lima. Pengakuan terhadap
Islam oleh komunitas Wetu Telu
tidak menggeser secara substansial ritus-ritus yang dinamakan adat, bahkan
memberikan sumbangan yang lebih bermakna kepada paham-paham asli yang sudah
ada sebelumnya. Akibatnya, tidak ada batasan-batasan secara jelas yang
memisahkan ide-ide Islam Waktu Lima
dari konsep-konsep Islam Wetu Telu,
khususnya pemisahan antara “adat” dan “kepercayaan” Wetu Telu.
Dalam
pandangan orang-orang Bayan, secara substansial Wetu Telu merupakan sisitem norma yang mengikat dan
sebagai pedoman dasar masyarakat dalam berinteraksi sehari-hari sesama warga,
maka ia disebut “adat”, maupun dalam rangka persembahan kepada leluhur, maka
ia disebut “kepercayaan Wetu Telu”. Berdasarkan rumusan ini untuk mengetahui
secara aktual berlakunya adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan atau “hukum
adat”, tercermin melalui aktivitas individu warga, baik berupa ide-ide
tindakan-tindakan, gagasan-gagasan, persepsi-persepsi, maupun
keputusan-keputusan dari ototritas hukum yang legitimit. Demikian juga dengan
norma-norma yang bersumber dari “kepercayaan Wetu Telu”, dapat didentifikasi
melalui ritus-ritus sakral yang disampaikan melalui penuturan yang bersifat
lisan maupun tertulis dari berbagai kalangan, atau dari pengamatan lapangan
atas upacara-upacara singkat keagamaan yang dilakukan oleh komunitas
masyarakat tersebut. Perilaku aktual dari Wetu Telu
ini dapat berupa pembacaan do’a secara bersama-sama berupa sanjungan kepada
leluhur yang diidentifikasi sebagai roh yang mempunyai kekuatan ghaib, atau
dapat berupa upacara sembahyang di masjid kuno Bayan dengan ritus-ritus
bernuansa magis, di bawah pimpinan Kiai dan
para santrinya, selaku imam dan pelaksanaan ibadah Islam Wetu Telu.
Dialektika
adat dan kepercayaan Islam Wetu Telu
melahirkan sifat-sifat majemuk dari suatu kehidupan sosial di mana warga
masyarakat berada dan tunduk pada berbagai aturan pluralistik. Dari
heterogenitas budaya ini, melahirkan perilaku masyarakat untuk selalu
memberikan hormat kepada warga yang lebih tua, seperti para tetua adat,
kepada pimpinan agama mereka (Kiai)
selaku pemegang otoritas tradisional yang berpengaruh. Fenomena itu,
membentuk kecenderungan kepada cara pandang masyarakat bahwa dalam konteks
budaya mereka, kedudukan pejabat informal lebih penting dari pejabat formal.
Asumsi ini berakar pada keyakinan bahwa orang-orang yang mengemban
jabatan-jabatan informal sebagai manifestasi dari pemegang otoritas tradisional,
adalah keturunan dari leluhur mereka “pendiri desa Bayan” atau orang-orang
selaku panutan dalam konteks ibadah.
Serangkaian nilai-nilai budaya Sasak Bayan berupa sistem adat dan
kepercayaan lokal sekaligus “agama”, yakni “adat” dan “kepercayaan Wetu Telu”, pada hakekatnya
dalam bahasa Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip dalam disertasi Idrus
Abdullah, merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karya, atau merupakan
pengalaman masyarakat tersebut, menghasilkan sistem nilai tertentu sebagai
budaya bersama milik bersama suku Sasak di wilayah ini, yakni tentang apa
yang dianggap buruk – dan karenanya harus dihindari - dan apa yang dianggap
baik harus dipelihara, sekaligus dipertahankan
Wajah Pribumisasi Islam dari Desa Bayan
Wacana Islam Wetu Telu dalam
hal ini dapat diletakkan dalam kerangka Islam pribumi atau Islam kultural,
yaitu proses penghargaan pada tafsir lokal terhadap ajaran Islam dalam
manifestasi kehidupan. Penghargaan ini dapat dipahami jika memandang
kebudayaan sebagai sumber nilai yang dimaknai dengan tindakan konkret di
ruang sosial. Sebagai sumber bagi tindakan, nilai-nilai dalam tradisi atau
agama bukanlah nilai yang murni, namun selalu diuji dalam kemampuannya
menghadapi persoalan kehidupan. Dalam pengujian itu nilai-nilai tradisi dan
agama dapat terus berubah, dinamis, dan bersifat sementara.
Selalu ada
hubungan timbal balik antara subjek pelaku dengan struktur objektif atau
kebudayaan (sebagai seluruh pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke
generasi dalam bentuk simbolik). Dalam hubungannya dengan pelaku ini,
simbol-simbol agama atau tradisi ditentukan oleh kesediaan pelaku dalam
mempergunakannya dan bagaimana si pelaku mempergunakannya bergantung pada
kepentingan dirinya dalam ruang dan waktu. Si pelaku selalu memiliki pilihan
untuk mempergunakan satu simbol di antara simbol-simbol yang lain secara
pragmatis. Dengan cara ini keberbedaan antara nilai tradisi dan agama dapat
dikawinkan atau dikomunikasikan karena perpisahan antara keduanya akan
menghasilkan kontraproduktif bagi keduanya.
Di sinilah
fungsi dialog dibutuhkan, yaitu sebuah dialog yang tidak hanya memunculkan
kelebihan masing-masing sambil merendahkan nilai yang lain, tetapi sebuah
dialog yang sanggup menciptakan ruang heteroglosia, bersuara majemuk. Islam Wetu Telu dapat dipahami jika
kita secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari ruang
heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain
demi pengayaan dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga dapat menerima
Islam sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah yang lebih
baik.
Berdasarkan
elaborasi ini, maka dalam konteks ini, pribumisasi Islam diharapkan mampu
melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif
untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan
konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan
pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total
pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai
dengan prinsip al-’adah muhakamah (adat kebiasaan bisa
menjadi hukum). Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak
dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana
tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan
dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu, sesuai
dengan kaidah taghayyur al-ahkam bi at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (hukum
dapat berubah karena adanya perubahan zaman, tempat dan kondisi).
Pribumisasi
Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti
mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi
budaya.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya, kelompok Wetu Telu adalah
orang-orang Islam yang mempercayai bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya. Namun demikian, kelompok Wetu Telu masih mempercayai
bahwa hal-hal yang mistis dan gaib, terutama terhadap roh-roh leluhur yang
dalam kepercayaan mereka masih memiliki andil dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu mereka harus tetap dihormati dengan cara melakukan berbagai
ritual adat, khususnya pada saat terjadi daur hidup. Hal ini berkonsekuensi
pada praktik-praktik keagamaan mereka, di mana dalam menjalankan kewajiban
Islam terdapat banyak kelonggaran-kelonggaran di mana rukun Islam tidak
dijalankan secara sempurna. Yang lebih menonjol adalah dalam praktik-praktik
keagamaan yang sifatnya sosial kemasyarakatan, seperti upacara untuk
merayakan cukuran anak yang baru lahir, khitanan, menyambut bulan Ramadhan,
dan lain-lain, di mana dalam praktiknya nuansa Islami dan tradisi lokal dicampuradukkan
yang pada akhirnya terjadi akulturasi maupun inkulturasi.
Rekomendasi
Ketika Islam datang ke suatu wilayah, maka wilayah itu bukanlah tanpa
budaya. Oleh karena itu, semua pihak dapat melihatnya secara arif ketika
melihat ada suatu komunitas yang mau menerima Islam, tapi masih teguh
memegang tradisi lokalnya. Kita tidak boleh langsung menghakiminya dengan
klaim sesat, tapi kita harus melakukan pendekatan secara persuasif dan
bertahap dalam upaya melakukan perubahan-perubahan pemahaman kepada yang
lebih sempurna agar konflik horizontal tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Idrus, ”Penyelesaian Sengketa Melalui
Mekanisme Pranata Lokal di Kabupaten Lombok Barat, Disertasi Fakultas Hukum
Program Pasca Sarjana UI, 2000
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, Jakarta: Logos, 2001
Amin, Ahmad, et. all, Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997
Bizawie, Zainul Milal, “Dialektika Tradisi Kultural:
Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam”, dalam Tashwirul Afkar, Edisi No. 14
tahun 2003
Bruinessen,
Martin van, “Global and Local in Indonesian Islam” dalam Southeast Asian
Studies (Kyoto), Vol. 37, No. 2, 1999
--------,
Kitab Kuning,
Bandung: Mizan, 1989
Budiwanti,
Erni, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS,
2000
Hefner,
Robert W., Hindu Javanese: Tengger
Tradition and Islam, New Jersey: Princeton University Press, 1985
Hilmi,
Masdar, Problem Metodologis dalam
Kajian Islam Membangun Paradigma Penelitian Keagamaan yang Komprehensif,
dalam website: www.yahoo.com.
Levy,
Reuben, The Social Stucture of Islam,
Cambridge: The University press, 1975
Schwarz,
Adam, A Nation in Waiting in 1900s,
Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1994
Wahid,
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001
Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan, Yogyakarta: LkiS, 1999
Penulis: Muhammad Harfin Zuhdi adalah dosen tetap
pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
|
http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=68:parokialitas-adat-terhadap-pola-keberagamaan-komunitas-islam-wetu-telu-di-desa-bayan-lombok-&catid=35:kontekstualita-volume-22-nomor-1-juni-2007&Itemid=54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar