Kalau terdesak
kebutuhan uang, tentu barang paling cepat “lari”-nya adalah emas. Maklum,
selain barang kebanggaan, logam mulia itu juga bisa dijadikan asset darurat.
Maksudnya, bila kebutuhan tiba-tiba datang menyergap maka emas paling mudah
dipindahtangankan.
Walau bukan
termasuk kebutuhan primer, logam mulia itu selalu ramai diperjualbelikan
masyarakat. Ramainya perputaran bisnis logam mulia itu menggoda banyak orang
mencoba meraih peruntungan. Bagi yang punya modal, bisa punya toko perhiasan
khusus emas atau sekedar jadi tukang
emas. Itu bagi yang bermodal, tapi yang cuma modal cekak pun tak mau
ketinggalan. Coba lihat inaq-inaq (ibu-ibu) yang banyak ditemukan di sekitar
pegadaian atau toko-toko yang berjualan emas.
Jadi, kemana
paling cepat menawarkan emas? Kalau mau
harga ”titipan” sementara bisa datang ke pegadaian. Tapi kalau mau lego
langsung bisa saja lari ke toko perhiasan, tentu dengan membawa surat
pembelian. Kalau emasnya tak punya surat-surat lengkap bisa transaksi di ”pasar
gelap”.
Jual beli di pasar gelap itu kerap disebut nyatut, dan
pelakunya disebut sebagai tukang catat. Yang namanya tukang catut sering
diidentikkan sebagai orang yang modalnya cekak (sering juga tidak punya modal)
tapi ingin untung besar. Tapi mereka juga ber jasa bagi yang diuber-uber kebutuhan. Misalnya kalau anting-anting hilang sebelah atau
surat emas sudah hilang atau rusak tentu ada kesulitan menjualnya. Nah, tukang
catut inilah penawarnya.
Wartawan RAKYAT pun harus ikut-ikutan nyatut dan nguber
penjual emas untuk bisa menuliskan bisnis di ”pasar gelap” itu bagi pembaca.---------------------------------